tag:blogger.com,1999:blog-27811889360102019502023-11-15T07:49:44.872-08:00NOTEPADNOTES TO THE INTERESTS WHICH IS REQUIRED BY THE VERY PERSON TO SEE, LEARN and understood.ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.comBlogger234125tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-60299489755161474852010-04-29T07:50:00.000-07:002010-04-29T07:52:37.760-07:00ALAT BUKTI DALAM HUKUM PERDATA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 0, 0);font-size:180%;" >ALAT BUKTI DALAM HUKUM PERDATA</span></a><br />BAB I<br /></div><div style="text-align: center;">PENDAHULUAN<br /></div>A. Latar Belakang Masalah<br />Hukum pembuktian dalam perkara perdata merupakan sebagian dari hukum acara perdata. Hukum pembuktian hanya berlaku dalam perkara yang mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam sengketa tersebut.<br />Dalam pembuktian diperlukan adanya alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang untuk dipergunakan membuktikan peristiwa yang dikemukakan dimuka sidang.<br />Alat bukti itu bermacam-macam, dan macam-macam alat bukti dalam hukum perdata berbeda dengan macam-macam alat bukti dalam hukum pidana.walaupun ada alat bukti yang sama.<br />Memberi bahan-bahan bukti yang diperlukan oleh hakim menjadi dasar bagi hakim menilai perkara benar-benar ada atau tidak.<br />B. Rumusan Masalah<br />Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:<br />1. Apa saja macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata?<br />2. Apa pengertian akta ?<br />3. Apa dasar hukum akta?<br />4. Apa saja macam-macam akta?<br />5. Bagaimana kekuatan pembuktian akta itu?<br />C. Tujuan Penulisan<br />Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:<br />1. Mahasiswa dapat memahami macam-macam alat bukti dalam acara perdata<br />2. Mahasiswa dapat memahami pengertian akta<br />3. Mahasiswa dapat memahami dasar hukum akta<br />4. Mahasiswa dapat memahami macam-macam akta<br />5. Mahasiswa dapat memahami kekuatan pembuktian akta<br /><br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br /><br />A. Macam-Macam Alat Bukti<br />Ketentuan alat bukti dan pembuktian dalam perkara perrdata terikat kepada stb, 1941 NO. 44 (HIR) dan kitab Undang-Undang hukum perdata (BW). Berdasar 164 HIR dan pasa;l 1886 BW, alat-alat bukti dalam hukum acara perdata adalah:<br />a. Bukti tertulis/surat<br />b. Bukti dengan saksi<br />c. Persangkaan<br />d. Pengakuan<br />e. Sumpah<br />Dalam prakteknya masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan ialah pengetahuan hukum, yang dimaksud dengan pengetahuan hukum adalah hal atau keadaan yang diketahui sendiri dalam sidang misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang penggugat yang dirusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya.<br />Selain bukti-bukti diatas masih ada pendapat yang menyatakan bahwa keterangan ahli juga termasuk alat bukti (pasal 15 Hukum acara perdata) sebaliknya Diantara alat-alat bukti yang disebut diatas dalam pasal 1866 ada yang dianggap bukan alat bukti yaitu pengakuan, karena dengan pengakuan itu pembuktian lebih lanjut tidak diperlukan lagi kemudian persangkaan sebetulnya juga bukan merupakan alat bukti karena pada hakikatnya adalah kesimpulan yang diambil oleh hakim.<br />Dari alat-alat bukti diatas pemakalah akan menerangkan alat bukti yang pertama yaitu pembuktian dengan alat bukti tertulis/surat.<br />B. Pengertian Akta/Surat<br />Sebelum membahas mengenai akta, terlebih dahulu diuraikan dan dijelaskan mengenai akta tersebut. Istilah akta dalam bahasa belanda disebut “acte” dan dalam bahasa inggris disebut “act” .<br />Menurut S.J.fockema andreane dalam bukunya “rechtgelewerd handwoorddenboek” kata akta itu berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti geschrift” atau surat, saedangkan menurut R. subekti Tjitro sudibyo dalam bukunya kamus hukum, bahwa akata merupakan bentuk jamak dari “actum” yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan. A. pitlo mengartikan akta sebagai berikut surat surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.<br />Disamping pengertian akta sebagai surat yang saengaja dibuat untuk dipakai dsebnagai alat bukti, dalam peraturan undang-undang sering kita jumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah surat melainkan perbuatan.<br />Jadi dapatlah disimpulkan yang dimaksus dengan akta adalah:<br />1. Perbuatan hukum dalam pengertian luas<br />2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.<br />Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian aktra ini dalam perundang-undangan kita, maka yang pemakalah maksudkan dengan akta dalam pembahasan ini adalah akta surat yang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.<br />C. Dasar Hukum Akta<br />Menurut system HIR dan RBg hakim terikat dengan alat-alat bukti sah yang diatur oleh undang-undang.dasar hukum akta/ surat diatur dalam pasal 165, 167 HIR, Stb No. 29 Tahun 1867. Pasal 285-305 RBG, surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Dan dalam BW juga diatur tentang permulaan bukti tertulis Pasal 1902 ayat 2 BW yang berbunyi: dalam segala hal dimana oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan-tulisan namun itu jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan diperkenankanlah pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan selain dengan tulisan yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah aturan tertulis.<br />D. Macam-Macam Alat Bukti Akta Atau Surat<br />Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua macam yaitu:<br />1. Akta<br />2. Surat –surat lainnya yang bukan akta,yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani.<br />Sedangkan akta itu ada dua macam yaitu ;<br />1. Akta otentik<br />2. Akta tidak otentik (akta bawah tangan)<br />Sedangkan pengertian akta itu sendiri adalah surat yang diberi tandatangan ,yang memuat peristiwa peristiwa yang menjadi dasat suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.<br />Adapun pengertian akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu,dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti.(pasal 1868 BW)<br />Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta otentik antara lain adalah notaris, pegawai cacatan sipil, panitera pengadilan, juru sita.Dalam melakukan pekerjaannya pejabat-pejabat tersebut terikat pada sarat dan ketentuan undang-undang, sehingga merupakan jaminan untuk mempercayai hasil pekerjaannya<br />Syarat-syarat akta otentik ada tiga yaitu:<br /><br />1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu<br />2. Dibuat dalam bentuk sesuasi ketentuan yang ditetapkan untuk itu<br />3. Dibuat ditempat dimana pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah disebutkan diatas.<br />Akta otentik dibagi lagi menjadi dua macam yaitu:<br />1. Akta yang dibuat oleh pejabat (acta ambtelijk, process verbal acte), ialah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu karena jabatannya tanpa campur tangan pihak lain, dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat, didengat serta apa yang dilakukannya.<br />2. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (partij acte) ialah akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan para pejabat yang berwenang untuk itu atas kehendak para pihak, dimana pejabat tersebut menerangkan juga apa yang dilihat,didengar dan dilakukannya.<br />Perbedaan antara Ambetijk akten dan Partij akten<br />No. Aspek/unsur Ambetijk akten Partij akten<br />01<br /><br /> Inisiastif dari<br /><br /> Pejabat yang bersangkutan karenaw jabatannya Para pihak karena kepentingannya<br /><br />02<br /><br /> Isi akte Ditentuka oleh pejabat yang bersangkutan berdasarkan UU Ditentuka oleh par pihak<br />03 Ditandatangani oleh Pejabat itu sendoirio tanpa pihak lain Para pihak dan pejabat yang bersangkutan serta saksi-saksi<br />04 Kekuatan bukti isi akta Tidak dapat digugat kecuali dinyatakan palsu Apat digugat dengan pembuktian ssebaliknya<br /><br />Akta tidak otentik yang sering disebut akta dibawah tangan. Kata-kata “dibawah tangan” adalah terjemahan harfiyah dari bahasa aslinya bahasa belanda yaitu onderhandsh acte ,dikatakan akta tidak otentik karena tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, melainkan dibuat sendiri oleh pihak yang berkepentingan dengan tujuan dijadikan alat bukti. <br />Perbedaan akta otentik dan askta dibawah tangan yaitu, bahwa kata otentik merupakan suatu akta yang sempurna, sehingga mempunyai bukti baik secara formiil maupun materiil. Kekuatan pembuktiannya telah melekat pada akta itu secara sempurna. Jadi bagi hakim ia merupakan bukti sempurna sedang akta dibawah tangan baru mempunyai bukti materil jika telah dibuktikawn kekuatan formiilnya dan kekuatan formiilnya baru terjadi setelah pihak yang bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta tersebut, dan bagi hakim merupakan bukti bebas.dan akta otentik mesti terdaftar pada register untuk itu dan tersimpan sehingga kemungkinan hilangnya akta sangat kecil sedangkan akta dibawah tangn tidak terdaftar, sehingga kemungkinan hilangnya lebih besar.<br /> <br />E. Fungsi Akta<br />Fungsi akta ini ada dua macam fungsi , yaitu fungsi formiil(formalitas causa ) dan fungsi materiil (probationis causa)<br />1. Fungsi formal, yaitu adanya akta nerupakan syarat sah suatu perbuatan hukum , misalnya:pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga.<br />2. Fungsi materiil, yaitu fungsi akta sebagai alat bukti, meskipun bukan syarat syahnya suatu perbuatan hukum<br />Mengenai fungsi akta sebagai alat bukti selanjutnya akan dibahas tersendiri dalan kekuatan pembuktian akta.<br />F. Kekuatan Pembuktian Akta<br />Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga macam , yaitu :<br />1. Kekuatan pembuktian lahir<br />Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya.Akta otentik mempumyai kekuatan lahir sesuai dengan asas akta publica probant seseipsa yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, bila syarat-syarat formal diragukan kebenarannya oleh pihak lawan, dia dapat meminta kepada pengadilan untuk meneliti kata tersebut berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan oleh fihak lawan. Kenudian majlis hakim memutuskan apakah akta otentik itu boleh digunakan sebagai bukti atau tidak dalam perkara. <br />2. Kekuatan pembuktian formiil<br />Kekuatan pembuktian formiil ini berarti bahwa apa yang disebutkan didalam suatu akta itu memang benar apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya pejabat dan pihak-pihak yang berkepentingan menerangkan dan melakukan seperti disebutkan dalam akta dan benar demikian adanya. Jadi formalitas yang ditentukan undang-undang benar-benar dipenuhi, namun suatu ketika mungkin juga ada fihak yang meragukan kebenarannya bila akta itu dijadikan bukti dalam perkara misalnya saja dalam akta otentik dikatakan bahwa penyerahan barang dilakukan dirumah dalam keadaan baik, padahal sebenarnya bukan diserahkan dirumah melainkan disuatu tempat lain dan dalam keadaan baik padahal sebenarnya bukan diserahkan dirumah melainkan ditempat lain dan alam keadaan baik, ketika dibawa kerumah terjadi kerusakan,dalam akta otentik pejabat menerangkan bahwa barang diserahkan dirumah dalam keadaan baik, ketrerangan hanya bersifat formlitas belaka, keadaan demikian prlu dipertimbangkan oleh majelis hakim apakah akta itu dapat dijadikan bukti atau tidak. <br />3. Kekuatan pembuktian materiil<br />Kekuatan pembuktian materil berarti bahwa apa yang dimuat dalam akta itu memang benar dan memang sungguh-sungguh terjadi antara para \pihak (jadi tidak hanya diucapkan saja oleh para pihak,tapi juga memang sungguh-sungguh terjadi). Misalnya dalam suatu akta disebutkan penyerahan 1200 buah jam tangan merek nelson, tetapi nyatanya hanya 200 buah merek nelson sedangkan selebihnya merek mido. Bila ada yang meragukan kebenaran isi akta ini dia dapat meminta kepada hakim agar akta yamg diragukan kebenaran isinya itu diteliti kebenarnnya, bila ternyata benar akta itu palsu maka majelis hakim memerintahkan agar akta dikirim kekejaksaan untuk dituntun perkara pidana sedangkan perkara perdatanya ditunda sampai selesai perkara pidana. Insiden dalam pembuktian akta otentik seperti ini dapat terjadi, baik atas inisiastip pihak yang bersangkutan maupun dari pihak majelis hakim. <br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br />A. Kesimpulan<br />Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pmaca n macam alat bukti dalam hukum acara perdata itu ada 6 yaitu:Bukti tertulis/surat, Bukti dengan saksi,Persangkaan, Pengakuan, Sumpah<br />Pengertian dari akta itu sendiri adalah Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.akta juga dibagi dua yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan .<br />Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu,dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti, akta tidak otentik karena tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, melainkan dibuat sendiri oleh pihak yang berkepentingan dengan tujuan dijadikan alat bukti<br />Kekuatan akta dalam pembuktian dibagi tiga macam yaitu; Kekuatan pembuktian lahir, Kekuatan pembuktian formiil,Kekuatan pembuktian materiil<br /><br /><br /><br />B. Saran<br />Sekomplit apapun alat –alat bukti yang dipersiapkan dalam persidangan hukum perdata ,tetap saja yang paling berperan dalam persidangan adalah hakim.adil tidaknya suatu keputusan akhir ditentukan oleh kepiawaian seorang hakim dalam menangani suatu masalah, dan idealisme seorang hakimlah yang perlu dipertahankan dalam pengadilan kita melihat pakta ,bamyak idealisme hgakim dapat ibeli dengan sejumlah uang, karena yang namanya kebenaran kadang dapat dibolak-balik.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">Bambang Waluyo, S.Hsisatem pembuktian dalam peradilan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika 1996<br />Ny. Retno Wulan Susantio, S.H, ahukum acara perdata, Bandung: Mandar Naju, 2005<br />Prof. Ali Afandi, S.H. hukum waris, hukum keluarga, hukum pembuktian, Jakarta: Pt Bima Sakti 1986,<br />Viktor M. Sitomurang, S.H, Grosse Akta dalam pembuktian damevas, Jakarta: PT. ranika Cipta<br />Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, bandung: PT: Citra Aditya Bakti, 2000,<br />R. Subekti dam R. Tjikrosudibio, kitab undang-undang hukum perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006<br />Drs. H.A.Mukti Arto, S.H., praktek perkara perdata Pada Pengadilan agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008<br />M. Nur Rasaid, SH., hukum acara perdat, Sinar Grafika, 2005<br />Drs. H.A.Mukti Arto, S.H., praktek perkara perdata Pada Pengadilan agama<br /></a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-53417899490199793002010-04-29T07:49:00.000-07:002010-04-29T07:50:32.577-07:00KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG<div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="color: rgb(0, 102, 0);font-size:180%;" ><span style="font-weight: bold;">KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG</span></span></a><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><br />(Wetboek van Koophandel voor Indonesie)<br />S. 1847-23.<br /><br />Anotasi:<br />Seluruhnya KUHD ini berlaku untuk golongan Timur Asing bukan Tionghoa dan golongan Tionghoa, kecuali dengan perubahan redaksional pasal 396; S. 1924-556, pasal 1, B; S. 1917-129, pasal I sub 21.<br /><br />KETENTUAN UMUM.<br /><br />Pas. 1. (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam K-itab Undang-undang ini. (AB. 15; KUHPerd. 1617, 1774, 1878; KUHD 15, 79 dst., 85, 119, 168a, 286, 296, 747, 754.)<br />Alinea kedua gugur berdasarkan S. 1938-276.<br /><br />B U K U K E S A T U : DAGANG PADA UMUMNYA.<br /><br />Berdasarkan S. 1938-276 yang berlaku mulai pada 17 Juli 1938 maka Bab I tentang Pedagang dan Perbuatan Dagang (pasal 2 sld 5) telah dihapus.<br /><br />BAB II. PEMBUKUAN.<br /><br />Pasal 6.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang sedemikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui semua hak dan kewajibannya. (KUHD 35, 66, 86, 96, 348; KUHP 396 dst.)<br />Ia diwajibkan dalam enam bulan pertama dari tiap-tiap tahun untuk membuat neraca yang diatur menurut syarat-syarat perusahaannya dan menandatanganinya sendiri. (KUHPerd. 1881.)<br />Ia diwajibkan menyimpan selama tiga puluh tahun, buku-buku dan surat-surat di mana ia menyelenggarakan catatan-catatan dimaksud dalam allnea pertama beserta neracanya, dan selama sepuluh tahun, surat-surat dan telegram-telegram yang diterima dan salinan-salinan surat-surat dan telegiram-telegram yang dikeluarkan. (KUHD 35.)<br /><br />Pasal 7.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Untuk kepentingan setiap orang, hakim bebas untuk memberikan kepada pemegang-buku, kekuatan bukti sedemikian rupa yang menurut pendapatnya harus diberikan pada masing-masing kejadian yang khusus. (KUHPerd. 1881; KUHD 12, 35, 67, 86.)<br /><br />Pasal 8.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Sewaktu pemeriksaan perkara di sidang pengadilan berjalan, hakim dapat menentukan atas permintaan atau karena jabatannya, kepada masing-masing pihak atau kepada salah satu pihak untuk membuka bukubuku yang diselenggarakan, surat-surat dan naskah-naskah yang harus dibuat atau disimpan oleh mereka menurut pasal 6 alinea ketiga, agar dapat dilihat di dalamnya atau dibuat petikan-petikannya sebanyak yang dibutuhkan berkenaan dengan soal yang dipersengketakan.<br />Hakim dapat mendengar para ahli mengenai sifat dan isi surat-surat yang diperlihatkan, baik pada sidang pengadilan maupun dengan cara seperti yang diatur dalam pasal-pasal 215 sampai dengan 229 Reglemen Acara Perdata. (Rv.)<br />Dari tidak dipenuhinya perintahnya itu, hakim bebas untuk mengambil kesimpulan yang sebaiknya menurut pendapatnya. (KUHPerd. 1888, 1915 dst.; KUHD 67.)<br /><br />Pasal 9.<br /> Bila buku-buku, naskah atau surat-surat berada di tempat lain daripada tempat kedudukan hakim yang mengadili perkara itu, maka ia dapat mengamanatkan kepada hakim dari tempat lain untuk menyelenggarakan pemeriksaan yang dikehendaki terhadap hal itu dan membuat berita acara tentang pendapat-pendapatnya serta mengirimkannya. (RO. 33; KUHD 35.)<br /><br />10 dan 11. Dihapus dg. S. 1927-146.<br /><br />Pasal 12.<br /> (s.d.u. dg. S. 1927-146; S. 1938-276.) Tiada seorang pun dapat dipaksa untuk memperlihatkan pembukuarinya kecuali untuk mereka yang mempunyai kepentingan langsung sebagai ahli waris, sebagai pihak yang berkepentingan dalam suatu persekutuan, sebagai pesero, sebagai pengangkat Pimpinan perusahaan atau pengeloIa dan akhirnya dalam hal kepailitan. (KUHPerd. 573, 1082; KUHD 35, 67.)<br /><br />13. Dihapus dg. S. 1927-146.<br /><br />BAB III. BEBERAPA JENIS PERSEROAN.<br />Bagian 1. Ketentuan-ketentuan Umum.<br /><br />14. Dihapus dg. S. 1938-276.<br /><br />Pasal 15.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Perseroan-perseroan yang disebut dalam bab ini dikuasai oleh perjanjian pihak-pihak yang bersangkutan, oleh Kitab Undang-undang ini dan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (KUHPerd. 1618 dst., KUHD 1.<br /><br />Bagian 2. Perseroan Firma Dan Perseroan Dengan Cara meminjamkan Uang<br />Atau Disebut Perseroan Komanditer.<br /><br />Pasal 16.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Perseroan Firma adalah suatu perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah satu nama bersama. (KUHD 19 dst., 22 dst., 26-11, 29; Rv. 6-5o, 8-2 o, 99.)<br /><br />Pasal 17.<br /> Tiap-tiap pesero kecuali yang tidak diperkenankan, mempunyai wewenang untuk bertindak, mengeluarkan dan menerima uang atas nama perseroan, dan mengikat perseroan kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga kepada perseroan. tindakan-tindakan yang tidak bersangkutan dengan perseroan, atau yang bagi para pesero menurut perjanjian tidak berwenang untuk mengadakannya, tidak dimasukkan dalam ketentuan ini. (KUHPerd. 1632, 1636, 1639, 1642; KUHD 20, 26, 29, 32.)<br /><br />Pasal 18.<br /> Dalam perseroan firma tiap-tiap pesero bertanggungjawab secara tanggung-renteng untuk seluruhnya atas perikatan-perikatan perseroannya. (KUHPerd. 1282, 1642, 1811.)<br /><br />Pasal 19.<br /> Perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseroan komanditer, didirikan antara seseorang atau antara beberapa orang pesero yang bertanggung-jawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinaman uang.<br />Suatu perseroan dapat sekaligus berwujud perseroan firma terhadap pesero-pesero firma di dalamnya dan perseroan komanditer terhadap pemberi pinjaman uang. (KUHD. 16, 20, 22 dst.)<br /><br />Pasal 20.<br /> Dengan tidak mengurangi kekecualian yang terdapat dalam pasal 30 alinea kedua, maka nama pesero komanditer tidak boleh digunakan dalam firma. (KUHD 19-21.)<br />Pesero ini tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan perseroan tersebut, biar berdasarkan pemberian kuasa sekalipun. (KUHD 17, 21, 32.)<br />Ia tidak ikut memikul kerugian lebih daripada jumlah uang yang telah dimasukkannya dalam perseroan atau yang harus dimasukkannya, tanpa diwajibkan untuk mengembalikan keuntungan yang telah dinikmatinya. (KUHPerd. 1642 dst.)<br /><br />Pasal 21.<br />Pesero komanditer yang melanggar ketentuan-ketentuan alinea pertama atau alinea kedua dari pasal yang lain, bertanggungjawab secara tanggung-renteng untuk seluruhnya terhadap semua utang dan perikatan perseroan itu. (KUHD 18.)<br /><br />Pasal 22.<br /> Perseroan-perseroan firma harus didirikan dengan akta otentik, tanpa adanya kemungkinan untuk disangkalkan terhadap pihak ketiga, bila akta itu tidak ada. (KUHPerd. 1868, 1874, 1895, 1898; KUHD 1, 26, 29, 31.)<br /><br />Pasal 23.<br /> para pesero firma diwajibkan untuk mendaftarkan akta itu dalam register yang disecliakan untuk itu pada keparliteraan raad van justitie (pengadilan negeri) daerah hukum tempat kedudukan perseroan itu. (Ov. 82; KUHPerd. 152; KUHD 24, 27 dst., 30 dst., 38 dst.; S. 1946-135 pasal 5.)<br /><br />Pasal 24.<br /> Akan tetapi para pesero firma diperkenankan untuk hanya mendaftarkan petikannya saja dari akta itu dalam bentuk otentik. (KUHD 26, 28.)<br /><br />Pasal 25.<br /> Setiap orang dapat memeriksa akta atau petikannya yang terdaftar, dan dapat memperoleh sahnannya atas biaya sendiri. (KUHD 38; S. 1851-27 pasal 7.)<br /><br />Pasal 26.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Petikan yang disebut dalam pasal 24 harus memuat:<br />10. nama, nama kecil, pekerjaan dan tempat tinggal para pesero firma;<br />20. pernyataan firmanya dengan menunjukkan apakah perseroan itu umum, ataukah terbatas pada suatu cabang khusus dari perusahaan tertentu, dan dalam hal terakhir, dengan menunjukkan cabang khusus itu; (KUHD 17.)<br />30. penunjukan para pesero, yang tidak diperkenankan bertandatangan atas nama firma;<br />40. saat mulai berlakunya perseroan dan saat berakhirnya;<br />50. dan selanjutnya, pada umumnya, bagian-bagian dari perjanjiannya yang harus dipakai untuk menentukan hak-hak pihak ketiga terhadap para pesero. (KUHD 27 dst.)<br /><br />Pasal 27.<br /> Pendaftarannya harus diberi tanggal dari hari pada waktu akta atau petikannya itu dibawa kepada panitera. (KUHD 23.)<br /><br />Pasal 28.<br /> Di samping itu para pesero wajib untuk mengumumkan petikan aktanya dalam surat kabar resmi sesuai dengan ketentuan pasal 26. (Ov. 105; KUHPerd. 444, 1036; KUHD 29, 38.)<br /><br />Pasal 29.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Selama pendaftaran dan pengumuman belum terjadi, maka perseroan firma itu terhadap pihak ketiga dianggap sebagai perseroan umum untuk segala urusan, dianggap didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan dan dianggap tiada seorang pesero pun yang dilarang melakukan hak untuk bertindak dan bertandatangan untuk firma itu.<br />Dalam hal adanya perbedaan antara yang didaftarkan dan yang diumumkan, maka terhadap pihak ketiga berlaku ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan pasal yang lalu yang dicantumkan dalam surat kabar resmi. (KUHPerd. 1916; KUHD 30 dst., 39.)<br /><br />Pasal 30.<br /> Firma dari suatu perseroan yang telah dibubarkan dapat dilanjutkan oleh seorang atau lebih, baik atas kekuatan perjanjian pendiriannya maupun bila diizinkan dengan tegas oleh bekas pescro yang namanya disembut di situ, atau bila dalam hal adanya kematian, para ahli waiisnya tidak menentangnya, dan dalam hal itu ulituk membuktikannya harus dibuat akta, dan mendaftarkannya dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi atas dasar dan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 23 dan berikutnya, serta dengan ancaman hukuman yang tercantum dalam pasal 29.<br />Ketentuan pasal 20 alinea pertama tidak berlaku, jikalau pesero yang mengundurkan diri sebagai pesero firma menjadi pesero komanditer. (KUHPerd. 1651, KUHD 26.)<br /><br />Pasal 31.<br /> Pembubaran sebuah perseroan firma sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian, atau terjadi karena pelepasan diii atau penghentian, perpanjangan waktu setelah habis waktu yang ditentukan, demikian puia segala perubahan yang diadakan dalam petia4ian yang asfi yang berhubungan dengan pihak ketiga, diadakanjuga dengan akta otentik, dan terhadap ini berlaku ketentuan-ketentuan pendaftaran dan pengumuman dalam surat kabar resmi seperti telah disebut.<br />Kelalaian dalam hal itu mengakibatkan, bahwa pembubaran, pelepasan diri, penghentian atau perubahan itu tidak berlaku terhadap pihak ketiga.<br />Terhadap kelalaian mendaftarkan dan mengumumkan dalam hal perpanjangan waktu perseroan, berlaku ketentuan-ketentuan pasiti 29. (KUHPerd. 1646 dst.; KUHD 22, 26, 30.)<br /><br />Pasal 32.<br /> Pada pembubaran perseroan, para pesero yang tadinya mempunyai hak mengurus harus membereskan urusan-urusan bekas perseroan itu atas nama firma itu juga, kecuali bila dalam perjanjiannya ditentukan lain , atau seluruh pesero (tidak termasuk para pesero komanditer) mengangkat seorang pengurus lain dengan pemungutan suara seorang demi scorang dengan suara terbanyak.<br />Jika pemungutan suara macet, raad van justitie mengambil keputusan sedemikian yang menurut pendapatnya paling layak untuk kepentingan perseroan yang dibubarkan itu. (KUHPerd. 1652; KUHD 17, 20, 22, 31, 56; Rv. 6-50, 99.)<br /><br />Pasal 33.<br /> Bila keadaan kas perseroan yang dibubarkan tidak mencukupi untuk membayar utang-utang yang telah dapat ditagih, maka mereka yang bertugas untuk membereskan keperluan itu dapat menagih uang yang seharusnya akan dimasukkan dalam perseroan oleh tiap-tiap pesero menurut bagiannya masing-masing. (KUHD 18, 22.)<br /><br />Pasal 34.<br /> Uang yang selama pemberesan dapat dikeluarkan dari kas perseroan, harus dibagikan sementara. (KUHD 33.)<br /><br />Pasal 35.<br /> Setelah pemberesan dan pembagian itu, bila tidak ada perjanjian yang menentukan lain, maka buku-buku dan surat-surat yang dulu menjadi milik perseroan yang dibubarkan itu tetap ada pada pesero yang terpilih dengan suara terbanyak atau yang ditunjuk oleh raad van justitie karena macetnya pemungutan suara, dengan tidak mengurangi kebebasan para pesero atau para penerima hak untuk melihatnya. (KUHPerd. 1801 dst., 1652, 1885; KUHD 12, 56.)<br /><br />Bagian 3. Perseroan Terbatas.<br /><br />(Mengenai Maskapai Andil Indonesia dan perubahan Perseroan Terbatas menjadi<br /> Maskapai Andil Indonesia, lihat S. 1939-569.)<br /><br />Pasal 36.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Perseroan terbatas tidak mempunyai firma, dan tak memakai nama salah seorang atau lebih dari antara para pesero, melainkan mendapat namanya hanya dari twuan perusahaan saja.<br />(s.d,u.dg. S. 1937-572.) Sebelum perseroan tersebut dapat didirikan, akta pendiriannya atau rencana pendiriannya harus disampaikan kepada Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau penguasa yang ditunjuk oleh Presiden untuk memperoleh izinnya.<br />Untuk tiap-tiap perubahan syarat-syarat dan untuk perpanjangan waktu perseroan, harus juga terdapat izin seperti itu. (KUHD 3 dst., 37, 51; Rv. 99; S. 1870-64.)<br /><br />Pasal 37.<br /> (s.d.u. dg. S. 1937-572.) Bila perseroan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum, dan selain itu tidak ada keberatankeberatan yang penting terhadap pendiriannya, pun pula aktanya tidak memuat ketentuan-ketentuan yang berlawanan dengan hal-hal yang diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 55, maka izinnya diberikan.<br />Bila izin itu tidak diberikan, alasan-alasannya diberitahukan kepada para pemohon agar diketahuinya, kecuab sekiranya pemberitahuan itu dianggap tidak seyogyanya.<br />Pemberian izin itu, bila ada alasan-alasannya, dapat digantungkan pada syarat bahwa perseroan itu akan bersedia dibubarkan, bila menurut pertimbangan Gubernur Jenderal (dalam hal ini Menteri Kehakiman) hal itu dianggap perlu untuk kepentingan umum.<br />Bila izin itu diberikan tanpa syarat, maka perseroan tidak dapat dibubarkan atas kekuasaan umum, kecuali setelah Hooggerechtshof (kini: Mahkamah Agung), yang pendapatnya dalam hal ini harus didengar, menyatakan, bahwa para pengurusnya telah tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat akta perseroan itu. (AB. 23; KUHPerd. 1335, 1653; KUHD 45, 50.)<br /><br />Pasal 38.<br /> Akta perseroan itu harus dibuat dalam bentuk otentik dengan ancaman akan batal. (KUHD 22 dst., 42, 48 dst., 52 dst., 56, 58.)<br />(s.d.u. dg. S. 1923-548, 594; S. 1937-572.) para pesero diwajibkan untuk mendaftarkan akte itu dalam keseluruhannya beserta izin yang diperolehnya dalam register yang diadakan untuk itu pada panitera raad van justitie dari daerah hukum tempat kedudukan perseroan itu, dan mengumumkannya dalam surat kabar resmi. (Ov. 82, 105; KUHD 23; S. 1946-135.)<br />SegaIa sesuatu yang tersebut di atas berlaku terhadap perubahan-perubahan dalam syarat-syarat, atau pada perpanJangan waktu perseroan.<br />Ketentuan-ketentuan pasal 25 berlaku juga terhadap ini.<br /><br />Pasal 39.<br /> Selama peadaftaran dan pengumuman seperti yang termaktub dalam pasal yang lalu belum terjadi, maka para pengurus atas perbuatan mereka, terikat secara pribadi untuk keseluruhannya terhadap pihak ketiga. (KUHD 45, 47.) 40. Modal perseroan dibagi atas sahain-saham atau Sero-sero atas nama atau blangko.<br />para pesero atau pemegang saham atau sero tidak bertanggung jawab lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu. (KUHD 42, 47, 50 dst.)<br /><br />Pasal 41.<br /> Tiada sero atau sabam blangko dapat dikeluarkan sebelum jumlah sepenuhnya disetor dalam kas perseroan. (KUHPerd. 1977; KUHD 43; Rv. 6-7.)<br /><br />Pasal 42.<br /> Dalam akta ditentukan cara bagaimana sero-sero atau saham-sahan atas nama dioperkan; hal itu dapat dilakukan dengan Pemberitahuan suatu pernyataan kepada para pengurus dari Pesaro bersangkutan dan pihak peneiima pengoperan, atau dengan pernyataan seperti itu yang dimuat dalam buku-buku perseroan itu dan ditandatangani oleh atau atas nama kedua belah pihak. (KUHPerd. 613 dst., 1977.)<br /><br />Pasal 43.<br /> Bila jumlah penuh sero atau saham demikian belum disetor, para pesero aslinya, atau ahli waris mereka atau mereka yang memperoleh hak, tetap bertanggungjawab atas penyetoran jumlah yang terutang pada perseroan, kecuali bila pengurus dan para komisaris, bila ini ada, menyatakan dengan tegas persetujuan mereka untuk menerima baik penerima hak yang baru itu, dan demikian pesero lama menjadi bebas dari egaIa tanggungjawab. (KUHPerd. 833, 955, 1417; KUHD 41.)<br /><br />Pasal 44.<br /> Perseroan itu diurus oleh para pengurus, para pesero, atau lain-lainnya yang diangkat oleh para pesero, dengan atau tanpa menerima upah, dengan atau tanpa pengawasan komisaris.<br />para pengurus tak dapat diangkat dengan cara yang tidak dapat ditarik kembali. (KUHPerd. 1636, 1814 dst.; KUHD 17, 38, 52, 54 dst.)<br /><br />Pasal 45.<br /> para pengurus tidak bertanggungiawab lebih daripada untuk menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka; mereka tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga atas perikatan perseroan.<br />Akan tetapi bila mereka melanggar suatu ketentuan dalam akta atau perubahan syarat-syaratnya yang diadakan kemudian, maka mereka terhadap pihak ketiga bertanggungjawab masing-masing secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya untuk kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga karenanya. (KUHPerd. 1800 dst.; KUHD 39, 47, 55.)<br /><br />Pasal 46.<br /> Perseroan terbatas itu harus didirikan untukiangka waktu tertentu, dengan tidak mengurangi kemungkinan untuk memperparoangnya, setiap kaii setelah waktu itu lampau. (KUHPerd. 1646-l'; KUHD 38.)<br /><br />Pasal 47.<br /> Bila nyata bagi para pengurus, bahwa telah diderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modal perseroan, maka mereka berkewajiban untuk mengumumkannya dalam register yang diselenggarakan untuk itu pada kepaniteraan raad van justitie, dan demikian pula dalam surat kabar resmi.<br />Bila kerugian itu berjumiah twuh puluh lima persen, maka perseroan itu demi hukum bubar, dan para pengurus bertanggungiawab terhadap pihak ketiga atas perjanjian-perjanjian yang telah mereka adakan setelah mereka tahu atau harus mereka tahu tentang kerugian itu. (KUHD 39, 45, 48.)<br /><br />Pasal 48.<br /> Untuk menghindari pembubaran menurut peraturan tersebut di atas, aktanya harus memuat ketentuan-ketentuan untuk membentuk kas cadangan yang dapat digunakan untuk menutupi kekurangan uang itu untuk sebagian atau untuk seluruhnya. (KUHD 49.)<br /><br />Pasal 49.<br /> Dalam akta itu tidak boleh diperjanjikan bunga tetap.<br />Pembagian-pembagiannya harus diambil dari pendapatan setelah dipotong dengan segala pengeluaran.<br />Akan tetapi dapat diadakan perjanjian, bahwa pembagian-pembagian itu tidak akan melebihi suatu jumlah tertentu. (KUHD 48, 55.)<br /><br />Pasal 50.<br /> (s.d.u. dg. S. 1937-572; S. 1938-161.) Izin termaksud dalam pasal 36 tidak akan diberikan, kecuali bila ternyata bahwa para pendiri pertama bersama-sama mewakili paling sedikit seperlima dari modal perseroan; selanjutnya akan ditentukan suatu jangka waktu, dimana sisa sero-sero atau saham-saham harus sudah ditempatkan.<br />Jangka waktu itu atas permohonan para pendiri selalu dapat diperpanjang oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau oleh pejabat yang berwenang atas penunjukan Presiden berdasarkan pasal 36 alinea kedua. (KUHD 36 dst.)<br /><br />Pasal 51.<br /> Perseroan itu tidak akan dapat mulai berjalan sebelum paling sedikit sepuluh persen dari modal bersama disetor. (KUHD 41, 50.)<br /><br />Pasal 52.<br /> Bila pekerjaan para komisaris hanya terbatas pada pengawasan terhadap para pengurus, dan dengan demikian sama sekali tidak ikut serta dalam pengurusan, maka mereka dalam akta dapat diberi kuasa untuk memeriksa dan mengesahkan perhitungan dan pertanggungjawaban para pengurus, atas nama para pesero.<br />Dalam hal yang sebaliknya, pemeriksaan dan pengesahan itu harus dilakukan oleh para pesero atau orang-orang yang ditunjuk dalam akta. (KUHD 43 dst., 54 dst.)<br /><br />Pasal 53.<br /> Pada perseroan asuransi atas benda-benda tertentu harus ditentukan dalam akta suatu maksimum, yang tidak boleh dilampaui untuk mengasuransikan telah menyerahkan kepada keputusan para pengurus, dengan atau tanpa para suatu benda yang sama, kecuali para pesero dalam akta dengan perjanjian tegas komisaris. (KUHD 246 dst., 253.)<br /><br />Pasal 54.<br />(s.d.u.t. dg. UU No. 4/1971, LN. 1971-20.)<br />(1) Hanya pemegang saham yang berhak mengeluarkan suara.<br />Setiap pemegang saham sekurang-kurangnja berhak mengeluarkan satu suara.<br />(2) Dalam hal modal perseroan terbagi dalam saham-saham dengan harga nominal yang sama, maka setiap pemegang saham berhak mengeluarkan suara sebanyak djumlah saham yang dimilikinja.<br />(3) Dalam hal modal perseroan terbagi dalam saham-saham dengan harga nominal yang berbeda, maka setiap pemegang saham berhak mengeluarkan suara sebanjak kelipatan dari harga nominal saham yang terkecil dari perseroan terhadap keseluruhan djumlah harga nominal dari saham yang dimiliki pemegang.<br />Sisa suara yang belum mencapai satu suara tidak diperhitungkan.<br />(4) Pembatasan mengenai banjaknja suara yang berhak dikeluarkan oleh pemegang saham dapat diatur dalam akta pendirian, dengan ketentuan bahwa seorang pemegang saham tidak dapat mengeluarkan lebih dari enam suara apabila modal perseroan terbagi dalam seratus saham atau lebih, dan tidak dapat mengeluarkan lebih dari tiga suara apabila modal perseroan terbagi dalam kurang dari seratus saham.<br />(5) Tidak seorang pengurus atau komisaris dibolehkan bertindak sebagai kuasa dalam pemungutan suara.<br /><br />Pasal 55.<br /> para pengurus diwajibkan setiap tahun membuat laporan tentang laba dan rugi yang diperoleh atau diderita dalam tahun yang telah lampau.<br />Laporan itu dapat dilakukan, baik dalam rapat umum, maupun dengan mengirimkan suatu daftar kepada masing-masing pesero, ataupun dengan menyediakan suatu perhitungan untuk diperiksa dan memberitahukannya kepada para pesero, dengan jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam akta. (KUHD 52; Rv. 764 dst.)<br /><br />Pasal 56.<br /> Perseroan yang dibubarkan dibereskan oleh para pengurus, kecuali bila dalam akta hal itu ditentukan cara lain. (KUHD 32 dst.; Rv. 99, 539-571.) Ketentuan pasal 35 berlaku untuk hal ini.<br /><br />57 dan 58. Dihapus dg. s. 1938-276.<br /><br />BAB IV. BURSA PERDAGANGAN, MAKELAR DAN KASIR.<br />Bagian 1. Bursa Perdagangan.<br /><br />Pasal 59.<br /> Bursa perdagangan adalah pertemuan para pedagang, juragan kapal, makelar, kasir dan orang-orang lain yang bersangkut-paut dengan perdagangan.<br />Hal itu diselenggarakan atas kekuasaan Gubernur Jenderal (dalam hal ini Menteri Keuangan). (KUHPerd. 1156; KUHD 61; Rv. 595-31.)<br /><br />Pasal 60.<br /> Dari perundingan-perundingan dan kesepakatan-kesepakatan yang diadakan pada bursa disusunlah ketentuan-ketentuan kurs-kurs wesel, harga barang-barang dagangan, asuransi-asuransi dan muatan janji laut, biaya pengangkutan laut dan darat, obligasi dalam dan luar negeri, dana-dana, dan surat-surat berharga lainnya yang dapat digunakan untuk menetapkan kurs.<br />Kurs-kurs atau harga-harga yang bermacam-macam itu disusun menurut peraturan atau kebiasaan setempat. (KUHPerd. 389, 398, 1077, 1155, 1427; KUHD 15 13 , 262, 621 dst.)<br /><br />Pasal 61.<br /> Jam mulai diadakan dan berakhirnya bursa, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan ketertibannya yang baik diatur oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Menteri Keuangan) dengan peraturan tersendiri.<br /><br />Bagian 2. Makelar.<br /><br />Pasal 62.<br /> (s.d.u. dg. S. 1906-335; 1938-276.) Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggamkan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap.<br />Sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan kewajiban yang dibebankan dengan jujur. (KUHPerd. 1078; KUHD 59, 71 dst., 681; S. 1920-69.)<br /><br />Pasal 63.<br /> Perbuatan-perbuatan para pedagang perantara yang tidak diangkat dengan cara demikian tidak mempunyai akibat yang lebih jauh daripada apa yang ditimbulkan dari perjanjian pemberian amanat. (KUHPerd. 389, 1155, 1792 dst.; KUHD 67 dst.)<br /><br />Pasal 64.<br /> Pekerjaan makelar terdiri dari mengadakan pembelian dan penjualan untuk majikannya atas barang-barang dagangan, kapal-kapal, saham-saham dalam dana umum dan efek tainnya dan obligasi, surat-surat wesel, surat-surat order dan surat-surat dagang tainnya, menyelenggarakan diskonto, asuransi, perkreditan dengan jaminan kapal dan pemuatan kapal, perutangan uang dan lain sebagainya. (KUHPerd. 1078; KUHD 62, 681 dst.)<br /><br />Pasal 65.<br /> Pengangkatan makelar adalah umum, yaitu dalam segala bidang, atau dalam akta pengangkatan disebutkan bidang atau bidang-bidang apa saja pekerjaan makelar itu boleh dilakukan.<br />Dalam bidang atau bidang-bidang di mana ia menjadi makelar, Ia tidak diperbolehkan berdagang, baik sendiri maupun dengan perantaraan pihak lain, ataupun bersama-sama dengan pihak-pihak lain, ataupun secara berkongsi, ataupun menjadi penjamin perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan perantaraan mereka. (KUHD 62, 64, 71 dst.; KUHPerd. 1468 dst.)<br /><br />Pasal 66.<br /> para makelar diwajibkan untuk segera mencatat setiap perbuatan yang dilakukan dalam buku-saku mereka, dan selanjutnya setiap hari memindahkannya ke dalam buku-harian mereka, tanpa bidang-bidang kosong, garis-garis sela, atau catatan-catatan pinggir, dengan menyebutkan dengan jelas nama-nama pihak-pihak yang bersangkutan, waktu perbuatan atau waktu penyerahan, sifatnya, jumlahnya dan harga barangnya, dan semua persyaratan perbuatan yang dilakukan. (KUHD 6.)<br /><br />Pasal 67.<br /> para makelar diwajibkan untuk memberikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan setiap waktu dan begitu mereka ini menghendaki, petikan-petikan dari buku mereka yang berisi segala sesuatu yang mereka catat berkenaan dengan perbuatan yang menyangkut pihak tersebut. (KUHD 12.)<br />Hakim dapat memerintahkan para makelar untuk membuka buku-bukunya di hadapan pengadilan untuk mencocokkan petikan-petikan yang dikeluarkan dengan aslinya, dan mereka dapat menuntut pewelasan tentang itu. (KUHPerd. 1905.)<br /><br />Pasal 68.<br /> Bila perbuatannya tidak seluruhnya dipungkiri, maka catatan-catatan yang dipindahkan oleh makelar dari buku-sakunya ke buku-hariannya merupakan bukti antara pihak-pihak yang ber-sangkutan mengenai waktu, dilakukannya perbuatan dan penyerahannya, inengenai sifat-sifat danjumlah barangnya, mengenai harga beserta syarat-syaratnya yang menjadi dasar pelaksanaan perbuatan itu. (KUHD 66.)<br /><br />Pasal 69.<br /> Bila tidak dibebaskan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka para makelar harus menyimpan contoh dari tiap-tiap partai barang yang telah dijual atas dasar contoh dengan perantaraan mereka, hingga pada waktunya terselenggara penyerahan, dengan dibubuhi catatan yang cukup untuk mengenalinya.<br /><br />Pasal 70.<br /> Setelah menutup jual-beli surat wesel atau efek lain semacam itu yang dapat diperdagangkan, makelar menyerahkannya kepada pembeh, bertanggung jawab atas kebenaran tanda tangan penjual yang ada di atasnya. (KUHD 65, 100, 110-113, 178, 187, 506 dst.)<br /><br />Pasal 71.<br /> para makelar yang bersalah karena melanggar salah satu ketentuan yang diatur dalam bagian ini, sejauh mengenai mereka, akan dihentikan sementara dari tugasnya oleh kekuasaan umum yang mengangkat mereka, menurut keadaan, atau dihentikan dari jabatannya, dengan tidak mengurangi hukuman-hukuman yang ditentukan untuk itu, demikian pula penggantian biaya-biaya, kerugiankerugian dan bunga-bunga yang menjadi kewajibannya sebagai penerima amanat. (KUHPerd. 1801, 1803; KUHD 62, 65 dst., 69.)<br /><br />Pasal 72.<br /> Seorang makelar dihentikan sementara dari tugasnya oleh keadaan pailit, dan kemudian dapat dihentikan dari jabatannya oleh hakim.<br />Dalam hal pelanggaran larangan yang termuat dalam pasal 65 alinea kedua, seorang makelar yang telah dinyatakan pailit, harus dipecat dari jabatannya. (KUHD 62, 71.)<br /><br />Pasal 73.<br /> Makelar yang telah dihentikan dari jabatannya tak dapat sama sekali dikembalikan ke dalam jabatannya. (KUHD 71 dst.)<br /><br />Bagian 3. Kasir.<br /><br />Pasal 74.<br /> Kasir adalah orang yang diserahi kepercayaan untuk menyimpan dan membayarkan uang dengan mendapat upah atau provisi tertentu. (KUHPerd. 1694 dst., 1792 dst., 1812; KUHD 6 dst., 59.)<br /><br />Pasal 75.<br /> Seorang kasir yang menangguhkan pembayarannya atau jatuh pailit dianggap karena kesalahannya sendiri menjatuhkan usahanya. (KUHPerd. 1916.)<br /><br />BAB V. KOMISIONER, EKSPEDITUR, PENGANGKUT DAN JURAGAN KAPAL YANG<br />MENGARUNGI SUNGAI-SUNGAI DAN PERAIRAN PEDALAMAN.<br />Bagian 1. Komisioner.<br /><br />Pasal 76.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Komisioner adalah orang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri atau firmanya, dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas order dan atas beban pihak lain. (KUHPerd. 1792 dst.; KUHD 6 dst, 62, 79, 85a.)<br /><br />Pasal 77.<br /> Komisioner tidak berkewajiban untuk memberitahukan kepada orang dengan siapa ia bertindak tentang yang menanggung beban tindakannya itu.<br />Ia langsung bertanggungjawab terhadap sesama rekan dalam perjanjian seolah-olah tindakan itu urusannya sendiri. (KUHPerd. 1802; KUHD 78, 85a, 240, 262.)<br /><br />Pasal 78.<br /> Pemberi amanat tidak mempunyai hak tagihan terhadap pihak dengan siapa komisioner bertindak, seperti halnya pihak yang bertindak dengan komisioner tidak dapat menuntut pemberi amanat. (KUHPerd. 1799.)<br /><br />Pasal 79.<br /> Akan tetapi bila seorang komisioner telah bertindak atas nama pemberi amanat, maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, juga terhadap pihak ketiga, diatur oleh ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam Bab "Pemberian Amanat".<br />Ia tidak mempunyai hak mendahului seperti dimaksud dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 1792 dst., 1812; KUHD 80 dst.)<br /><br />Pasal 80.<br /> Untuk tagihan-tagihan terhadap pemberi amanat sebagai komisioner, demikian pula dalam hal uang yang telah dibayarkan lebih dahulu, bunga-bunga, biaya-biaya dan provisi-provisi, demikian juga untuk perikatan-perikatannya yang masih berjalan, komisioner mempunyai hak mendahului atas barang-barang yang telah dikirim kepadanya oleh pemberi amanat untuk dijual, atau untuk disimpan sampai penentuan lebih lanjut, atau yang telah dibeli olehnya untuk pemberi amanat dan telah diterimanya, selama barang-barang itu masih ada dalam kekuasaannya.<br />Hak mendahului ini mengalahkan segala hak lainnya, kecuah dari pasal 1139-10 dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (KUHPerd. 1134, 1139-41, 51 dan 7'; KUHD 81 dst., 85, 85a.)<br /><br />Pasal 81.<br /> Bila barang-barang yang dimaksud dalam pasal 80 dijual dan diserahkan atas nama pemberi amanat, maka komisioner membayar pada dirinya sendiri jumlah tagihan-tagihannya yang ada hak mendahuluinya menurut pasal tersebut, yang diambilkan dari hasil penjualannya. (KUHPerd. 1425 dst.; KUHD 85a.)<br /><br />Pasal 82.<br /> Bila pemberi amanat telah mengirimkan barang-barang kepada komisioner, dengan amanat untuk menyimpannya sampai ketentuan lebih lanjut atau membatasi kekuasaan komisioner untuk menjualnya, atau bila amanat untuk menjualnya sudah dihapus, dan yang disebut pertama tidak memenuhi tagihan-tagihan komisioner terhadapnya yang diberi hak mendahului oleh pasal 80, maka dengan memperlihatkan surat-surat bukti yang perlu, atas surat permohonan sederhana komisioner dapat memperoleh izin dari raad van justitie tempat tinggalnya untuk menjual barang-barang itu seluruhnya atau sebagian dengan cara yang ditentukan dalam surat keputusan hakim.<br />Komisioner tersebut berkewajiban untuk memberitahukan kepada pemberi amanat baik tentang permohonan izin itu, maupun tentang penjualan yang telah terjadi berdasarkan izin itu paling lambat hari berikutnya, bila tiap-tiap hari ada pos ataupun telegrap, atau kalau tidak demikian, dengan pos pertama yang berangkat. Pemberitahuan dengan telegrap atau dengan surat tercatat berlaku sebagai pemberitahuan yang sah. (KUHPerd. 1366 dst.)<br /><br />Pasal 83.<br /> Seorang komisioner yang untuk pemberi amanat telah membeli barang-barang dan menerimanya, dapat diberi kuasa oleh raad van justitie tempat tinggalnya dengan cara seperti ditentukan dalam pasal di atas untuk menjual barangbarang itu, bila pemberi amanat tidak memenuhi tagihan-tagihan komisioner itu terhadapnya dan yang menurut pasal 80 diberi hak mendahului.<br />Alinea terakhir pasal 82 berlaku terhadap hal ini. (KUHD 81, 85a.)<br /><br />Pasal 84.<br /> (s.d.u. dg. S. 1906-348.) Dalam hal pailitnya pemberi amanat, maka ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 56, 57 dan 58 peraturan kepailitan mengenai pihak pemegang gadai atau pihak yang berutang berlaku bagi dan terhadap komisioner,<br />Penundaan pembayaran yang diberikan kepada pihak pemberi amanat tidak menjadi halangan baginya untuk menggunakan wewenang-wewenang yang diberikan kepadanya oleh pasal-pasal 81, 82 dan 83.<br /><br />Pasal 85.<br /> Pemberian wewenang-wewenang tersebut dalam pasal 81, 82 dan 83 sama sekali tidak mengurangi hak menahan yang diberikan kepada komisioner oleh pasal 1812 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (KUHD 76-79.)<br /><br />Pasal 85a.<br />(s.d.t. dg. S. 1938-276.) Bila seseorang atas namanya sendiri atau firmanya dan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas order dan atas beban orang lain, mengadakan perjanjian tanpa menjadikannya sebagai perusahaan, maka terhadapnya bertaku juga pasal-pasal 77, 78, 80 sampai dengan 85, 240 dan 241. (KUHD 6 dst., 76; KUHPerd. 1792, 1794.)<br /><br />Bagian 2. Ekspeditur.<br /><br />Pasal 86.<br /> Ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan.<br /> Ia diwajibkan membuat catatan-catatan dalam register harian secara berturut-turut tentang sifat dan jumlah barang-barang atau barang-barang dagangan yang harus diangkut, dan bila diminta, juga tentang nilainya. (KUHPerd. 1139-71, 1147, 1792 dst.; KUHD 6 dst., 76, 90, 95.)<br /><br />Pasal 87.<br /> Ia harus menjamin pengiriman dengan rapi dan secepatnya atas barang-barang dagangan dan barang-barang yang telah diterimanya untuk itu, dengan mengindahkan segala sarana yang dapat diambilnya untuk menamin pengiriman yang baik. (KUHPerd. 1244, 1367, 1800 dst.; KUHD 88.)<br /><br />Pasal 88.<br /> Ia juga harus menanggung kerusakan atau kehilangan barang-barang dagangan dan barang-barang sesudah pengirimannya yang disebabkan oleh kesalahan atau keteledorannya. (KUHD 91 dst.)<br /><br />Pasal 89.<br /> Ia harus juga menanggung ekspeditur-perantara yang digunakannya. (KUHPerd. 1803.)<br /><br />Pasal 90.<br /> Surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau juragan kapal, dan meliputi selain apa yang mungkin menjadi persetujuan antara pihak-pihak bersangkutan, seperti misalnya jangka waktu penyelenggaraan pengangkutannya dan penggantian kerugian dalam hal kelambatan, juga meliputi:<br />10. nama dan berat atau ukuran barang-barang yang harus diangkut beserta merek-mereknya dan bilangannya;<br />20. nama yang dikirimi barang-barang itu;<br />30. nama dan tempat tinggal pengangkut atau juragan kapal;<br />40. jumlah upah pengangkutan;<br />50. tanggal penandatanganan;<br />60. penandatanganan pengirim atau ekspeditur.<br />Surat muatan harus dicatat dalam daftar harian oleh ekspeditur. (KUHD 86, 454 dst., 506.)<br /><br />Bagian 3. Pengangkut Dan Juragan Kapal Melalui Sungai-sungai<br />Dan Perairan Pedalaman.<br /><br />Pasal 91.<br /> para pengangkut dan juragan kapal harus bertanggungjawab atas semua kerusakan yang terjadi pada barang-barang dagangan atau barang-barang yang telah diterima untuk diangkut, kecuali hal itu disebabkan oleh cacat barang itu sendiri, atau oleh keadaan di luar kekuasaan mereka,.atau oleh kesalahan atau ketalaian pengirim atau ekspeditur sendiri. (KUHPerd. 1139-71, 1147, 1246, 1367, 1617; KUHD 87 dst., 93, 95, 98, 342 dst., 533, 693.)<br /><br />Pasal 92.<br /> Pengangkut atau juragan kapal tidak bertanggung jawab atas kelambatan pengangkutan, bila hal itu disebabkan oleh keadaan yang memaksa. (KUHPerd.1245; KUHD 87.)<br /><br />Pasal 93.<br /> Setelah pembayaran upah pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang yang telah diangkut atas dasar pesanan diterima, maka gugurlah segala hak untuk menuntut kerugian kepada pengangkut atau juragan kapal dalam hal kerusakan atau kekurangan, bila cacatnya waktu itu dapat ditihat dari luar.<br /> Jika kerusakan atau kekurangannya tidak dapat dilihat dari luar, dapat dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan setelah barang-barang itu diterima, tanpa membedakan sudah atau belum dibayar upah pengangkutan, asalkan pemeriksaan itu diminta dalam waktu dua kali dua puluh empat jam setelah penerimaan, dan temyata barang-barang itu masih dalam wujud yang semula. (KUHD 485 dst., 746,753.)<br /><br />Pasal 94.<br /> (s.d. u. dg. S. 1925-497.) Bila terjadi penotakan penerimaan barang-barang dagangan atau barang-barang lainnya, atau timbul perselisihan tentang hal itu, ketua Raad van Justitie, atau bila tidak ada, hakim karesidenan ataujika Ia tidak ada, terhalang atau tidak di tempat, maka kepaIa pemerintahan setempat memerintahkan, atas surat pennohonan sederhana untuk diambil tindakan-tindakan seperlunya guna pemeriksaan barang-barang itu oleh ahli-ahli, setelah pihak lainnya, bila Ia berada di tempat itu juga, didengar, dan dengan demikian pula dapat memerintahkan juga untuk menyimpannya secara memuaskan, agar dari itu dapat dibayarkan upah pengangkutan dan biaya-biaya lainnya kepada pengangkut dan juragan kapal.<br /> Raad van justitie atau Hakim Karesidenan atau KepaIa Daerah setempat berwenang dengan cara seperti ditentukan di atas untuk memberi kuasa menual di depan umum barang-barang yang mudah rusak atau sebagian dari barang-barang itu untuk memenuhi pembayaran upah pengangkutan dan biaya lain. (KUHD 81, 493 dst.)<br /><br />Pasal 95.<br /> Semua hak-menuntut terhadap ekspeditur, pengangkut ataujuragan kapal berdasarkan kehilangan barang-barang seluruhnya, kelambatan penyerahan, dan kerusakan pada barang-barang dagangan atau barang-barang, kedaluwarsanya pengiriman yang dilakukan dalam wilayah Indonesia, selama satu tahun dan selama dua tahun dalam hal pengiriman dari Indonesia ke tempat-tempat lain, bila dalam hal hilangnya barang-barang, terhitung dari hari waktu seharusnya pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barangnya selesai, dan dalam hal kerusakan dan kelambatan penyampaian, terhitung dari hari waktu barang-barang itu seharusnya akan sampai di tempat tujuan.<br /> Kedaluwarsa ini tidak berlaku dalam hal adanya penipuan atau ketidakjujuran. (KUHPerd. 1967; KUHD 86 dst., 91, 93.)<br /><br />Pasal 96.<br /> Dengan tidak mengurangi hal-hal yang mungkin diatur dalam peraturan khusus, maka ketentuan-ketentuan bagian ini berlaku pula terhadap para pengusaha kendaraan umum di darat dan di air. Mereka berkewajiban menyelenggarakan registrasi untuk barang-barang yang diterimanya.<br /> Bila barang-barang itu terdiri dari uang, emas, perak, permata, mutiara, batubatu mulia, efek-efek, kupon-kupon atau surat-surat berharga lain yang semacam itu, maka pengirim berkewajiban untuk memberitahukan rdlai barang-barang itu, dan Ia dapat menuntut pencatatan hal itu dalam register tersebut.<br /> Bila pemberitahuan itu tidak terjadi, maka dalam hal terjadinya kehilangan atau kerusakan, pembuktian tentang nilainya hanya diperbolehkan menurut ujud lahirnya saja.<br /> Bila pemberitahuan nilai itu ada, maka hal itu dapat dibuktikan dengan segala alat bukti menurut hokum, dan malahan hakim I>erwenaiftg untuk mempercayai sepenuhnya pemberitahuan pengirim setelah diperkuat dengan sumpah, dan menaksir serta menetapkan ganti rugi berdasarkan pemberitahuan itu. (KUHD 86, 91 dst., S. 1823-3.)<br /><br />Pasal 97.<br /> Pelayaran-bergilir dan semua perusahaan pengangkutan lainnya tetap tunduk kepada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada dalam bidang ini, selama hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam bab ini.<br /><br />Pasal 98.<br /> Ketentuan-ketentuan bab ini tidak berlaku terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara pembeli dan penjual. (KUHPerd. 1457 dst., 1473 dst., 1513.) 99. Dihapus dg. S. 1938-276,<br /><br />BAB VI. SURAT WESEL DAN SURAT SANGGUP (ORDER).<br /><br />Anotasi:<br /> Bab lama telah diganti dengan bab ini dengan menghilangkanpasal 99, berdasarkan S. 1934-592 jo. 1935-531, yang berlaku terhitung dari 1 Januari 1936. Tujuannya ialah, agar ketentuan-ketentuan mengenai Surat Wesel dan Surat Sanggup sedapat-dapatnya dipersamakan dengan ketentuan-ketentuan Undang-undang Negeri Belanda dari 25 Juli 1932, N.S. 1932-405, yang telah disesuaikan dengan Traktat Genewa 7 Juni 1930 tentang:<br />1. pengadaan undang-undang yang seragam tentang surat-surat Wesel dan surat-surat sanggup;<br />2. pengaturan perselisihan-perselisihan mengenai surat-surat Wesel dan Suratsurat sanggup;<br />3. bea meterai surat-surat Wesel dan surat-surat sanggup.<br />Dengan undang-undang tgl. 25 April 1935 (N.S. No. 224) traktat-traktat itu dinyatakan berlaku terhadap Indonesia, Suriname dan Curaqao terhitung dari tgl. 14 Oktober 1935 untuk Indonesia dan Cura@ao.<br /><br />Bagian 1. Pengeluaran Dan Bentuk Surat Wesel.<br /><br />Pasal 100.<br /> Surat wesel memuat: (KUHD 174, 178,)<br />10. pemberian nama " surat Wesel ", yang dimuat dalam teksnya sendiri dan dinyatakan dalam bahasa yang digunakan dalam surat itu; (AB. 18.)<br />20. perintah tak bersyarat untuk membayar suatu jumlah uang tertentu; (KUHD 104 dst.)<br />30. nama orang yang harus membayar (tertarik); (KUHD 102.)<br />40. penunjukan hari jatuh tempo pembayaran; (KUHD 101, 132 dst.)<br />50. penunjukan tempat pembayaran harus dilakukan; (KUHD 101, 103, 126.)<br />60. nama orang kepada siapa pembayaran harus dilakukan, atau orang lain yang ditunjuk kepada siapa pembayaran itu harus dilakukan; (KUHD 102, 109a.)<br />70. pernyataan hari ditandatangani beserta tempat penarikan surat Wesel itu; (KUHD 101.)<br />80. tanda tangan orang yang mengeluarkan surat Wesel itu (penarik). (KUHD 106 dst.)<br /><br />Pasal 101.<br />Suatu surat demikian, di mana satu dari pernyataan-pernyataan yang termaktub dalam pasal yang lalu tidak tercantum, tidak berlaku sebagai surat Wesel, dengan pengecualian-pengecualian seperti tersebut di bawah ini: (KUHD 175, 179.)<br />Surat Wesel yang tidak ditetapkan hari jatuh tempo pembayarannya, dianggap harus dibayar pada hari ditunjukkannya.<br />Bila tidak terdapat penunjukan tempat khusus, maka tempat yang tersebut di samping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran dan juga sebagai tempat domisili tertarik.<br />Surat Wesel yang tidak menunjukkan tempat penarikannya, dianggap telah ditandatangani di tempat yang tercantum di samping nama penarik. (KUHPerd. 1915 dst., 1921.)<br /><br />Pasal 102.<br />Surat Wesel dapat dibuat kepada orang yang ditunjuk oleh penarik.<br />Dapat ditarik atas diri penarik sendiri.<br />Dan yang dapat ditarik atas beban pihak ketiga.<br />Penarik dianggap menarik atas beban diri sendiri, bila dari surat Wesel itu atau dari surat pemberitahuannya tidak temyata atas beban siapa hal itu terjadi. (KUHD 183; KUHPerd. 1915 dst., 1921.)<br /><br />Pasal 102a.<br />Bila penarik mencantumkan pada surat Wesel pernyataan "nilai untuk diinkaso ", "untuk inkaso ", "diamanatkan ", atau pernyataan lain yang membawa arti amanat betaka untuk memungut, maka penerimanya dapat menggunakan semua hak yang timbul dari surat Wesel, akan tetapi Ia tidak dapat mengendosemenkan secara lain daripada secara mengamanatkannya.<br />Pada surat Wesel demikian para debitur Wesel hanya dapat menggunakan alatalat pembantah terhadap pemegang, yang semestinya dapat mereka gunakan terhadap penarik.<br />Amanat yang termuat dalam surat Wesel inkaso tidak berakhir karena meninggatnya pemberi amanat atau karena kemudian pemberi amanat menjadi tidak cakap menurut hukum. (KUHD 100, 117; KUHPerd. 1792 dst., 1813.)<br /><br />Pasal 103.<br /> Surat Wesel dapat dibayar di tempat kediaman pihak ketiga, baik di tempat don-tisili tertarik, maupun di tempat lain. (KLTHD 100-5', 126, 185; KUHPerd. 17 dst., 24.)<br /><br />Pasal 104.<br /> Dalam surat Wesel yang harus dibayar atas pengunjukan atau dalam suatu jangka waktu tertentu setelah pengunukan, penarik dapat menentukan, bahwa jumlahuang itu membawa bunga.<br />Dalam tiap-tiap surat Wesel lain, Klausula bunga ini dianggap tidak ditulis. Bunga itu berjalan terhitung dari hari penandatanganan surat Wesel itu, kecuali bila dkunjuk hari lain.<br /><br />Pasal 105.<br /> Surat Wesel yangjumlah uangnya dengan lengkap ditulis dengan huruf danjuga dengan angka, maka bila terdapat perbedaan, berlaku menurutjumlah uang yang ditulis lengkap dengan huruf.<br />Surat Wesel yang jumlahnya berkali-kali ditulis dengan lengkap baik dengan huruf maupun dengan angka, maka bila terdapat perbedaan, hanya berlaku sebesar jumlah yang terkeeil. (KUHPerd. 1878 dst.; KUHD 186.)<br /><br />Pasal 106.<br /> Bila surat Wesel memuat tanda tangan orang-orang yang menurut hukum tidak cakap untuk mengikatkan diri dengan menggunakan surat Wesel, memuat lands tangan palsu, tanda tangan dari orang rekaan, atau tanda tangan orang-orang yang karena alasan-alasan lain apa pun juga tidak dapat mengikat orangorang yang telah membubuhkan tanda tangan atau orang yang atas nama siapa telah dilakukan hal itu, namun perikatan-perikatan orang-orang lain yang tanda tangannya terdapat dalam surat Wesel itu, berlaku sah. (KUHPerd. 108, 113, 1446, 1872, 1876 dst.; KUHD 70, 187; KUHP 264.)<br /><br />Pasal 107.<br /> Setiap orang yang membubuhkan tanda tangannya di atas surat Wesel sebagai wakil dari seseorang untuk siapa Ia tidak mempunyai wewenang untuk bertindak, Ia sendiri terikat berdasarkan surat Wesel itu, dan setelah membayar, mempunyai hak yang sama seperti yang semestinya ada pada orang yang katanya diwakilinya itu. Hal itu berlaku juga terhadap seorang wakil yang melampaui batas wewenangnya. (KUHPerd. 1797, 1806; KUHD 188.)<br /><br />Pasal 108.<br /> Penarik menjamin akseptasinya dan pembayarannya. (KUHD 120 dst., 137 dst., Rv. 299, 581.)<br />Ia dapat menyatakan dirinya bebas dari -penjaminan akseptasi; tiap-tiap Klausula yang membebaskannya dari kewajiban penjaminan pembayaran, dianggap tidak ditulis. (KUHD 121.)<br /><br />Pasal 109.<br /> Bila surat wesel yang pada waktu pengetuarannya tidak lengkap, telah dibuat lengkap, bertentangan dengan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat, maka kepada pemegang tidak dapat diajukan tentang tidak memenum perjanjian-perjanjian itu, kecuali pemegang telah memperoleh surat wesel itu dengan itikad buruk atau disebabkan oleh kesalahan yang besar. (KUHD 168.)<br /><br />Pasal 109a.<br />Penarik berkewajiban untuk menetapkan atas pilihan penerima, apakah harus dibayarkan kepada penerima surat wesel itu, ataukah kepada orang lain; dalam hal kedua-duanya itu kepada tertunjuk atau tanpa tambahan kata "kepada tertunjuk ", ataupun dengan penambahan suatu istilah seperti dimaksud dalam pasal 110 alinea kedua. (KUHD 102.)<br /><br />Pasal 109b.<br />Penarik atau seseorang atas tanggungan siapa surat wesel ditarik, berkewajiban untuk berusaha agar tertarik mempunyai dana yang cukup guna membayar, sekalipunjika surat wesel itu harus dibayar pada pihak ketiga, tapi dengan pengertian, bahwa penarik sendiri secara pribadi bagaimanapun bertanggung jawab pada pemegang dan para endosan sebelumnya. (KUHD 102 dst., 127a, 146a.)<br />109C. Tertarik dianggap telah mempunyai dana yang diperlukan itu, bila pada waktu jatuh tempo pembayaran surat wesel itu, atau pada saat di mana berdasarkan pasal 142 alinea ketiga pemegang dapat menggunakan hak regresnya, tertarik berutang kepada penarik atau kepada orang yang atas bebannya telah ditarik wesel, suatu jumlah uang yang sudah dapat ditagih, paling sedikit sama dengan jumlah pada surat weset itu. (KUHD 127a, 146a.)<br /><br />Bagian 2. Endosemen.<br /><br />Pasal 110.<br />Setiap surat wesel, juga yang tidak dengan tegas berbunyi kepada tertunjuk, dapat dipindahkan ke tangan orang lain dengan jalan endosemen.<br />Bila penarik mencantumkan dalam surat wesel itu: "tidak kepada tertu@uk" atau pernyataan lain semacam itu, maka surat wesel itu hanya dapat dipindahkan ke tangan orang lain dalam bentuk sesi biasa beserta akibat-akibatnya. Endosemen yang ditempatkan pada surat wesel yang demikian berlaku sebagai sesi biasa. (KUHPerd. 613.)<br />Endosemen itu bahkan dapat dilakukan untuk keuntungan tertarik, baik sebagai akseptan ataupun bukan, untuk keuntungan penarik atau setiap debitur wesel. Orang-orang ini dapat mengendosemenkan lagi surat wesel itu. (KUHD 111 dst., 119, 166.)<br /><br />Pasal 111.<br />Endosemen itu harus tidak bersyarat. Setiap syarat yang dimuat padanya dianggap tidak ditulis. (KUHD 114.)<br />Endosemen untuk sebagian adalah batal.<br />Endosemen atas-tunjuk berlaku sebagai endosemen dalam blangko. (KUHD 1122, 1132.)<br /><br />Pasal 112.<br />Endosemen itu harus diadakan di atas surat weset itu atau pada lembaran yang dilekatkan padanya (lembaran sambungan). Hal itu harus ditandatangani oleh endosan.<br />Endosemen itu dapat membiarkan pihak yang diendosemenkan tidak disebut, atau endosemen itu terdiri dari tanda tangan belaka dari endosan (endosemen blangko). Dalam hal yang terakhir, agar dapat berlaku sah, endosemen itu harus dibuat di halaman belakang surat wesel itu atau pada lembaran sambungannya. (KUHD 1133, 113 2.)<br /><br />Pasal 113.<br />Dengan endosemen itu semua hak-hak yang bersumber pada surat wesel itu dipindahkan ke tangan pihak lain. (KUHD 114.)<br />Bila endosemen itu dalam blangko, maka pemegangnya dapat: (KUHD 1113, 1122.)<br />10. mengisi blangko itu baik dengan namanya sendiri ataupun nama orang lain;<br />20. mengendosemenkan lebih lanjut surat wesel itu dalam blangko atau kepada orang lain;<br />30. menyerahkan surat wesel itu kepada pihak ketiga tanpa mengisi blangko itu dan tanpa mengendosemenkannya. (KUHPerd. 612 dst.; KUHD 194.)<br /><br />Pasal 114.<br />Kecuali bila dipersyaratkan lain, maka endosan me@amin akseptasi dan pembayarannya. (Rv. 299, 581-1 sub 11.)<br />Ia dapat melarang endosemen baru; dalam hal itu Ia tidak merdamin akseptasi dan pembayarannya terhadap mereka kepada siapa surat wesel itu diendosemenkan kemudian. (KUHD 111, 113'.)<br /><br />Pasal 115.<br /> Barangsiapa memegang surat wesel, dianggap sebagai pemegang yang sah, bila Ia menunjukkan haknya dengan memperlihatkan deretan endosemen yang tak terputus, bahkan bila endosemen terakhir dibuat sebagai endosemen blangko. Endosemen-endosemen yang dicoret dianggap dalam hal itu tidak ditulis. Bila endosemen blangko diikuti oleh endosemen lain, maka penandatangan endosemen terakhir ini dianggap telah mctmperoleh surat wesel itu karena endosemen dalam blangko. (KUHD 1393.)<br />Bila seseorang dengan jalan apa pun juga telah kehilangan surat wesel yang dikuasainya, maka pemegangnya yang menunjukkan haknya dengan cara seperti yang diatur dalam alinea di atas, tidak diwajibkan untuk melepaskan surat wesel itu, kecuali bila Ia telah memperolehnya dengan itikad buruk, atau karena suatu kesalahan yang besar. (KUHPerd. 582, 1977; KUHD 167a, 167b.)<br /><br />Pasal 116.<br /> Mereka yang ditagih berdasarkan surat wesel terhadap pemegangnya tidak dapat menggunakan alat-alat pembantah yang berdasarkan hubungan pribadinya dengan penarik atau para pemegang yang terdahulu, kecuali bila pemegang tersebut pada waktu memperoleh surat wesel itu dengan sengaja telah bertindak dengan merugikan debitur. (KUHD 102a, 118.)<br /><br />Pasal 117.<br /> Bila endosemen itu memuat pernyataan: "nilai untuk inkaso ", "diamanatkan ", atau pernyataan lain yang membawa arti amanat belaka untuk memungut, maka pemegangnya dapat rrtenggunakan semua hak yang timbul dari surat wesel itu, akan tetapi Ia tidak dapat mengendosemenkayinya secara lain daripada secara mengamanatkannya.<br />Dalam hal itu para debitur wesel hanya dapat menggunakan alat-alat pembantah terhadap pemegangnya, seperti yang semestinya dapat digunakan terhadap endosan.<br />Amanat yang termuat dalam endosemen inkaso tidak berakhir karena meninggainya pemberi amanat atau karena kemudian pemberi amanat menjadi tak cakap menurut hukum, (KUHD 102a; KUHPerd. 1792 dst., 1813.)<br /><br />Pasal 118.<br />Bila suatu endosemen memuat pernyataan: "nilai untuk jaminan ", “nilai untuk gadai " atau pernyataan lain yang membawa arti pemberianjaminan gadai, maka pemegangnya dapat mempergunakan segala hak yang timbul dari surat wesel itu, akan tetapi endosemen yang dilakukan olehnya hanya berlaku sebagai endosemen dengan cara pemberian amanat. (KLJHPerd. 1150, 1152 dst.)<br />para debitur wesel terhadap pemegangnya tidak dapat menggunakan alat-alat pembantah yang berdasarkan hubungan pribadi mereka terhadap endosan, kecuali bila pada waktu memperoleh surat wesel itu pemegang dengan sengaia telah bertindak dengan merugikan debitur. (KUHD 116.)<br /><br />Pasal 119.<br /> Endosemen yang dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran, mempunyai akibat-akibat yang sama seperti endosemen yang dibuat sebelum jatuh tempo itu. Akan tetapi endosemen yang dilakukan setelah protes non-pembayaran atau setelah lewat jangka waktu yang ditentukan untuk membuat protes itu, hanya mempunyai akibat-akibat sebagai sesi biasa. ( KUHPerd. 613.)<br />Dengan kemungkinan untuk membuktikan kebalikannya, maka endosemen tanpa tanggal dianggap dibuat sebelum lewatnyajangka waktu yang ditentukan untuk membuat protes tersebut. (KUHPerd. 1915 dst; KUHD 143.)<br /><br />Bagian 3. Akseptasi.<br /><br />Pasal 120.<br />Sampai hari jatuh tempo pembayaran, surat wesel dapat diajukan oleh pemegang yang sah atau oleh orang yang semata-mata hanya memegangnya belaka, kepada tertarik di tempat tinggalnya untuk akseptasi. (KUHD 121, 124 dst.)<br /><br />Pasal 121.<br />Dalam setiap surat wesel dapat ditentukan oleh penarik, dengan atau tanpa penetapan suatu jangka waktu, bahwasurat wesel itu harus diajukan untuk akseptasi.<br />Ia dapat melarang dalam surat wesel itu diajukan untuk akseptasi, kecuali dalam surat-surat wesel yang harus dibayar oleh pihak ketiga, atau harus dibayar di tempat lain dari tempat domisili tertarik atau yang harus dibayar pada waktu tertentu setelah pengunjukah. (KUHD 108, 122, 132.)<br />Ia dapat juga menentukan, bahwa mengajukannya untuk akseptasi tidak dapat dilakukan sebelum suatu hari tertentu. (KUHD 127c.)<br />Setiap endosan dapat menentukan, dengan atau tanpa penetapan jangka waktu, bahwa surat wesel itu harus diajukan untuk akseptasi, kecuali bila penarik telah menerangkan, bahwa surat wesel itu tidak dapat dimintakan akseptasi. (KUHD 127b.)<br /><br />Pasal 122.<br /> Surat wesel yang harus dibayar suatu waktu setelah ditunjukkan harus diajukan untuk akseptasi dalam satu tahun setelah hari ditandatangani. (KUHD 132 dst., 143, 152.)<br />Penarik dapat memperpendek atau memperpanjang hal itu.<br />Para endosan dapat memperpendek jangka-jangka waktu tersebut.<br /><br />Pasal 123.<br />Tertarik dapat meminta untuk mengadakan pengajuan kedua pada keesokan harinya setelah pengajuan hari pertama. Mereka yang berkepentingan tidak akan diperkenankan untuk menggunakan sebagai dalih, bahwa oleh mereka permintaan itu telah tidak dikabulkan, kecuali bila permintaan itu tercantum dalam protesnya.<br />Pemegang tidak berkewajiban untuk melepaskan kepada tertarik surat wesel yang diajukan olehnya untuk akseptasi. (KUHD 143.)<br /><br />Pasal 124.<br />Akseptasi dibuat di atas surat wesel. Hal itu dinyatakan dengan perkatataan: "diakseptasi", atau dengan kata semacam itu; Ia ditandatangani oleh tertarik. Sebuah tanda tangan saja dari tertarik yang dibubuhkan di halaman depan surat wesel itu, berlaku sebagai akseptasi. (KUHD 127, 127b.)<br />Bila surat wesel itu harus dibayar suatu waktu tertentu setelah ditunjukkan, atau bila ia berdasarkan persyaratan tegas harus diajukan untuk akseptasi dalam jangka waktu tertentu, maka dalam akseptasi harus termuat tanggal hari penyelenggaraannya, kecuali pemegangnya minta hari pengajuannya. Bila tanggal itu tidak tercantum, pemegangnya harus menyuruh menetapkan kelalaian itu dengan jalan protes pada saatnya, dengan ancaman hukuman kehilangan hak regres terhadap para endosan dan terhadap penariknya yang telah menyediakan dananya. (KUHD 122, 126, 143, 165.)<br /><br />Pasal 125.<br /> Akseptasi itu tidak bersyarat, akan tetapi tertarik dapat membatasinya sampai sebagian dari jumlahnya. (KUHPerd. 1253 dst., 1390.)<br />Setiap perubahan lain yang diadakan oleh akseptan berkenaan dengan hal yang dinyatakan dalam surat wesel itu, berlaku sebagai penolakan akseptasi. Akan tetapi akseptan terikat sesuai dengan isi akseptasinya. (KUHD 128, 143, 150.)<br /><br />Pasal 126.<br /> Bila penarik menetapkan pada surat wesel itu, bahwa pembayarannya harus dilakukan di tempat lain dari tempat domisiti tertarik, tanpa menunjuk orang ketiga di mana pembayaran hanis dilakukan, maka tertarik dapat menunjuknya pada akseptasinya. Dalam hal kelalaian penunjukan demikian, akseptan dianggap mengikatkan diri untuk membayar pada tempat pembayaran. (KUHD 101.)<br />Bila surat wesel itu harus dibayar di tempat domisili tertarik, maka ia dalam akseptasinya dapat menunjuk alamat di tempat itu juga di mana pembayarannya harus dilakukan. (KUHD 143a.)<br /><br />Pasal 127.<br /> Dengan akseptasi itu tertarik mengikat diri untuk membayar surat weselnya pada hari jatuh tempo pembayarannya. (KUHD 164.)<br />Dalam kelalaian pembayaran, pemegang sekalipun Ia penarik, mempunyai tagihan langsung yang timbul dari surat wesel itu terhadap akseptan, untuk segala sesuatu yang dapat ditagih berdasarkan pasal-pasal 147 dan 148. (Rv. 299, 581-1 sub 1'.)<br /><br />Pasal 127a.<br />Barangsiapa memegang dana secukupnya yang khusus disediakan untuk pembayaran surat wesel yang telah ditarik, diwajibkan melaksanakan akseptasinya, dengan ancaman hukuman penggantian biaya, kerugian dan bunga terhadap penarik. (KUHPerd. 1243 dst.; KUHD 109c, 127c, 146a, 152a.)<br /><br />Pasal 127b.<br />Penyanggupan untuk mengakseptasi suatu surat wesel, tidak berlaku sebagai akseptasi, akan tetapi memberi hak kepada penarik untuk menggugat penggantian kerugian terhadap penyanggup, yang menolak memenuhi kesanggupannya.<br />Kerugian terdiri dari biaya protes dan penarikan surat wesel baru, bila surat wesel itu telah ditarik atas beban penarik sendiri.<br />Bila penarikan telah dilakukan atas beban pihak ketiga, kerugian dan bunga itu terdiri dari biaya protes dan penarikan surat wesel baru, dan dari jumlah yang atas kredit surat wesel itu telah dibayar lebih dulu oleh penarik, berdasarkan penyanggupan yang diperoleh dari penyanggup, kepada pihak ketiga itu. (KUHPerd. 1243 dst.; KUHD 121, 151.)<br /><br />Pasal 127c.<br />Penarik berkewajiban untuk memberikan advis pada saatnya kepada tertarik tentang surat wesel yang ditarik olehnya, dan bila melalaikan hal itu, Ia berkewajiban mengganti biaya akibat penotakan akseptasi atau pembayaran yang terjadi karena itu. (KUHPerd. 1243 dst.; KUHD 127a.)<br /><br />Pasal 127d.<br />Bila surat wesel itu ditarik atas beban orang ketiga, maka hanya orang inilah yang terikat pada akseptan. (KUHD 102.)<br /><br />Pasal 128.<br /> Bila tertarik mencoret akseptasi yang telah dilakukan atas surat wesel sebelum penyerahan kembau surat tersebut, dianggap akseptasinya telah ditolak. Dengan kemungkinan pembuktian sebaliknya maka pencoretan itu dianggap telah terjadi sebelum penyerahan kembali surat wesel itu. (KUHD 125.)<br />Akan tetapi bila tertarik telah menyatakan secara tertulis tentang akseptasinya kepada pemegangnya atau kepada seseorang yang taanda tangannya terdapat dalam surat wesel itu, maka Ia terikat terhadap orang ini sesuai dengan isi akseptasinya. (KUHD 127, 127b.)<br /><br />Bagian 4. Aval (Perjanjian Jaminan).<br /><br />Pasal 129.<br /> Pembayaran suatu surat wesel dapat dijamin dengan perjanjian jaminan (aval) untuk seluruhnya atau sebagian dari uang wesel itu.<br />Peean tersebut dapat diberikan oleh pihak ketiga, atau bahkan oleh orang yang tanda tangannya terdapat dalam surat wesel itu. (KUHPerd. 1820 dst.; KUHD 125.)<br /><br />Pasal 130.<br /> Aval ditulis dalam surat wesel itu atau pada lembaran sambungan.<br /> Hal itu dinyatakan dengan kata-kata "baik untuk aval " atau dengan pernyataan semacam itu'; hal itu ditandatangari oleh pemberi aval.<br /> Tanda tangan saja dari pemberi aval pada halaman depan surat wesel itu, berlaku sebagai aval, kecuali bila tanda tangan itu dari tertarik atau penarik. (KUHPerd. 1824.)<br /> Hal itu juga dapat dilakukan dengan naskah tersendiri atau dengan sepucuk surat yang menyebutkan tempat di mana hal itu diberikan.<br /> Dalam aval itu harus dicantumkan untuk siapa hal itu diberikan. Bila hal itu tidak ada, dianggap diberikan untuk penarik. (KUHD 203.)<br /><br />Pasal 131.<br /> Pemberi aval terikat dengan cara yang sama seperti orang yang diberi aval. (KUHPerd. 1280, 1282, 1831 dst.; Rv. 299, 581-1 sub 11.)<br /> Perikatannya berlaku sah, sekalipun perikatan yang dijamin olehnya batal oleh sebab lain daripada eacat dalam bentuk. (KUHPerd. 1821.)<br /> Dengan membayar, pemberi aval memperoleh hak-hak yang berdasarkan surat wesel itu dapat digunakan terhadap orang yang diberi aval, dan terhadap mereka yang berdasarkan surat wesel itu terikat padanya. (KUHPerd. 1$39 dst.; KUHD 115.)<br /><br />Bagian 5. Hari jatuh Tempo.<br /><br />Pasal 132.<br /> Surat wesel dapat ditarik:<br />Pada waktu ditunjukkan;<br />Pada waktu tertentu setelah pengunjukan;<br /> Pada waktu tertentu setelah hari tanggalnya;<br />Pada hari tertentu.<br /> Surat-surat wesel dengan hari jatuh tempo yang ditentukan lain atau dapat dibayar dengan angsuran adalah batal. (KUHD 101.)<br /><br />Pasal 133.<br /> Surat wesel yang ditarik sebagai wesel atas-tunjuk harus dibayar pada waktu ditunjukkan. Surat wesel tersebut harus diajukan untuk dibayar dalam jangka satu tahun setelah hari tanggalnya. Penarik dapat memperpendek atau memperpanjang jangka waktu itu. para endosan dapat memperpendek jangka waktu itu.<br />Penarik dapat menetapkan, bahwa suatu surat wesel tidak boleh diajukan untuk dibayar sebefum hari tertentu. Dalam hal demfldan jangka waktu itu berjalan mulai hari itu. (KUHD 122, 136, 143 3.)<br /><br />Pasal 134.<br /> Hari jatuh tempo pembayaran suatu surat wesel yang ditarik untuk dibayar pada suatu waktu tertentu setelah penguitukan, ditentukan olch hari tanggal akseptasi, atau hari tanggal protesnya.<br /> Bila tidak ada protes maka akseptasi yang tidak bertanggal, terhadap akseptan dianggap telah dilakukan pada hari terakhir dari jangka waktu yang ditetapkan untuk mengajukannya untuk akseptasi. (KUHD 122, 124, 1352, 142 dst.)<br /><br />Pasal 135.<br /> Surat wesel yang ditarik untuk dibayar satu atau beberapa bulan setelah hari tanggalnya atau setelah pengunjukan, jatuh temponya ialah pada hari dari bulan seperti yang ditetapkan untuk melakukan pembayaran itu. Bila tidak terdapat hari seperti yang dimaksud maka surat wesel demikian mencapai jatuh tempo pembayarannya pada hari terakhir bulan itu.<br />Pada surat wesel yang ditarik dengan jatuh tempo pembayaran pada satu atau beberapa bulan ditambah setengah bulan setelah hari tanggalnya atau setelah pengunjukan, dihitung lebih dahulu bulan-bulannya yang penuh.<br />Bila hari jatuh tempo itu ditentukan pada awal, pertengahan (pertengahan Januari, pertengahan Februari dsb.) atau pada akhir suatu bulan, maka pernyataan-pernyataan demikian harus diartikan: tanggal satu, tanggal lima belas, hari terakhir butan itu.<br />Pernyataan-pernyataan: "delapan hari ", "lima belas hari ", harus diartikan bukan satu atau dua minggu, melainkan suatu jangka waktu dari delapan atau lima belas hari.<br />Pernyataan: "setengah bulan " berarti jangka waktu lima belas hari. (KUHD 137.)<br /><br />Pasal 136.<br /> Hari jatuh tempo suatu surat wesel yang harus dibayar pada suatu hari tertentu, pada suatu tempat, di mana tarikhnya berlainan dengan tarikh tempat pengeluarannya, dianggap telah ditetapkan menurut tarikh tempat pembayaran.<br /> Hari pengeluaran suatu surat wesel yang ditarik antara dua tempat dengan tarikh yang berbeda dan harus dibayar pada waktu tertentu setelah pengunjukan, dijatuhkan pada hari yang sama dari tarikh tempat pembayaran, dan hari jatuh tempo pembayarannya ditetapkan sesuai dengan itu.<br /> Jangka waktu pengajuan surat wesel dihitung sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam alinea yang lalu.<br /> Pasal ini tidak berlaku bila dari Klausula yang termuat dalam surat wesel itu atau dari kata-katanya dapat ditarik kesimpulan tentang adanya maksud lain. (AB. 18; KUHD 207.)<br /><br />Bagian 6. Pembayaran.<br /><br />Pasal 137.<br /> Pemegang suatu surat wesel, yang harus dibayar pada hari tertentu atau pada waktu tertentu setelah pengunjukan, harus mengajukannya untuk pembayaran, pada hari surat itu harus dibayar, atau satu dari antara dua hari kerja berikutnya.<br />Pengajuan suatu surat wesel kepada suatu badan pemberesan berlaku sebagai pengajuan untuk pembayaran. Oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) akan ditunjuk badan-badan yang akan dipandang sebagai badan pemberesan dalam arti bab ini. (KUHD 100-41, 120, 122, 133, 135, 139, 141.)<br /><br />Pasal 138.<br /> Di luar hal seperti yang tercantum dalam pasal 167b, tertarik sambil membayar surat wesel itu, dapat menuntut penyerahan surat wesel itu kepadanya lengkap dengan tanda pelunasan yang sah dari pemegangnya.<br /> Pemegang tidak boleh menolak pembayaran sebagian. (KUHD 125.)<br /> Dalam hal pembayaran sebagian, tertarik dapat menuntut, bahwa tentang pembayaran itu dinyatakan di atas surat wesel itu dan bahwa untuk itu Ia mendapat tanda pembayaran. (KUHPerd. 1390; KUHD 150, 164, 168, 169, 21 1.)<br /><br />Pasal 139.<br />Pemegang surat wesel tidak dapat dipaksa untuk menerima pembayaran sebelum hari jatuh temponya.<br />Tertarik yang membayar sebelum harijatuh temponya, melakukan hal itu atas tanggungjawabnya sendiri. (KUHPerd. 1360 dst.)<br />Barangsiapa membayar surat wesel pada hari jatuh temponya, telah terbebas dengan sempuma, asalkan dari pihaknya tidak ada penipuan atau kesalahan yang besar. ia berkewajiban merrieriksa tertibnya deretan endosemen-endosemen, tetapi tidak terhadap tanda tangannya. (KUHPerd. 1385 dst.; KUHD 115.)<br />Bila ia, setelah melakukan pembayaran tanpa dibebaskan, diwajibkan membayar untuk kedua kalinya, maka Ia mempunyai hak-menagih kepada mereka yang telah memperoleh surat wesel itu dengan itikad buruk, atau mereka yang telah memperoleh karena kesalahannya yang besar. (KUHPerd. 1270, 1386, 1405-40; KUHD 147 2, 167a, b, 212.)<br /><br />Pasal 140.<br /> Surat wesel yang pembayarannya dipersyaratkan untuk dilakukan dengan uang lain dari yang berlaku di tempat pembayarannya, dapat dibayar dengan uang dari negerinya menurut nilai pada hari jatuh temponya. Bila debitur lalai, pemegang dapat menuntut menurut pilihannya, bahwa jumlah pada surat wesel itu dibayar dalam uang negerinya menurut kursnya, baik dari hari jatuh temponya ataupun dari hari pembayarannya.<br /> Nilai uang asing itu, ditetapkan menurut kebiasaan di tempat pembayarannya. Akan tetapi penarik dapat menetapkan, bahwa jumlah uang yang harus dibayar harus dihitung menurut kurs yang ditetapkan dalam surat wesel tersebut.<br /> Hal yang tercantum di atas tidak berlaku bila penarik menetapkan, bahwa pembayarannya harus dilakukan dalam uang tertentu yang ditunjuknya (klausula pembayaran sungguh dalam uang asing).<br /> Bila jumlah dalam wesel itu dinyatakan dalam uang yang mempunyai nama sama, akan tetapi mempunyai nilai yang berbeda dalam negeri pengeluarannya dan negeri tempat pembayarannya, maka dianggap bahwa yang dimaksud adalahuang dari tempat pembayarannya. (KUHPerd. 1756 dst.; KUHD 60,100-20, 1513 , 213.)<br /><br />Pasal 141.<br /> Bila tidak terjadi pengunjukan surat wesel untuk pembayaran, dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam pasal 137, maka tiap-tiap debitur mempunyai wewenang untuk menyerahkan jumlah itu kepada yang berwajib untuk disimpan atas biaya dan tanggung jawab pemegangnya. (KUHPerd. 1280 dst., 1382, 1385, 1387, 1393, 1395, 1404 dst., 1407 dst., 1409 dst.; KUHD 1271, 133, 139, 142, 146.)<br /><br />Bagian 7. Hak Regres Dalam Hal Nonakseptasi Atau Nonpembayaran.<br /><br />Pasal 142.<br />(s.d.u. dg. S. 1937-590.) Pemegang surat wesel dapat melakukan hak regresnya terhadap para endosan, terhadap penarik dan para debitur wesel lainnya: (KUHD 108, 109b, c, 114, 127, 131.)<br />Pada hari jatuh temponya: (KUHD 100-40.)<br />Bila pembayarannya tidak terjadi. (KUHD 132 dst., 137, 141.)<br /> Bahkan sebelum hari jatuh temponya:<br />10. bila akseptasi ditolak seluruhnya atau sebagian; (KUHD 120 dst., 125.)<br />20. dalam hal pailitnya tertarik, baik sebagai akseptan ataupun bukan dan sejak saat berlakunya penundaan pembayaran; (KUHD f435 6 ; F. 1 dst., 212 dst., 216.)<br />30. dalam hal pailitnya penarik dari surat wesel yang tidak dapat dimintakan akseptasinya. (KUHD 1435,6; F. 1 dst.)<br /><br />Pasal 143.<br />Penolakan akseptasi atau pembayaran harus ditetapkan dengan akte otentik (protes nonakseptasi atau nonpembayaran).<br />Protes nonakseptasi harus diselenggarakan dalamjangka waktu yang ditetapkan untuk pengajuan untuk akseptasi. Bila dalam hal seperti yang diatur dalam pasal 123 alinea pertama, pengajuan pertama dilakukan pada hari terakhir dari jangka waktu itu, maka protes itu masih dapat dilakukan pada hari berikutnya.<br />Protes nonpembayaran suatu surat wesel yang harus dibayar pada hari tertentu, atau pada waktu tertentu setelah hari tanggalnya atau setelah pengunjukan, harus dilakukan pada salah satu dari dua hari kerja yang berikut dari hari surat wesel itu harus dibayar. Bila ini mengenai surat wesel yang harus dibayar atas-tunjuk, maka protesnya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam alinea di atas untuk membuat protes nonakseptasi.<br />Protes nonakseptasi menjadikan Pengajuan untuk pembayaran dan protes nonpembayaran tidak perlu lagi.<br />Dalam pengangkatan para pengurus atas permintaan tertarik, akseptasi atau bukan akseptan, untuk penundaan pembayaran, maka pemegangnya tidak dapat melakukan hak regresnya, sebelum surat wesel itu diajukin kepada tertarik untuk pembayaran dan dibuat protes.<br />Bila tertarik, akseptan atau bukan akseptan, telah dinyatakan pailit, atau bila penarik surat wesel yang tidak dapat dimintakan akseptasi, dinyatakan pailit, maka untuk melakukan hak regresnya, pemegangnya cukup dengan memperlihatkan keputusan hakim, di mana dinyatakan kepailitan itu. (KUHD 120 dst., 125, 132 dst., 143b, 143d, 145, 171, 217; F. I dst., 212, 214.)<br /><br />Pasal 143a.<br /> Permintaan pembayaran surat wesel dan protes yang menyusulnya kemudian, harus dilakukan di tempat tinggal tertarik.<br /> Bila surat wesel itu ditarik untuk dibayar di tempat tinggal lain yang ditunjuk, atau oleh orang yang ditunjuk, baik di dalam afdeling (kini dapat disamakan dengan kabupaten) yang sama maupun dalam kabupaten lain, maka permintaan pembayaran dan pembuatan protes harus dilakukan di tempat tinggal yang ditunjuk atau kepada orang yang ditunjuk itu.<br /> Bila orang yang harus membayar surat wesel itu tidak dikenal sama sekali atau tidak dapat ditemukan, maka protes itu harus dilakukan pada kantor pos di tempat tinggal yang ditunjuk untuk pembayaran, dan bila di sana tidak ada kantor pos, di daerah Gubememen di Jawa dan Madura kepada asisten-residen dan di luar itu kepada KepaIa Pemerintahan Daerah setempat. Demikianlah juga harus dilakukan seperti itu, bila surat wesel ditarik untuk dibayar di luar kabupaten yang bukan tempat tinggal tertarik, dan tidak ditunjuk tempat tinggal untuk melakukan pembayarannya. (KUHPerd. 1393; KUHD 100-31, 102, 126. 143b-2 sub 21, 218a; F. 962.)<br /><br />Pasal 143b.<br />Semua protes, baik protes nonakseptasi maupun protes nonpembayaran harus dibuat oleh notaris atau oleh juru sita. Hal itu harus disertai dua saksi.<br />Protes-protes itu memuat:<br />10. salinan kata demi kata dari surat weselnya, dari akseptasinya, dari endosemen-endosemen, dari avalnya dan dari alamat-alamat yang dibuat di atasnya;<br />20. pernyataan, bahwa mereka telah memintakan akseptasi itu atau pembayarannya kepada orang-orang atau di tempat yang disebut dalam pasal yang lalu dan tidak memperolehnya;<br />30. pernyataan tentang alasan yang telah dikemukakan tentang nonakseptasi atau nonpembayaran;<br />40. peringatan untuk menandatangard protes itu, dan alasan-alasan penolakannya;<br />50. pernyataan, bahwa ia, notaris ataujuru sita, karena nonakseptasi atau nonpembayaran itu telah memprotes.<br />Bila protes itu mengenai surat wesel yang hilang, cukuplah dengan uraian yang seteliti-telitinya dari isi surat wesel itu, untuk mengganti apa yang ditentukan dalam 10 dari alinea yang lalu. (KUHD 112, 124 dst., 130, 137, 155 dst., 169, 167a dst., 218b; Not. 1, 20 dst.)<br /><br />Pasal 143c.<br />para notaris atau juru sita dengan ancaman untuk mengganti biaya-biaya, kerugian dan bunga, wajib untuk membuat salinan protes tersebut dan memberitahukan hal itu dalam, dan membukukannya dalam register khusus, menurut urutan waktu, yang diberi nomor dan tanda pengesahan oleh Ketua raad van justitie, bila tempat tinggal mereka dalam kabupaten di mana raad van justitie itu berada, dan di luar itu, oleh hakim pengadilan karesidenan; bila ini tidak ada, terhalang atau tak mungkin bertindak, di daerah Gubememen di Jawa dan Madura oleh asisten-residen dan di luar itu oleh Kepala Pemerintahan Daerah setempat. Mereka juga berkewajiban, bila dikehendaki, untuk menyerahkan selembar atau lebih dari salinan-salinan protes itu kepada mereka yang berkepentingan. (KUHD 218c; Rv. 4, 8.)<br /><br />Pasal 143d.<br />Sebagai protes nonakseptasi, dan berturut-turut juga sebagai protes nonpembayaran, berlakulah keterangan yang dibuat di atas surat wesel dengan izin pemegangnya, ditanggau dan ditandatangani oleh orang yang diminta akseptasinya atau pembayarannya, yang berisi bahwa ia menolak, kecuali bila penarik telah mencatat, bahwa ia menghendaki protes otentik. (KUHD 143, 217-20.)<br /><br />Pasal 144.<br />Pemegangnya harus memberitahu kepada endosannya dan kepada penariknya tentang nonakseptasi atau nonpembayaran itu dalam empat hari kerja berikut dari hari protes, atau bila surat wesel itu telah ditarik dengan klausula tanpa biaya, berikut pada hari pengajuan. Setiap endosan harus memberitahukan tentang pemberitahuan yang diterimanya dalam dua hari kerja berikut pada hari penerimaan pemberitahuan tersebut, dengan menunjukkan nama dan alamat mereka yang telah melakukan pemberitahuan yang terdahulu, dan demikian selanjutnya kembali pada penariknya. Jangka-jangka waktu ini berjalan mulai hari penerimaan pemberitahuan-pemberitahuan yang lebih dahulu.<br /> Bila sesuai dengan alinea yang lalu disampaikan pemberitahuan kepada seseorang yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel itu, harus disampaikan pemberitahuan yang sama dalam jangka waktu itu juga kepada pemberi avalnya.<br /> Bila seorang endosan tidak menyatakan alamatnya atau menyatakannya dengan cara yang sukar dibaca, sudah cukuplah dengan pemberitahuan kepada endosan yang lebih dahulu.<br /> Barangsiapa harus mengadakan pemberitahuan, dapat melakukan hal itu dalam bentuk apa pun, bahkan dapat dengan hanya mengirimkan kembali surat weselnya.<br /> Ia harus membuktikan, bahwa ia telah iinelakukan pemberitahuan itu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Jangka waktu tersebut dianggap telah diindahkan, bila surat yang memuat pemberitahuan itu dalam jangka waktu tersebut telah disampaikan dengan pos. (KUHPerd. 1916.)<br /> Barangsiapa melakukan pemberitahuan itu tidak dalam jangka waktu tersebut di atas, tidak menyebabkan dirinya kehilangan hak; bila ada alasannya, ia bertanggungjawab atas segala kerugian yang disebabkan oleh kelalaiannya, akan tetapi biaya, kerugian dan bunga itu tidak mungkin melampaui jumlah pada wesel tersebut. (KUHPerd. 1243 dst.; KUHD 143 dst., 153, 219.)<br /><br />Pasal 145.<br /> Penarik, seorang endosan atau seorang pemberi aval, dapat membebaskan pemegangnya dari pembuatan protes nonakseptasi atau nonpembayaran, untuk melaksanakan hak regresnya, denganjalan klausula "tanpa biaya", "tanpa protes" atau Klausula lain semacam itu yang ditulis dan ditandatangani diatas surat wesel itu.<br /> Klausula ini tidak membebaskan pemegang dari pengajuan surat wesel itu dalam jangka-jangka waktu yang ditetapkan ataupun dari penyelenggaraan pemberitahuannya. Bukti tentang tidak diindahkannya jangka waktu itu harus diberikan oleh mereka yang mendasarkan haknya atas hal itu terhadap pemegang.<br /> Bila Klausula itu dibuat oleh penarik, maka hal itu berakibat terhadap mereka semua yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel itu; bila hal itu dibuat oleh endosan atau pemberi aval, maka hal ini hanya berakibat terhadap endosan atau pemberi aval saja. Bila pemepng mengadakan juga protes, meskipun ada Klausula itu yang dibuat oleh penarik, maka biaya-biayanya untuk itu adalah atas bebannya. Bila Klausula itu berasal dari seorang endosan atau seorang pemberi aval, maka bila diadakan protes, biayanya dapat ditagih pada mereka semua yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel itu. (KUHD 143, 143d, 147-1 sub 30, 220.)<br /><br />Pasal 146.<br /> Semua orang yang menarik, mengakseptasi, mengendosemen, atau menandatangani surat wesel untuk aval, terikat pada pemegangnya secara tanggung-renteng. Di samping itu juga pihak ketiga yang atas bebannya telah ditarik surat wesel itu dan telah menikmati nilainya, bertanggungjawab pula terhadap pemegang.<br /> Pemegang dapat menggugat orang-orang ini, baik masing-masing tersendiri, maupun bersama-sama, tanpa berkewajiban untuk mengindahkan urutan waktu mereka mengikatkan diri.<br /> Hak itu pun diberikanjuga kepada setiap orang yang tanda tangannya terdapat pada surat weset itu dan telah membayarnya untuk memenuhi kewajiban regresnya.<br /> Gugatan yang dilakukan terhadap salah seorang debitur wesel, tidak menghalangi gugatan kepada debitur lainnya, meskipun mereka mengjkatkan diri lebih belakangan daripada yang digugat paling Pertama. (KUHPerd. 1280 dst., 1283, 1292 dst.; KUHD 102 dst., 110 dst,, 120 dst., 127, 131, 152, 152a, 157, 165, 167, 221; P. 132; Rv. 299, 581-1 sub 11.)<br /><br />Pasal 146a.<br /> Pemegang surat wesel yang diprotes tidak mempunyai hak apa pun atas uang cadangan penarik yang ada pada tertarik.<br /> Bila surat wesel itu tidak diakseptasi, maka dalam hal kepailitan penarik, uang wesel termasuk harta bendanya. (F. 19.)<br /> Dalam hal akseptasi, tetaplah dana itu pada tertarik sampai jumlah dalam surat wesel itu, dengan tidak mengurangi kewajibannya terhadap pemegang untuk memenuhi akseptasinya. (KUHD 109b dst., 127a, 221a.)<br /><br />Pasal 147.<br /> Pemegang melakukan gugatan kepada mereka, terhadap siapa Ia melaksanakan hak regresnya:<br />10. jumlah surat wesel yang tidak diakseptasi atau tidak dibayar dengan bunganya bila hal ini dipersyaratkan;<br />20. bunga sebesar enam persen, terhitung dari hari jatuh tempo pembayarannya;<br />30. biaya-biaya protes, pemberitahuan-pemberitahuan yang telah dilakukan beserta biaya-biaya lainnya. (KUHD 1453.)<br />Bila penggunaan hak regres dilaksanakan sebelum hari jatuh tempo, maka dilakukan pemotongan terhadap jumlah uang wesel itu. Potongan ini dihitung menurut diskonto resmi (diskonto bank) yang berlaku qi tempat tinggal pemegang, pada hari pelaksanaan hak regres. (KUHPerd. 12503; KUHD 104, 127, 139, 142 dst., 143d dst., 148, 151, 152a, 157, 222.)<br /><br />Pasal 148.<br />Barangsiapa telah membayar surat wesel untuk memenuhi kewajiban regresnya, dapat menagih kepada orang yang mempunyai kewajiban regres terhadapnya:<br />10. seluruh jumlah uang yang telah dibayarnya;<br />20. bunga sebesar enam persen terhitung dari hari pembayarannya;<br />30. biaya-biaya yang telah dikeluarkannya. (KUHPerd. 12500; KUHD 147, 151,223.)<br /><br />Pasal 149.<br /> Setiap debitur wesel, terhadap siapa dilakukan atau dapat dilakukan hak regres, dapat menuntut dengan pembayaran sebagai pemenuhan kewajiban regresnya, untuk penyerahan surat wesel itu dengan protesnya beserta perhitungan yang ditandatangani sebagai tanda pelunasan.<br />Setiap endosan yang telah membayar surat wesel untuk memenuhi kewajiban regresnya, dapat mencoret endosemennya sendiri dan endosemen-endosemen berikutnya. (KUHD 138, 146 dst, 224.)<br /><br />Pasal 150.<br />Dalam hal akseptasi sebagian dapatlah orang yang telah membayar bagian nilai wesel yang tidak diakseptasi untuk memenuhi kewajiban regresnya, menuntut, bahwa pembayaran itu disebutkan dalam surat wesel itu dan padanya diberi tanda pelunasan. Di samping itu pemegang harus menyerahkan kepadanya salinan surat wesel itu yang sama bunyinya beserta protesnya, untuk memungkinkannya melaksanakan hak-hak regres selanjutnya. (KUHPerd. 1390; KUHD 125, 143, 166 dst.)<br /><br />Pasal 151.<br /> Setiap orang yang dapat melakukan hak regres, kecuali dipersyaratkan kebalikannya, dapat mendapatkan bagi dirinya penggantian kerugian-kerugian itu dengan jalan surat wesel baru (surat wesel ulangan) yang ditarik sebagai surat wesel untuk salah scorang dari mereka yang berkewajiban regres terhadapnya, dan harus dibayar di tempat tinggalnya.<br /> Wesel ulangan itu meliputi kecuali jumlah-jumlah uang yang disebut dalam pasal-pasal 147 dan 148, jugajumlah-jumlah uang provisi dan meterai dari wesel ulangan.<br /> Bila wesel ulangan itu ditarik oleh pemegang, maka jumlah uangnya ditentukan menurut kurs sebuah wesel atas-tunjuk, yang ditarik dari tempat surat wesel asli harus dibayar, di tempat tinggal wajib regres. Bila wesel ulangan itu ditarik oleh seorang endosan, maka jumlah uangnya ditentukan menurut kurs sebuah wesel atas-tunjuk yang ditarik dari tempat tinggal penarik wesel ulangan itu di tempat tinggal wajib regres. (KUHD 140, 146.).<br /><br />Pasal 152.<br /> Setelah jewat jangka waktu yang ditetapkan: (KUHD 153.)<br /> untuk pengajuan sebuah surat wesel yang ditarik atas-tunjuk atau untuk waktu tertentu setelah pengunjukan; (KUHD 122, 133 dst., 137.)<br /> untuk membuat protes nonakseptasi atau nonpembayaran; (KUHD 143.)<br /> untuk pengajuan buat pembayaran dalam hal ada persyaratan tanpa biaya, (KUHD 145.)<br /> gugurlah hak pemegang terhadap endosan, terhadap tertarik dan terhadap para debitur wesel lainnya, dengan pengecualian terhadap akseptan. (KUHD 127.)<br /> Bila terjadi kelalaian mengaiukan untuk akseptasi dala- jangka waktu yang ditetapkan oleh penarik, gugurlah hak regres Pemegang, baik karena nonpembayaran maupun nonakseptasi, kecuali bila dari kata-kata surat wesel itu ternyata, bahwa penarik hanya menghendaki untuk membebaskan diri dari kewajiban untuk menjamin akseptasinya. (KUHD 146, 153.)<br /> Bila ketentuan jangka waktu untuk mengajukan dimuat dalam endosemen, maka hanya endosan itu saja yang dapat menggunakannya sebagai landasan. (KUHD, 110 dst., 119.)<br /><br /><br />Pasal 152a.<br />Surat wesel nonakseptasi atau nonpembayaran yang diprotes, namun penarik berkewajiban untuk membebaskan, walaupun protes itu dilakukan tidak pada saatnya, kecuali bila penarik membuktikan, bahwa pada hari jatuh tempo pembayararmya pada tertarik ada tersedia dana untuk pembayaran surat wesel itu. Bila dana yang harus disediakan hanya ada sebagian, maka penarik bertanggung jawab untuk kekurangannya. (KUHD 109b dst.; 127a, 143, 146a.)<br /> Bila surat wesel itu tidak diakseptasi, maka jikalau protes dilakukan tidak pada saatnya, penarik yang dengan ancaman wajib membebaskan, berkewajiban untuk melepaskan dan menyerahkan kepada pemegangnya tagihan terhadap dana itu, yang telah diterima dari padanya oleh tertarik pada hari jatuh tempo pembayaran, dan meliputi jumlah wesel itu; dan ia harus memberikan kepada pemegang atas biayanya, bukti-bukti secukupnya untuk memungkinkan berlakunya tagihan itu. Bila penarik dinyatakan pailit, maka para pengawas hartanya mempunyai kewajiban yang sama, kecuali bila mereka menganggap lebih baik untuk mengizinkan pemegang itu sebagai penagih utang untuk jumlah surat wesel itu. (KUHPerd. 613; KUHD 109c; F. 1, 13.)<br /><br />Pasal 153.<br /> Bila pengajuan surat wesel atau penyelenggaraan protesnya dalam jangka waktu yang ditentukan terhalang oleh rintangan yang tidak dapat diatasi (peraturan undang-undang dari suatu negara atau lain hal di luar kekuasaannya), maka jangka waktu itu diperpanjang.<br /> Pemegangnya berkewajiban untuk segera memberitahukan kepada endosannya tentang keadaan yang di luar kekuasaannya itu, dan mencantumkan pemberitahuannya pada surat wesel itu atau halaman sambungannya dengan tanggal dan tanda tangannya; untuk selebihnya berlaku ketentuan pasal 144.<br /> Setelah berakhirnya keadaan yang di luar kekuasaannya, pemegangnya harus segera terus mengajukan surat wesel itu untuk akseptasi atau pembayaran, dan mengajukan protes bila ada alasannya.<br /> Bila keadaan di luar kekuasaannya itu berlangsung lebih dari tiga puluh hari terhitung dari hari jatuh tempo pembayarannya, maka dapatlah dilakukan hak regresnya tanpa memerlukan pengajuan atau pembuatan protes.<br /> Untuk surat-surat wesel yang ditarik sebagai wesel atas-tunjuk atau dengan jatuh tempo pembayaran pada waktu tertentu setelah penunjukkan, berjalannya jangka waktu tiga puluh hari itu mulai hari ketika pemegang memberitahuktentang keadaan di luar kekuasaannya itu kepada endosannya, meskipun belum berakhir jangka waktu pengajuan; untuk surat-surat wesel yang ditarik dengan jatuh tempo pembayaran pada waktu tertentu setelah pengajuan, maka jangka waktu tiga puluh hari diperpanjang dengan jangka waktu pengunjukannya yang dinyatakan dalam surat wesel itu.<br /> Fakta-fakta yang bersifat pribadi bagi pemegangnya, atau untuk orang yang ditugaskan olehnya untuk mengajukan surat wesel itu atau untuk mengadakan protes, tidak dianggap sebagai hal-hal yang ada di luar kekuasaannya. (KUHD 121 dst., 133 dst., 143, 152, 225.)<br /><br />Bagian 8. Perantaraan.<br />sub 1. Ketentuan Umum.<br /><br />Pasal 154.<br /> Penarik, seorang endosan, atau seorang pemberi aval dapat menunjuk seseorang yang dalam keadaan darurat untuk mengakseptasi atau membayar. (KUHPerd. 1792 dst.)<br />Surat Wesel itu dapat diakseptasi atau dibayar dengan syarat-syarat yang ditetapkan di bawah ini oleh seseorang yang memberi perantaraan untuk seorarg debitur yang terhadapnya dapat dilakukan hak regres.<br />Perantara itu bisa seorang ketiga, bahkan tertarik, atau orang yang telah terikat berdasarkan surat Wesel itu, kecuali akseptan. (KUHPerd. 1354, 1382.)<br /> Perantara itu memberitahukan dalam jangka waktu dua hari tentang perantaraannya kepada orang yang diberi perantaraan olehnya. Bila ia tidak Memperhatikan jangka waktu itu, maka bila ada alasan untuk itu, ia bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaiannya, akan tetapi biaya, kerugian dan bunga tidak dapat melebihi jumlah uang dalam surat Wesel itu. (KUHPerd. 1355 dst.; KUHD 146, 155 dst.)<br /><br />2. Akseptasi Dengan Perantaraan.<br /><br />Pasal 155.<br /> Akseptasi dengan perantaraan dapat terjadi dalam segala keadaan, di mana Pemegang surat Wesel yang dapat diakseptasi, sebelum hari jatuh tempo pembayaran dapat melakukan hak regres, (KUHD 1213.)<br /> Bila pada surat Wesel ditunjuk seseorang untuk mengakseptasinya atau membayar di tempat pembayarannya, dalam keadaan darurat, maka pemegang tidak dapat melakukan haknya terhadap orang yang telah melakukan penunjukan dan terhadap mereka yang sesudah itu telah membubuhkan tandatangannya pada surat Wesel itu, sebelum hari jatuh tempo pembayarannya, kecuali bila ia telah mengajukan surat Wesel tersebut kepada orang yang ditunjuk itu dan telah dibuat protes tentang penolakannya untuk mengakseptasi. (KUHD 142 dst., 1540.)<br /> Dalam keadaan-keadaan lainnya tentang perantaraan, pemegang dapat menolak akseptasi dengan perantaraan. Akan tetapi bila ia menerimanya, ia kehilangan hak regresnya yang ia miliki sebelum hari jatuh tempo terhadap orang untuk siapa telah dilakukan akseptasi itu, dan terhadap mereka yang sesudah itu telah membubuhkan tandatangannya pada surat Wesel itu. (KUHD 146, 148, 1543.)<br /><br />Pasal 156.<br /> Akseptasi dengan perantaraan dicantumkan pada surat Wesel; hal itu ditandatangani oleh perantara. Hal itu menunjuk orangnya untuk siapa akseptasi itu telah diberikan; bila tidak ada penunjukan itu, dianggap hal itu telah dilakukan untuk penarik. (KUHPerd. 1915 dst.; KUHD 124, 161.)<br /><br />Pasal 157.<br /> Akseptan dengan perantaraan terhadap pemegang dan terhadap para endosan yang telah mengendosemenkan surat Wesel itu setelah orang untuk siapa perantaraan itu diberikan, terikat dengan cara yang sama seperti mereka yang tersebut di atas ini.<br /> Meskipun ada akseptasi dengan perantaraan, orang untuk siapa hal itu telah dilakukan dan mereka yang wajib regimes terhadap orang itu dapat menuntut dari pemegangnya penyerahan surat Wesel itu, protesnya dan perhitungan yang ditanda sebagai pelunasan, dengan pembayaran kembali jumiah uang yang dimaksud dalam pasal 147, bila ada alasan untuk itu. (KUHD 127, 146, 159 dst.)<br /><br />sub 3. Pembayaran Dengan Perantara.<br /><br />Pasal 158.<br /> Pembayaran dengan perantaraan dapat dilakukan dalam semua keadaan, di mana pemegang mempunyai hak regres, baik pada hari jatuh tempo, maupun sebelum hari jatuh tempo.<br /> Pembayaran itu harus meliputi seluruh jumlah uang yang harus dilunasi oleh orang untuk siapa hal itu dilakukan.<br /> Hal itu harus berlangsung paling lambat pada hari terakhir, di mana protes nonpembayaran dapat diselenggarakan. (KUHD 143, 146 dst.)<br /><br />Pasal 159.<br /> Bila Surat Wesel itu diakseptasi oleh perantara, yang mempunyai domisili pada tempat pembayaran, atau bila disebut orang dengan domisili di tempat itu juga yang dalam keadaan darurat akan membayar, pemegang harus mengajukan surat Wesel itu kepada mereka semua, dan bila ada alasan untuk itu, harus menyelenggarakan protes nonpembayaran paling lambat pada hari yang berikut pada hari terakhir waktu hal ini dapat dilakukan. (KUHPerd. 17 dst., 24.)<br /> Bila tidak terjadi protes dalamjangka waktu tersebut, maka orang yang telah memberikan alamat darurat atau untuk siapa surat Wesel itu diakseptasi, dan endosan yang kemudian, terbebas dari segala ikatan mereka. (KUHD 143 dst., 145, 164.)<br /><br />Pasal 160.<br /> Pemegang yang menolak pembayaran dengan perantaraan, kehilangan hak regresnya terhadap mereka yang seharusnya akan terbebas oleh itu. (KUHD 146, 158.)<br /><br />Pasal 161.<br /> Pembayaran dengan perantaraan harus dinyatakan dengan tanda pelunasan, dibubuhkan pada surat Wesel dengan menunjuk kepada orang, untuk siapa hal itu dilakukan. Bila penunjukan itu tidak ada, maka dianggap pembayaran itu dilakukan untuk penarik. (KUHPerd. 1915 dst.)<br /> Surat Wesel dan protesnya, bila ini diadakan, harus diserahkan kepada orang yang membayamya selaku perantara. (KUHD 149.)<br /><br />Pasal 162.<br /> Barangsiapa membayar selaku perantara, memperoleh hak yang bersumber dari surat Wesel itu terhadap orang untuk siapa ia telah melakukan pembayaran, dan terhadap mereka yang berdasarkan surat Wesel terikat pada orang yang tersebut terakhir ini. Akan tetapi dia tidak boleh mengendosemenkannya kembali.<br /> Para endosan yang berikut untuk siapa telah dilakukan pembayaran, terbebas dari segala ikatan.<br /> Bila ada beberapa orang yang mengaiukan untuk pembayaran dengan perantaraan, didahulukan pembayaran yang menyebabkanjumlah pembebasan yang terbesar. Perantara yang dengan sadar melanggar ketentuan ini, kehilangan hak regresn a terhadap mereka yang seharusnya sudah terbebas. (KUHD 110 dst; 146, 154y3.)<br /><br />Bagian 9. Lembaran Wesel, Salinan Wesel Dan Surat Wesel yang Hilang.<br />sub 1. Lembaran Wesel.<br /><br />Pasal 163.<br />Surat Wesel dapat ditarik dalam beberapa lembaran yang bunyinya sama.<br /> Lembaran itu harus dibubuhi nomor dalam teks sendiri dari alas-hak, dan bila hal ini tidak ada, maka setiap lembar dianggap sebagai surat Wesel tersendiri.<br /> Tiap pemegang suatu surat Wesel, di mana tidak dicantumkan, bahwa hal itu ditarik dalam satu lembar saja, dapat menuntut atas biayanya untuk menyerahkan beberapa lembar. Untuk hal itu ia harus menghubungi endosan yang langsuung mengendosemenkan padanya, yang wajib memberikan bantuannya untuk meminta kepada endosannya sendiri, dan demikian seterusnya sampai kembali pada penariknya. para endosan juga wajib menulis endosemen itu pada lembaran yang baru. (KUHD 100, 226.)<br /><br />Pasal 164.<br /> Pembayaran yang dilakukan atas salah satu lembar mengakibatkan pembebasan, meskipun tidak disyaratkan, bahwa pembayaran tersebut menggugurkan kekuatan berlakunya lembaran-lembaran lainnya. Akan tetapi tertarik tetap terikat oleh setiap lembaran yang diakseptasi dan tidak diserahkan kepadanya. (KUHD 124.)<br /> Endosan yang telah menyerahkan lembaran itu kepada berbagai orang, demikian pula endosan yang kemudian, terikat oleh lembaran yang memuat tanda tangan mereka dan tidak diserahkan. (KUHD 110 dst., 138, 227.)<br /><br />Pasal 165.<br /> Barangsiapa telah mengirimkan salah satu lembaran untuk akseptasi, harus menunjukkan pada lembaran yang lain, nama orang pada siapa lembaran itu berada. Orang ini berkewajiban untuk menyerahkan lembaran itu kepada pemegang yang sah dari lembaran lain.<br /> Bila ia menolak, maka pemegang baru dapat melakukan hak regresnya, setelah dia dengan protes mengatakan:<br />10. bahwa lembaran yang dikirimkan untuk akseptasi setelah diminta tidak diserahkan;<br />20. bahwa ia telah tidak berhasil memperoleh akseptasi atau pembayaran atas lembaran lain. (KUHD 120, 143, 143b, 146.)<br /><br />sub 2. Salinan Wesel<br /><br />Pasal 166.<br /> Setiap pemegang surat wesel mempunyai hak untuk membuat beberapa salinannya.<br />Salinannya harus dengan saksama menggambarkan aslinya dengan endosemennya dan semua penyebutan lainnya, yang terdapat padanya. Salinan tersebut harus menunjukkan, di mana salinan itu berakhir.<br /> Salinan dapat diendosemenkan dan di tanda-tangan untuk aval dengan cara dan dengan akibat yang sama seperti astinya. (KUHPerd. 1888 dst.; KUHD 110, 129, 163, 167.)<br /><br />Pasal 167.<br />Salinan harus menyebutkan orang pada siapa lembaran aslinya berada.<br /> Orang ini wajib menyerahkan lembaran aslinya kepada pemegang yang sah dari salinannya.<br /> Bila ia menolak hal ini, maka pemegang baru hanya dapat melakukan hak regresnya terhadap mereka, yang telah mengendosemenkan salinannya atau menandatanganinya untuk aval, setelah dengan protes ia menyelenggarakan pernyataan, bahwa lembaran asli yang telah diminta tidak diserahkan kepadanya.<br /> Bila setelah endosemen yang terakhir diadakan di atasnya, sebelum salinannya dibuat, lembaran aslinya memuat klausula; “mulai dari sini endosemen hanya berlaku pada salinannya”, atau Klausula lain semacam itu, maka endosemen yang kemudian diadakan pada lembaran aslinya adalah batal. (KUHPerd. 1888 dst.; KUHD 146, 166.)<br /><br />sub 3. Surat Wesel yang Hilang.<br /><br />Pasal 167a.<br />Barangsiapa kehilangan surat wes,l yang pemegangnya adalah ia, hanya dapat meminta Pembayaran dari tertarik dengan mengadakan jaminan untuk waktu tiga puluh tahun. (KUHPerd. 1830, 1967; KUHD 115, 137, 139, 143b2, 167b, 227a; Rv. 611 dst.)<br /><br />Pasal 167b.<br />Barangsiapa kehilangan surat wesel yang pemegangnya adalah ia, dan sudah jatuh tempo pembayarannya dan di mana perlu telah diprotes, hanya dapat melakukan haknya terhadap akseptan dan terhadap penarik dengan mengadakan jaminan untuk waktu tiga puluh tahun. (KUHPerd. 1830, 1967; KUHD 115, 137, 139,143b 2, 167a, 227b; Rv. 611 dst.)<br /><br />Bagian 10. Perubahan.<br /><br />Pasal 168.<br />Bila ada perubahan dalam teks suatu surat wesel, maka mereka yang kemudian membubuhkan tandatangannya pada surat wesel itu, terikat menurut teks yang telah diubah; mereka yang telah membubuhkan tandatangannya sebelum itu terikat menurut teks yang asli. (KUHD 109, 228; KUHP 264.)<br /><br />Bagian 11. Daluwarsa.<br /><br />Pasal 168a.<br />Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal berikut, maka utang wesel dihapus oleh segala ikhtiar pembebasan utang wesel yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (KUHPerd. 1381; KUHD 228a.)<br /><br />Pasal 169.<br />Semua tuntutan hukum yang timbul dari surat wesel terhadap akseptan, kedaluwarsa karena lampaunya waktu tiga tahun, terhitung dari hari jatuh temponya.<br /> Tuntutan hukum pemegang terhadap para endosan dan terhadap penariknya kedaluwarsa karena lampaunya waktu satu tahun, terhitung dari tanggal protes yang dilakukan pada saatnya atau, dari hari jatuh temponya bila ada Klausula tanpa biaya.<br /> Tuntutan hukum endosan yang satu terhadap endosan yang lain dan terhadap penarik kedaluwarsa karena lampaunya waktu enam bulan terhitung dari hari pembayaran surat wesel itu oleh endosan untuk memenuhi wajib regresnya, atau dan hari endosan sendiri digugat di depan pengadilan.<br />(s.d. u. dg. S. 1935-77jo. 562.) Daluwarsa yang dimaksud dalam alinea pertama tidak dapat digunakan oleh akseptan, bila atau sejauh ia telah menerima dana atau telah memperkaya diri secara tidak adil; demikian pula daluwarsa yang dimaksud dalam alinea kedua dan ketiga tidak dapat digunakan oleh penarik, bila dan sejauh ia selama tidak menyediakan dana, dan tidak dapat pula digunakan oleh penarik atau para endosan, yang telah memperkaya diri secara tidak adil, semuanya tanpa mengurangi ketentuan dalam pasal 1967 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (KUHD 190c, 110 dst., 120 dst., 127, 132 dst., 143, 145 dst., 168a, 170, 229, 229k.)<br /><br />Pasal 170.<br /> Pencegahan daluwarsa hanya berlaku terhadap orang yang terhadapnya dilakukan tindakan pencegahan daluwarsa itu. (KUHPerd. 1979 dst., 1982.)<br /> (s.d.t. dg. S. 1935-77jo. 562..) Menyimpang dari pasal 1987 dan 1988 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlakulah daluwarsa yang dibicarakan dalam pasal yang lalu terhadap mereka yang belum dewasa dan terhadap mereka yang berada dalam pengampuan, demikian pula antara suami-istri, dengan tidak mengurangi hak-tagih mereka yang belum dewasa dan yang dalam pengampuan terhadap wali atau pengampu mereka. (KUHD 229a.)<br /><br />Bagian 12. Ketentuan-ketentuan Umum.<br /><br />Pasal 171.<br /> Pembayaran suatu surat wesel yang hari jatuh temponya pada hari raya resmi, baru dapat ditagih pada hari kerja berikutnya. Demikian pula semua tindakan lain berkenaan dengan surat wesel, yaitu pengajuannya untuk akseptasi dan protesnya, tidak dapat dilakukan selain pada hari kerja.<br /> Bila salah satu tindakan itu harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu yang hari terakhirnya adalah hari raya resmi, maka jangka waktu ini diperpanjang sampai hari kerja pertama berikut pada akhir jangka waktu tersebut. Hari raya yang terdapat di antara itu dimasukkan dalam perhitungan jangka waktu. (KUHD 120, 122, 131, 132 dst., 135, 137, 143, 144, 152 dst., 158, 171a, 172, 229b, 229j; Rv. 171.)<br /><br />Pasal 171a.<br />(s.d.u. dg. S. 1935-77;S. 1937-572;S. 1938-161.) yang dianggap hari raya resmi menurut bagian ini ialah: Minggu, Tahun Baru, Paskah Kristen kedua dan Pantekosta, kedua hari Natal, Kenaikan Isa Almasih, beserta hari-hari raya lainnya yang setiap tahun kembali yang ditetapkan oleh Menteri yang bersangkutan. Penunjukan tanggal semua hari raya dimaksud dalam pasal ini, kecuali hari Minggu, dilakukan setiap tahun dengan surat ketetapan yang dimuat dalam surat kabar resmi sebelum pennulaan tahun. (KUHD 229b, bis.)<br /><br />Pasal 172.<br /> Dalam jangka waktu yang ditetapkan undang-undang atau Perjanjian, tidak termasuk hari permulaan jangka waktu itu. (KUHD 122, 132', 133 , l 351, 137, 141, 1432, 144, 152, 153, 169, 229c.)<br /><br />Pasal 173.<br /> Tiada satu hari penangguhan pun diizinkan, baik menurut undang-undang, maupun menurut keputusan hakim. (KUHD 143, 229d.)<br /><br />Bagian 13. Surat Sanggup (Order).<br /><br />Pasal 174.<br /> Surat sanggup (KUHD 100, 179) memuat:<br />10. baik Klausula tertunjuk, maupun sebutan, “ surat sanggup “atau promes kepada tertunjuk “, yang dimasukkan dalam teksnya sendiri dan dinyatakan dalam bahasa yang digunakan dalam alas-hak itu; (AB. 18.)<br />20. penyanggupan tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu;<br />30. penunjukan hari jatuh tempo; (KUHD 132 dst., 1752.)<br />40. penunjukan tempat pembayaran harus dilakukan; (KUHD 103, 126.)<br />50. nama orang yang kepadanya pembayaran itu harus dilakukan atau yang kepada tertunjuk pembayaran itu harus dilakukan; (KUHD 102, 109a.)<br />60. penyebutan tanggal, serta tempat surat sanggup itu ditandatangani;<br />70. tanda tangan orang yang mengeluarkan alas-hak itu (penandatanganan).<br /><br />Pasal 175.<br />Alas-hak yang tidak memuat salah satu pernyataan yang ditetapkan dalam pasal yang lalu, tidak berlaku sebagai Surat sanggup, kecuali dalam hal tersebut di bawah ini.<br />Surat sanggup yang hari jatuh tempo pembayarannya tidak ditunjuk, dianggap harus dibayar atas-tunjuk.<br />Bila tidak terdapat penunjukan khusus, tempat penandatanganannya Surat itu dianggap sebagai tempat pembayarannya dan juga sebagai domisili penandatangan.<br /> Surat sanggup yang tidak menyebutkan tempat penandatangannya, dianggap ditandatangani di tempat yang disebut di samping nama dari penandatangan. (KUHPerd. 1915 dst., 1921; KUHD 101'.)<br /><br />Pasal 176.<br /> Selama tidak menyalahi sifat Surat sanggup, maka terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan mengenai Surat Wesel tentang:<br /> endosemen (Pasal-pasal 110-119);<br /> hari jatuh tempo (Pasal-pasal 132-136); pembayaran (Pasal-pasal 137-141);<br /> hak regres dalam hal nonpembayaran (pasal-pasal 142-149, 151-153); pembayaran dengan perantaraan (pasal-pasal 154, 158-162); salinan Surat Wesel (pasal 166 dan pasal 167);<br /> Surat Wesel yang hilang (pasal 167a);<br /> perubahan (pasal 168);<br /> daluwarsa (Pasal -pasal 168a, 169-170);<br /> hari-hari raya, perhitungan jangka waktu dan larangan hari penangguhan (pasal-pasal 171, 171a, 172 dan 173).<br /> Demikian pula terhadap Surat sanggup berlaku ketentuan tentang Surat Wesel yang harus dibayar oleh Pihak ketiga atau di tempat lain dari domisili penarik (Pasal 103 dan pasal 126), Klausula bunga (pasal 104), Perbedaan pernyataan berkenaan dengan jumlah uang yang harus dibayar (pasal 105), akibat pembubuhan tanda tanpa adanya keadaan dimaksud dalam pasal 106, akibat dari tanda tangan seseorang yang bertindak tanpa wewenangnya (pasal 107) dan Surat Wesel blangko (pasal 109)<br /> Demikian pula terhadap surat sanggup berlaku ketentuan mengenai aval (pasal 129 -131); bila sesuai dengan apa yang ditentukan pada pasal 130 alinea terakhir, aval itu tidak menyebutkan kepada siapa aval itu diberikan, dianggap diberikan atas tanggungan penandatangan surat anggup itu.<br /><br />Pasal 177.<br />Penandatangan Surat sanggup terikat dengan cara yang sama seperti akseptan Surat Wesel. (KUHD 127; Rv. 299, 581 -I sub 21.)<br /> Surat sanggup yang harus dibayar pada waktu tertentu setelah pengunjukan, harus diajukan kepada penandatangan untuk ditandatangani sebagai tanda "telah dilihat " dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam pasal 122. Jangka waktu pengunjukan berlangsung mulai pada tanda itu, yang harus dibuat oleh penandatangan pada Surat sanggup itu.<br /> Penolakan untuk memberikan tanda tangan itu, harus dinyatakannya dengan protes (pasal 124) yang tanggalnya merupakan permulaan berlangsungnya jangka, waktu pengunjukan.<br /><br />BAB VII. CEK, PROMES DAN KWITANSI ATAS-TUNJUK.<br /><br />Anotasi:<br /> Bab VII yang lama telah diganti dengan Bab VII yang baru ini berdasarkan S. 1935 -77jo. 562, yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1936, dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-undang 17 Nopember 1933, N. S. 1933-613, yang telah diatur sesuai dengan Traktat Genewa 19 Maret 1931.<br />Traktat ini bertujuan:<br />1. memberlakukan undang-undang yang seragam mengenai cek;<br />2. mengatur penyelesajan perselisihan perundang-undangan tertentu mengenai cek;<br />3. mengatur undang-undang bea meterai cek.<br />Traktat ini telah dinyatakan berlaku terhadap antara lain Indonesia dengan Undang-undang 2 Agustus 1935, N.S. 1935-490 yang mulai berlaku pada tanggal 29 Des. 1935.<br /><br />Bagian 1. Pengeluaran Dan Bentuk Cek.<br /><br />Pasal 178.<br /> Cek memuat: (KUHD 100, 174.)<br />10 Nama ”cek ", yang dimasukkan dalam teksnya sendiri dan dinyatakan dalam bahasa yang digunakan dalam alas-hak itu; (AB. 18.)<br />20. perintah tidak bersyarat untuk membayar suatu jumlah uang tertentu;<br />30. nama orang yang harus membayar (tertarik);<br />40. penunjukan tempat pembayaran harus dilakukan; (KU HD 185.)<br />50. pernyataan tanggal penandatanganan beserta tempat cek itu ditarik; (KUHD 1794.)<br />60. tanda tangan orang yang mengeluarkan cek itu (penarik).<br /><br />Pasal 179.<br />Alas-hak yang di dalamnya tidak memuat salah satu pernyataan yang ditetapkan dalam pasal yang lalu, tidak berlaku sebagai cek, kecuali dalam hal tersebut di bawah ini.<br />Bila tidak terdapat penunjukan khusus, tempat yang ditulis di samping nama penarik dianggap sebagai tempat pembayarannya. Bila ditulis beberapa tempat di samping nama penarik, maka cek itu harus dibayar di tempat yang ditulis pertama.<br />Bila tidak terdapat penunjukan itu atau penunjukan lain apa pun, maka cek itu harus dibayar di tempat kedudukan kantor pusat tertarik.<br />Cek yang tidak menunjukkan tempat ditarik, dianggap telah ditandatangani di tempat yang disebut di samping nama penarik. (KUHD 101, 175.)<br /><br />Pasal 180.<br />Cek itu harus ditarik atas seorang bankir yang menguasai dana untuk kepentingan penarik, dan menurut perjanjian tegas atau secara diam-diam yang menetapkan, bahwa penarik mempunyai hak untuk menggunakan dana itu dengan menarik cek. Akan tetapi bila peraturan-peraturan itu tidak diindahkan, maka alas-hak itu tetap berlaku sebagai cek. (KUHD 190a dst., 214-216, 229a, bis.)<br /><br />Pasal 181.<br /> Cek tidak dapat diakseptasi. Suatu pernyataan akseptasi yang dibuat pada cek itu dianggap tidak ditulis. (KUHD 120 dst.)<br /><br />Pasal 182.<br />Cek dapat ditetapkan untuk dibayarkan:<br />- kepada orang yang namanya disebut dengan atau tanpa Klausula tegas: "kepada tertunjuk "; (KUHD 1830, 191.)<br />- kepada orang yang namanya disebut dengan klausula: "tidak kepada tertunjuk ", atau Klausula semacam itu;<br />- atas-tunjuk.<br />Cek yang ditetapkan harus dibayarkan kepada orang yang namanya disebut, dengan menyatakan: "atau atas-tunjuk ", atau istilah semacam itu berlaku sebagai cek atas-tunjuk.<br />Cek tanpa pernyataan tentang penerimaannya berlaku sebagai cek atas-tunjuk.<br /><br />Pasal 183.<br />Cek dapat berbunyi kepada yang ditunjuk oleh penarik.<br /> Cek dapat ditarik atas beban pihak ketiga. Penarik dianggap menarik atas bebannya sendiri bila dari cek itu atau dari Surat pemberitahuannya tidak ternyata atas beban siapa hal itu dilakukan.<br /> Cek dapat ditarik pada penariknya sendiri. (KUHD 102.)<br /><br />Pasal 183a.<br />Bila penarik memuat dalam cek pernyataan: "nilai untuk diinkaso”, "untuk inkaso ", "diamanatkan ", atau pernyataan lain yang membawa arti amanat belaka untuk memungut, penerima dapat melakukan semua hak yang timbul dari cek itu, akan tetapi Ia tidak dapat mengendosemenkannya, selain dengan cara mengamanatkannya.<br /> Dalam cek demikian para debitur cek hanya dapat menggunakan alat-alat pembantah terhadap pemegangnya, seperti yang semestinya dapat digunakan terhadap penarik.<br /> Amanat yang dimuat dalam cek-inkaso tidak berakhir karena meninggalnya pemberi amanat atau karena pemberi amanat menjadi tak cakap menurut hukum. (KUHPerd. 1792 dst., 1813; KUHD 102a, 117 , 200, 210, 221.)<br /><br /><br />Pasal 184.<br />Klausula bunga yang dimuat dalam cek dianggap tidak ditulis. (KUHD104.)<br /><br />Pasal 185.<br />Cek dapat ditentukan bahwa dapat dibayar di tempat tinggal pihak ketiga, baik di tempat tinggal tertarik, ataupun di tempat lain. (KUHPerd. 17 dst., 24; KUHD 103.)<br /><br />Pasal 186.<br /> Cek yang jumlah uangnya ditulis lengkap dalam huruf danjuga dengan angka, bila terdapat perbedaan, berlaku jumlah yang ditulis lengkap dalam huruf. Cek yang jumiah uangnya ditulis beberapa kali, baik lengkap dengan huruf maupun dengan angka, bila terdapat perbedaan, hanya berlaku jumlah yang terkecil. (KUHPerd. 1878 dst.; KUHD 105.)<br /><br />Pasal 187.<br /> Bila cek itu memuat tanda tangan orang yang tidak cakap menurut hukum untuk mengikatkan diri dengan menggunakan cek, tanda tangan palsu, atau tanda tangan dari orang rekaan, atau tanda tangan orang-orang yang karena alasan lain apa pun juga, tidak dapat mengikat orang-orang yang telah membubuhkan tanda tangan mereka atau orang yang atas namanya telah dilakukan hal itu, namun perikatan-perikatan dari orang-orang lain yang tanda tangannya terdapat pada cek itu, berlaku sah. (KUHD 106; KUHP 264.)<br /><br />Pasal 188.<br /> Setiap orang yang membubuhkan tanda tangartnya di atas cek sebagai wakil dari seseorang untuk siapa Ia tidak mempunyai wewenang untuk bertindak, Ia sendiri terikat karena cek itu, dan setelah membayar, mampunyai hak yang sama seperti yang semestinya harus dipunyai oleh orang yang diwakw olehnya. Hal itu berlaku juga terhadap wakil yang melampaui batas wewenangnya. (KUHPerd. 1797, 1806; KUHD 107.)<br /><br />Pasal 189.<br />Penarik menjamin pembayarannya. Setiap Klausula yang meniadakan kewajiban ini, dianggap tidak ditulis. (KUHD 108, 190a, 229f; Rv. 2292, 581-1 sub 11.)<br /><br />Pasal 190.<br /> Bila cek, yang pada waktu pengeluarannya tidak lengkap, telah dibuat lengkap, bertentangan dengan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat, maka kepada pemegang tidak dapat digjukan tentang tidak memenuhi peijardian-perjanjian itu, kecuali pemegang telah memperoleh cek itu dengan itikad buruk atau karena kesalahan yang besar. (KUHD 109.)<br /><br />Pasal 190a.<br /> Penarik atau seseorang yang atas tanggungannya cek itu ditarik, wajib berusaha agar dana yang diperlukan untuk pembayaran pada hari pengajuartnya ada di tangan tertarik, sekalipun bila cek itu ditetapkan harus dibayar oleh pihak ketiga, dengan tidak mengurangi kewajiban penarik sesuai dengan pasal 189. (KUHD 109b, 190b.)<br /><br />Pasal 190b.<br /> Tertarik dianggap mempunyai dana yang diperlukan, bila pada waktu pengajuan cek itu kepada penarik atau kepada orang yang atas tanggungannya cek itu ditarik, ia mempunyai utang sejumlah uang yang sudah dapat ditagih, paling sedikit sama denganjumlah pada cek itu. (KUHD 109c, 180, 217a, 22 la.)<br /><br />Bagian 2. Pengalihan.<br /><br />Pasal 191.<br /> Cek yang ditetapkan agar harus dibayarkan kepada orang yang namanya disebut dengan atau tanpa Klausula yang tegas "kepada tertunjuk ", dapat dialihkan dengan jalan endosemen.<br /> Cek yang ditetapkan agar harus dibayarkan kepada orang yang namanya disebut dengan klausula: "tidak kepada tertunjuk ", atau Klausula semacam itu, hanya dapat dialihkan dalam bentuk sesi biasa beserta akibatnya. Endosemen yang ditempatkan pada cek demikian berlaku sebagai sesi biasa. (KUHPerd. 613.)<br /> Endosemen itu bahkan dapat ditetapkan untuk keuntungan penarik atau setiap debitur cek lainnya. Orang ini dapat mengendosemenkan lagi cek itu. (KUHD 110 dst., 192 dst.)<br /><br />Pasal 192.<br /> Endosemen harus tidak bersyarat. Setiap syarat yang dimuat di dalamnya dianggap tidak ditulis.<br />Endosemen untuk sebagian adalah batal.<br /> Demikian juga endosemen dari tertarik adalah batal.<br /> Endosemen atas-tunjk berlaku sebagai endosemen blangko.<br /> Endosemen kepada tertarik hanya berlaku sebagai pemberian pernyataan lunas, kecuali bila tertarik mempunyai beberapa kantor dan bila endosemen itu ditetapkan untuk keuntungan kantor lain daripada kantor yang atasnya cek itu ditarik. (KUHD 193.)<br /><br />Pasal 193.<br /> Endosemen harus dibuat di atas cek atau pada lembaran yang dilekatkan padanya (lembaran sambungan).<br />Hal itu harus ditandatangani oleh endosan.<br />Endosemen itu dapat membiarkan pihak yang diendosemenkan tidak disebut, atau endosemen itu hanya terdiri dari tanda tangan endosan (endosemen blangko). Dalam hal terakhir, agar dapat berlaku sah, endosemen itu harus dibuat di halaman belakang cek itu atau pada lembaran sambungannya. (KUHD 112, 2033.)<br /><br />Pasal 194.<br />Dengan endosemen itu dipindahkan semua hak yang bersumber pada cek itu. Bila endosemennya itu dalam blangko, pemegangnya dapat:<br />10 mengisi blangko itu baik dengan namanya sendiri ataupun dengan nama orang lain;<br />20 mengendosemenkan lagi cek itu dalam blangko atau kepada orang lain;<br />30 menyerahkan cek itu kepada orang ketiga tanpa mengisi blangkonya dan tanpa mengendosemenkannya. (KUHPerd. 612; KUHD 113.)<br /><br />Pasal 195.<br />Kecuali bila dipersyaratkan lain, maka endosan menamin pembayarannya. (Rv. 2992, 581-1 sub 11.)<br /> Ia dapat melarang endosemen baru; dalam hal itu is tidak menjamin pembayarannya terhadap mereka kepada siapa cek itu diendosemenkan kemudian. (KUHD 114.)<br /><br />Pasal 196.<br /> Barangsiapa memegang cek yang dapat dialihkan dengan endosemen, dianggap sebagai pemegangnya yang sah, bila Ia menunjukkan haknya dengan memperuhatkan deretan endosemen yang tak terputus, bahkan bila endosemen terakhir dibuat sebagai endosemen blangko. Endosemen-endosemen yang dicoret dianggap dalam hal itu tidak ditulis. Bila endosemen blangko diikuti oleh endosemen lain, maka penandatangan endosemen terakhir ini dianggap telah memperoleh cek itu karena endosemen blangko. (KUHPerd. 1977; KUHD 1151, 1911, 198, 212, 227a.)<br /><br />Pasal 197.<br /> Endosemen yang terdapat pada cek atas-tunjuk membuat endosan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan mengenai hak regres; selanjutnya hal itu tidak membuat menjadi cek kepada tertunjuk. (KUHD 182, 191, 195, 217 dst.)<br /><br />Pasal 198.<br /> Bila seseorang dengan jalan apa pun juga telah kehilangan cek yang dikuasainya, maka pemegang cek tersebut, tidak wajib untuk menyerahkan kembali, kecuali bila Ia telah memperolehnya dengan itikad buruk atau mendapatnya karena kesalahan yang besar, dan hal itu tidak dibedakan apakah mengenai cek atas-tunjuk atau cek yang dapat diendosemenkan, yang haknya alas cek itu dibuktikan oleh pemegang dengan cara yang diatur dalam pasal 196. (KUHPerd. 582; KUHD 115', 182, 191, 212, 227a.)<br /><br />Pasal 199.<br /> Mereka yang ditagih berdasarkan cek terhadap pemegangnya tidak dapat menggunakan alat-alat pembantah yang berdasarkan hubungan pribadinya dengan penarik atau para pemegang yang terdahulu, kecuali bila pada waktu memperoleh cek itu dengan sengaja telah bertindak dengan merugikan debitur. (KUHD 116.)<br /><br />Pasal 200.<br /> Bila endosemen memuat pernyataan: "nilai untuk diinkaso ", "untuk inkaso", "diamanatkan " atau pernyataan yang membawa arti amanat belaka untuk memungut, maka pemegangnya dapat melakukan semua hak yang timbul dari cek itu, akan tetapi Ia tidak dapat mengendosenlenkannya secara lain daripada secara mengamanatkannya.<br /> Dalam hal itu para debitur cek hanya dapat menggunakan alat-alat pembantah terhadap pemegangnya, seperti yang semestinya dapat digunakan terhadap endosan.<br /> Amanat yang dimuat dalam endosemen inkaso tidak berakhir karena meninggalnya pemberi amanat atau karena kemudian pemberi amanat menjadi tak cakap menurut hukum. (KUHPerd. 1792 dst., 1813; KUHD 117, 183a.)<br /><br />Pasal 201.<br /> Endosemen yang dilakukan pada cek setelah protes atau keterangan yang sama dengan itu, atau setelah habis jangka waktu pengajuan, hanya mempunyai akibat dari sesi biasa. (KUHPerd. 613.)<br /> Dengan pengecualian pembuktian kebaukannya, endosemen tanpa tanggal dianggap telah dibuat sebelum protes atau keterangan yang sama dengan itu, atau sebelum lampaunya jangka waktu yang dimaksud dalam alinea yang lalu. (KUHPerd. 1915 dst.; KUHD 119, 217 dst., 220.)<br /><br />Bagian 3. Aval (Perjanjian Jaminan).<br /><br />Pasal 202.<br /> Pembayaran cek dapat duamin dengan perjanjian jaminan (aval) untuk seluruhnya atau sebagian dari uang cek itu.<br /> Penjaminan tersebut dapat diberikan oleh pihak ketiga, atau bahkan oleh orang yang tanda tangannya terdapat pada cek itu, kecuali oleh tertarik. (KUHPerd. 1820 dst.; KUHD 129, 178-3', 192 3 , 203 dst.)<br /><br />Pasal 203.<br /> Aval itu ditulis dalam cek itu atau di atas lembaran sambungannya.<br /> Hal itu dinyatakan dengan kata-kata: "baik untuk aval ", atau dengan pernyataan semacam itu; yang ditandatangani oleh pemberi aval.<br /> Tanda tangan saja dari pemberi aval pada halaman depan cek itu berlaku sebagai aval, kecuali bila tanda tangan itu dari penarik. (KUHPerd. 1824.)<br /> Hal itu dapat juga dilakukan dengan naskah tersendiri atau dengan sepucuk surat yang menyebutkan tempat di mana hal itu diberikan.<br /> Dalam aval harus dicantumkan untuk siapa hal itu diberikan. Bila hal ini tidak ada, dianggap diberikan untuk penarik. (KUHD 130, 204.) 204. Pemberi aval terikat dengan cara yang sama seperti orang yang diberi aval. (KUHPerd. 1280, 1282, 1831 dst; Rv. 2992 , 581 - f sub IO.)<br /> Perikatannya berlaku sah, sekalipun perikatan yang dijamin olehnya batal oleh sebab lain daripada cacat dalam bentuk. (KUHPerd. 1821.)<br /> Dengan membayar, pemberi aval memperoleh hak-hak yang berdasarkan cek itu dapat digunakan terhadap orang yang diberi aval dan terhadap mereka yang berdasarkan cek itu terikat padanya. (KUHPerd. 1839 dst.; KUHD 131.)<br /><br />Bagian 4. Pengajuan dan Pembayaran.<br /><br />Pasal 205.<br /> Cek harus dibayar pada waktu ditunjukkan. Setiap pernyataan sebaliknya dianggap tidak ditulis.<br /> Cek yang diajukan untuk pembayaran sebelum tanggal yang disebut sebagai tanggal pengeluaran, dapat dibayar pada hari pengajuannya. (KUHD 206, 209.)<br /><br />Pasal 206.<br /> Sepucuk cek yang dikeluarkan atau yang harus dibayar di Indonesia harus diajukan untuk pembayaran dalam waktu tujuh puluh hari.<br /> Jangka waktu tersebut di atas mulai berjalan sejak hari yang disebut pada cek itu sebagai hari pengeluarannya. (KUHD 133', 137, 209, 217, 226, 229i.)<br /><br />Pasal 207.<br /> Hari pengeluaran cek yang ditarik antara dua tempat dengan tarikh yang berbeda dijatuhkan pada hari yang sama dari tarikh tempat pembayaran. (KUHD 136 2.)<br /><br />Pasal 208.<br /> Pengajuan kepada lembaga pemberesan (verrekeningskamer) berlaku sebagai pengajuan untuk pembayaran. (KUHD 217-31.)<br /> Oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Pemerintah) akan ditunjuk badan-badan yang dianggap sebagai lembaga tersebut dalam arti bab ini. (KUHD 137 2.)<br /><br />Pasal 209.<br />Penarikan kembali cek itu hanya berlaku setelah jangka waktu pengajuan berakhir.<br /> Bila tidak ada penarikan kembali, maka tertarik dapat membayar bahkan setelah jangka waktu berakhir. (KUHD 206.)<br /><br />Pasal 210.<br /> Baik kematian penaiik maupun ketidakcakapannya menurut hukum yang timbul setelah pengeluaran cek itu, tidak berpengaruh pada akibat-akibat dari cek. (KUHPerd. 1792, 1813; KUHP 1173, 183 a 3, 187, 2003.)<br /><br />Pasal 211.<br /> Diluar hal dimaksud dalam pasal 227a, tertarik yang telah membayar dapat menuntut penyerahan cek tersebut lengkap dengan tanda pelunasan secukupnya dari pemegang.<br /> Pemegang tidak boleh menolak pembayaran sebagian.<br /> Dalam hal pembayaran sebagian, tertarik dapat menuntut, bahkan pembayaran dinyatakan dalam cek dan bahwa untuk itu ia mendapat tanda pembayaran. (KUHPerd. 1390; KUHD 138.)<br /><br />Pasal 212.<br /> Tertarik yang membayar cek dengan endosemen, wajib meneliti tertibnya deretan endosemen, akan tetapi tidak tanda tangan para endosertien. (KUHD 1392, 196; KUHPerd. 1385 dst.; 1405-10.)<br /> Bila ia, setelah membayar yang tidak membebaskan, wajib membayar untuk kedua kalinya, maka Ia berhak menagih kepada mereka semua yang telah memperoleh cek itu dengan itikad buruk, atau yang memperolehnya karena kesalahan yang besar. (KUHPerd. 1386 dst.; KUHD 139', 198, 209, 227a.)<br /><br />Pasal 213.<br /> Cek yang pembayarannya dipersyaratkan dalam uang lain dari uang di tempat pembayarannya dapat dibayar dalam jangka waktu pengajuan dengan uang dari negerinya menurut nilai pada hari pembayaran. Bila pembayaran itu tidak terjadi pada waktu diajukan, pemegang dapat menuntut sesuai dengan pilihannya, bahwa jumlah pada cek itu dibayar dalam uang negerinya menurut kurs, baik dari hari pengajuan, maupun dari hari pembayaran.<br /> Nilai uang asing itu ditetapkan menurut kurs pada tempat pembayarannya. Akan tetapi penarik dapat menetapkan, bahwa jumlah yang harus dibayar diperhitungkan menurut kurs yang ditetapkan dalam cek itu. (AB. 1-8.)<br /> Hal yang tercantum di atas tidak berlaku, bila penarik menetapkan, bahwa pembayarannya harus dilakukan dalam uang tertentu yang ditunjuk (Klausula pembayaran sesungguhnya dalam uang asing).<br /> Bila jumlah dari cek itu dinyatakan dalam uang yang mempunyai nama yang sama, akan tetapi mempunyai nilai yang berbeda dalam negeri pengeluarannya dan dalam negeri tempat pembayarannya, maka dianggap, bahwa yang dimaksud adalah uang dari tempat pembayaran. (KUHPerd. 1756 dst., 1915 dst.; KUHD 60, 140, 178-2-.)<br /><br />Bagian 5. Cek Bersilang Dan Cek Untuk Perhitungan.<br /><br />Pasal 214.<br /> Penarik atau pemegang cek dapat menyilangnya dengan akibat yang disebut dalam pasal berikut.<br /> Penyilangan dilakukan dengan menempatkan dua garis sejajar di halaman depan cek itu. Penyilangan ada yang umum atau ada juga yang khusus.<br /> Penyilangan itu umum, bila tidak memuat di antara dua garis itu suatu penunjukan pun, atau pernyataan: "bankir " atau kata semacam itu; penyilangan itu khusus, bila terdapat nama seorang bankir di antara dua garis itu.<br /> Penyilangan umum dapat diubah menjadi penyilangan khusus, tapi penyilangan khusus tidak dapat diubah menjadi penyilangan umum.<br /> Pencoretan penyilangan atau naina bankir yang ditunjuk dianggap tidak pernah terjadi.<br /><br />Pasal 215.<br /> Cek dengan penyilangan umum oleh tertarik hanya dapat dibayar kepada bankir atau kepada nasabah tertarik.<br /> Cek dengan penyilangan khusus oleh tertarik hanya dapat dibayar kepada bankir yang ditunjuk, atau bila bankirr ini tertarik hanya kepada salah seorang nasabahnya. Akan tetapi bankir yang disebut dapat mengalihkan cek itu kepada bankir lain untuk diinkaso.<br /> Seorang bankir hanya boleh menerima cek bersilang dari salah seorang nasabahnya atau dari seorang bankir lain. Ia tidak boleh menagih atas beban orang lain selain dari orang tersebut.<br /> Cek yang memuat lebih dari satu penyilangan khusus, hanya boleh dibayar oleh tertatik, bila tidak memuat lebih dari dua penyilangan yang satu di antaranya bertwuan untuk penagihan oleh suatu lembaga pemberesan.<br /> Tertarik atau bankir yang tidak mentaati ketentuan di atas, harus bertanggung jawab untuk kerugian sebesar jumlah dari cek itu. (KUHD 180, 229a, bis.)<br /><br />Pasal 216.<br /> Penarik, juga pemegang cek, dapat melarang pembayaran dalam uang tunai dengan menyebutkan pada halaman depan dengan arah miring: "untuk dimasukkan dalam rekening " atau pernyataan semacam itu.<br /> Dalam hal demikian, cek itu hanya memberi alasan kepada tertarik untuk membukukannya (rekening koran, giro atau kompensasi). Pembukuan berlaku sebagai pembayaran.<br /> Pencoretan pernyataan: "untuk diinasukkan dalahi rekening " dianggap tidak pernah terjadi.<br /> Tertarik yang tidak menaati ketentuan di atas, bertanggungjawab untuk kerugian sebesar jumlah dari cek itu. (KUHPerd. 1338 dst.; KUHD 211-213, 218a.)<br /><br />Bagian 6. Hak Regres Dalam Hal Nonpembayaran.<br /><br />Pasal 217.<br /> Pemegang dapat melakukan hak regresnya terhadap para endosan, penarik dan para debitur cek yang lain, bila cek yang diajukan@epat pada waktunya tidak dibayar, dan bila perubahan itu ditetapkan:<br />10. baik dengan akta otentik (protes); (KUHD 218b.)<br />20. atau dengan keterangan tertarik yang diberi tanggal dan ditulis di atas cek dengan pernyataan hari pengajuannya; (KUHD 143d, 220.)<br />30. ataupun dengan keterangan yang diberi tanggal dari suatu lembaga pem. beresan, di mana dinyatakan bahwa cek itu telah diajukan tepat pada waktunya dan tidak dibayar. (KUHD 142 dst., 208', 227 dst.)<br /><br />Pasal 217a.<br /> Bila nonpembayaran dari cek ditetapkan dengan protes atau dengan keterangan yang disamakan dengan itu, maka bagaimanapun juga penarik wajib menjamin ganti rugi, meskipun protes atau keterangan tidak diberikan pada waktunya, kecuali bila dibuktikan bahwa pada hari cek diajukan dana yang diperlukan untuk pembayaran ada di tangan tertarik. Bila dana yang dibutuhkan hanya ada sebagian, maka penarik bertanggung jawab atas kekurangannya.<br /> Dalam hal protes atau keterangan yang tidak diberikan pada waktunya, maka penarik dengan ancaman hukuman, wajib menjamin ganti rugi, wajib melepaskan dan menyerahkan kepada pemegang, tagihan atas dana penarik, yang ada di tangan tertarik pada hari pengajuan sebesarjumlah cek itu; dan Ia harus memberikan kepada pemegang atas biayanya ini, bukti yang diperlukan untuk membuat tagihan itu berlaku sah. Bila penarik dinyatakan dalam kepailitan, maka para pengawas hartanya mempunyai kewajiban yang sama seperti itu, kecuali bila mereka lebih suka untuk mengizinkan tampil sebagai penagih untuk jumlah cek itu. (KUHD 152a, 180,190a dst., 229g; KUHPerd. 613; F. 1, 13.)<br /><br />Pasal 218.<br /> Protes atau keterangan yang disamakan dengan itu harus dilakukan sebelum akhir jangka waktu pengajuan.<br /> Bila pengajuan terjadi pada hari terakhir jangka waktu tersebut, protes atau keterangan yang disamakan dengan itu dapat dilakukan pada hari kerja pertama berikutnya. (KUHD 1432,3, 206.)<br /><br />Pasal 218a.<br />Pembayaran cek harus diminta dan protes yang menyusul kemudian harus dilakukan di tempat tinggal tertarik. (KUHD 178-41.)<br /> Bila cek ditarik untuk dibayar di tempat lain yang ditunjuk atau oleh orang lain yang ditunjuk, baik di kabupaten yang sama, maupun di kabupaten lain, maka permintaan pembayaran harus diminta dan protes dibuat di tempat yang ditunjuk atau kepada orang yang ditunjuk itu.<br /> Bila orang yang harus membayar cek tidak dikenal sama sekali atau tidak dapat ditemukan, maka protes itu harus dilakukan pada kantor pos di tempat tinggal yang ditunjuk untuk pembayaran, dan bila di sana tidak ada kantor pos, di daerab Gubememen Jawa dan Madura kepada assisten-residen, dan di luar itu kepada KepaIa Pemerintahan Daerah setempat. Demikian pulalah harus dilakukan seperti itu, bila suatu cek ditarik untuk dibayar di kabupaten lain daripada tempat tinggal tertarik, dan tempat tinggal di mana pembayaran harus dilakukan tidak ditunjuk. (KUHPerd. 1393; KUHD 143a, 205 dst.; F. 962.)<br /><br />Pasal 218b.<br />Protes nonpembayaran dilakukan oleh notaris atau juru sita. Hal itu harus disertai dengan dua saksi.<br />Protes itu memuat:<br />10. Salinan kata demi kata dari cek itu, dari endosemen-endosemen, dari avalnya, dan dari alamat-alamat yang ditulis di atasnya;<br />20. pernyataan, bahwa mereka telah meminta pembayarannya kepada orangorang atau di tempat yang disebut dalam pasal yang lalu dan tidak memperolehnya;<br />30. pernyataan alasan yang telah dikemukakan tentang nonpembayaran;<br />40. penerimaannya untuk.menandatangani protes itu, dan alasan penolakannya;<br />50. pernyataan, bahwa la, notaris atau juru sita, karena penolakan itu telah memprotes.<br />Bila protes itu mengenai cek yang hilang, cukuplah dengan uraian yang seteliti-telitinya dari isi cek itu, untuk mengganti apa yang ditentukan dalam nomor 1 alinea yang lalu. (KUHD 143b, 217-11, 227a dst.; Not. 1, 20 dst.)<br /><br />Pasal 218c.<br />para notaris atau para juru sita dengan ancaman untuk mengganti biaya-biaya, kerugian dan bunga, wajib untuk membuat salinan protes tersebut dan memberitahukan hal itu dalam salinan, dan membukukannya dalam register khusus menurut urutan waktu, yang diberi nomor dan tanda pengesahan oleh Ketua raad van justitie, bila tempat tinggal mereka dalam kabupaten di mana raad van justitie itu berada dan di luar itu, oleh hakim pengadilan karesidenan; bila ini tidak ada, terhalang atau tak mungkin bertindak, di daerah Gubememen Jawa dan Madura oleh asisten-residen dan di luar itu oleh KepaIa Pemerintahan Daerah, setempat. Mereka juga wajib, biIa dikehendald, menyerahkan selembar atau lebih dari salinan protes itu kepada mereka yang berkepentingan. (KUHD 143c; Rv. 4, 8.)<br /><br />Pasal 219.<br />Pemegangnya harus memberitahukan kepada endosannya dan kepada penariknya tentang nonpembayaran itu dalam empat hari kerja berikut dari hari protes, atau keterangan yang disamakan dengan itu dan, bila cek itu ditarik dengan Klausula tanpa biaya, berikut dari hari pengajuan. Setiap endosan harus memberitahukan kepada endosannya dalam dua hari kerja yang berikut dan hari penerimaan pemberitahuan itu, tentang pemberitahuan yang diterima olehnya, dengan menyebut nama dan alamat mereka yang telah melakukan pembeiitahuan yang lebih dahulu, dan demikian seterusnya kembali pada penariknya. Jangka waktu ini berjalan mulai dari penerimaan pemberitahuan yang lebih dahulu.<br />Bila sesuai dengan alinea yang lalu disampaikan pemberitahuan kepada seseorang yang tandatangannya terdapat pada cek itu, harus disampaikan pemberitahuan yang sama dalam jangka waktu itu juga kepada pemberi avalnya.<br />Bila seorang endosan tidak menyatakan alamatnya atau menyatakannya dengan cara yang sukar dibaca, sudah cukuplah dengan pemberitahuan kepada endosan yang lebih dahulu.<br /> Barangsiapa harus mengadakan pemberitahuan, dapat melakukan hal itu dalam bentuk apa pun, bahkan dapat dengan hanya mengirimkan kembali cek itu. Ia harus membuktikan, bahwa Ia telah melakukan pemberitahuan itu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Jangka waktu tersebut dianggap telah diindahkan, bila surat yang memuat pemberitahuan itu dalam jangka waktu tersebut telah disampalkan dengan pos. (KUHPerd. 1916.)<br /> Barangsiapa melakukan pemberitahuan itu tidak dalam jangka waktu tersebut di atas, tidak menyebabkan dirinya kehilangan hak; bila ada alasannya, Ia bertanggungjawab atas segala kerugian yang disebabkan oleh kelalaiannya, akan tetapi biaya, kerugian dan bunga itu, tidak mungkin melampaui jumlah cek itu. (KUHPerd. 1243 dst.; KUHD 144, 217 dst.)<br /><br />Pasal 220.<br /> Penarik, seorang endosan atau seorang pemberi aval, dapat membebaskan pemegangnya dari pembuatan protes atau keterangan yang disamakan dengan itu untuk melakukan hak regresnya, dengan jalan klausula: "tanpa biaya", "tanpa protes" atau Klausula lain semacam itu yang ditulis dan ditandatangani di atas cek itu.<br /> Klausula ini tidak membebaskan pemegang dari pengajuan cek itu dalam jangka waktu yang ditetapkan ataupun dari penyelenggaraan pemberitahuannya. Bukti tentang tidak dundahkannya jangka waktu itu harus dibenkan oleh mereka yang mendasarkan haknya atas hal itu terhadap pemegang.<br /> Bila Klausula itu dibuat oleh penarik, maka hal itu berakibat terhadap mereka Semua yang tandatangannya terdapat pada cek itu; bila hal itu dibuat oleh endosan atau oleh pemberi aval, maka hal ini hanya berakibat terhadap endosan atau pemberi aval saja. Meskipun ada Klausula yang ditetapkan oleh penarik, bila pemegang menyuruh juga menetapkan penolakan pembayaran itu dengan protes atau keterangan yang dlganiakan dengan itu, maka biaya menjadi bebannya. Bila Klausula itu berasal dari endosan atau pemberi aval, maka biaya untuk protes atau keterangan yang dlqamakan dengan itu, bila dibuat akta semacam itu, dapat ditagih dari mereka yang tandatangannya terdapat pada cek itu. (KUHD 145, 206, 217-20, 219.)<br /><br />Pasal 221.<br /> Semua orang yang terikat berdasarkan cek, masih terikat untuk sepenuhnya terhadap pemegangnya. Di samping itu juga pihak ketiga yang atas bebannya cek itu ditarik dan yang telah menikmati nilainya, bertanggungjawab pula terhadap pemegang.<br /> Pemegang dapat menggugat orang-orang ini, baik masing-masing maupun bersama-sama, tanpa wajib memperhatikan urutan ikatan mereka.<br /> Hak yang sama ada pada setiap orang yang tandatangannya terdapat pada cek dan yang telah membayar untuk memenuld kewajiban regresnya.<br /> Gugatan yang dilakukan terhadap salah seorang debitur cek, tidak inenghalangi gugatan kepada debitur lainnya, meskipun mereka mengikatkan diri lebih belakangan daripada yang ditagih pertama. (KUHPerd. 1280 dst., 1283, 1292 dst.; KUHD 146, 183a, 217, 221a; F. 132; Rv. 2992, 581-1 sub 11.)<br /><br />Pasal 22la.<br />Pemegang cek yang nonpembayarannya ditetapkan dengan protes atau keterangan yang disamakan dengan itu, sama sekali tidak mempunyai hak atas dana yang ada di tangan tertarik dari penariknya.<br /> Dalam hal kepailitan penarik, uang itu termasuk hartanya. (KUHD 146a, 190a dst.; F. 19.)<br /><br />Pasal 222.<br /> Pemegang melakukan gugatan kepada mereka, terhadap siapa ia melaksanakan hak regresnya:<br />10. jumlah uang cek itu yang tidak dibayar;<br />20. bunga enam persen termtung dari hari pengajuan;<br />30. biaya protes atau keterangan yang disamakan dengan itu biaya pemberitahuan yang telah dilakukan beserta biaya lain. (KUHPerd. 12503; KUHD 147, 217, 218b.)<br /><br />Pasal 223.<br /> Orang yang untuk memenuhi kewajiban regresnya, telah membayar cek itu, dapat menagih mereka yang berkewajiban regres terhadapnya:<br />10. seluruh jumlah yang telah dibayarkan olehnya;<br />20. bunga enam persen terhitung dari hari pembayarannya;<br />30. biaya yang telah dikeluarkan olehnya. (KUHPerd. 12503 ; KUHD 148, 217, 222.)<br /><br />Pasal 224.<br /> Setiap debitur cek, terhadap siapa dilakukan atau dapat dilakukan hak regres, dengan membayar untuk memenuhi kewajiban regresnya, dapat menuntut penyerahan ceknya dengan protes, atau keterangan yang disamakan dengan itu, beserta perhitungan yang ditandatangani sebagai pelunasan.<br /> Setiap endosan yang telah membayar cek untuk memenuhi kewajiban regresnya, dapat mencoret endosemennya sendiri dan endosemen-endosemen berikutnya. (KUHD 149, 217, 222, 227.)<br /><br />Pasal 225.<br /> Bila pengajuan cek itu atau pembuatan protes atau keterangan yang disamakan dengan itu dalam jangka waktu yang ditetapkan terhalang oleh rintangan yang tidak dapat diatasi (peraturan perundang-undangan dari suatu negara atau hal lain di luar kekuasaannya), maka jangka waktu itu diperpanjang.<br /> Pemegangnya wajib segera memberitahukan kepada endosannya tentang keadaan yang di luar kekuasaan itu, dan mencantumkan pemberitahuannya pada cek itu atau lembaran sambungannya dengan diberi tanggal dan ditandatangani; untuk selebihnya berlaku ketentuan pasal 219.<br /> Setelah berakhirnya keadaan yang di luar kekuasaannya, pemegangnya harus segera mengajukan cek itu untuk pembayaran, dan, bila ada alasan untuk itu, menyuruh menetapkan penolakan pembayaran dengan protes atau keterangan yang disamakan dengan itu.<br /> Bila keadaan di luar kekuasaannya itu berlangsung lebih dari lima betas hari terhitung dari hari sewaktu pemegang memberitahukan tentang keadaan yang di luar kekuasaannya kepada endosanya, meskipun sebelum akhir jangka waktu pengajuan, maka hak regres dapat dilakukan tanpa diperlukan pembuatan protes atau keterangan yang disamakan dengan itu.<br /> Fakta-fakta yang bersifat pribadi bagi pemegangnya, atau untuk orang yang ditugaskan olehnya untuk mengajukan cek itu atau tintuk mengadakan protes atau keterangan yang dlqamakan dengan itu, tidak dianggap sebagai hal-hal yang di luar kekuasaannya. (KUHD 153, 205 dst., 217, 218.)<br /><br />Bagian 7. Lembaran Cek Dan Cek yang Hilang.<br /><br />Pasal 226.<br /> Kecuali cek atas-tunjuk, setiap cek yang dikeluarkan dalam suatu negara dan harus dibayar di negara lain atau di daerah seberang laut dari satu negara yang sama dan sebaliknya, atau dikeluarkan dan harus dibayar di daerah seberang laut yang sama atau di daerah seberang laut dari satu negara, dapat ditarik dalam lembaran-lembaran lebih dari satu yang bunyinya sama. Bila cek ditarik dalam beberapa lembar, lembaran itu harus diberi nomor dalam alas-haknya, yang dianggap bahwa setiap lembar merupakan cek tersendiri, bila pemberian nomor itu tidak ada. (KUHD 163, 178, 182, 206 dst.)<br /><br />Pasal 227.<br /> Pembayaran yang dilakukan atas salah satu dari lembaran mengakibatkan pembebasan, meskipun tidak disyaratkan, bahwa pembayaran itu menghapuskan kekuatan lembaran lain.<br />Endosan yang telah menyerahkan lembaran itu kepada beberapa orang, demikian pula endosan yang kemudian, terikat oleh lembaran yang memuat tanda tangan mereka dan tidak diserahkan. (KUHD 164, 191, 224.)<br /><br />Pasal 227a.<br /> Orang yang kehilangan cek yang pemegangnya adalah ia sendiri, hanya dapat meminta pembayaran kepada tertarik dengan mengadakan jaminan untuk waktu tigapuluh tahun. (KUHPerd. 1830,1967; KUHD 167a, 196,198, 212; Rv. 611 dst.)<br /><br />Pasal 227b.<br />Orang yang kehilangan cek yang pemegangnya adalah ia sendiri dan yang sudah gugur dan di mana perlu telah diprotes, hanya dapat melakukan haknya terhadap penarik, dengan mengadakan jaminan untuk waktu tiga puluh tahun. (KUHPerd. 1830, 1967; KUHD 167b, 217, 218b; Rv. 611 dst.)<br /><br />Bagian 8. Perubahan.<br /><br />Pasal 228.<br /> Bila ada perubahan dalam alas-hak suatu cek, maka mereka yang kemudian membubuhkan tanda tangan pada cek itu, terikat menurut alas-hak yang diubah; mereka yang sebelum itu membubuhkan tanda tangan mereka pada cek itu, terikat menurut alas-hak aslinya. (KUHD 168; KUHP 264.)<br /><br />Bagian 9. Daluwarsa.<br /><br />Pasal 228a.<br />Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal berikut, utang karena cek dihapus oleh segala ikhtiar pembebasan utang yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (KUHPerd. 1381; KUHD 168a.)<br /><br />Pasal 229.<br />Semua tuntutan regres pemegang terhadap para endosan, penarik dan debitur cek lain, kedaluwarsa dengan lampaunya waktu enam bulan, terhitung dari akhir jangka waktu pengajuan.<br /> Tuntutan regres dari berbagai debitur yang satu terhadap yang lain, yang wajib terhitung dari hari pembayaran oleh debitur cek itu untuk memenuhi kewajiban melakukan pembayaran cek, kedaluwarsa dengan lampaunya waktu enam bulan, regresnya, atau dari hari Ia digugat di depan pengadilan.<br /> Daluwarsa yang dimaksud dalam alinea pertama dan kedua tidak dapat digunakan oleh penarik, bila atau sejauh Ia tidak menyediakan dana, dan tidak dapat digunakan oleh penarik atau pam endosan, yang telah memperkaya diri secara tidak adil, semuanya tanpa mengurangi ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1967. (KUHD 169, 229k.)<br /><br />Pasal 229a.<br />Pencegah daluwarsa hanya berlaku terhadap orang yang terhadapnya dilakukan tindak pencegahan daluwarsa itu. (KUHPerd. 1381; KUHD 168a.)<br /> Menyimpang dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1987 dan pasal 1988 berlakulah daluwarsa yang dibicarakan dalam pasal yang lalu terhadap mereka yang belum dewasa dan terhadap mereka yang berada dalam pengampuan, demikian pula antara suami-istri, dengan tidak mengurangi hak-tagih mereka yang belum dewasa dan yang dalam pengampuan terhadap wali atau pengampu mereka. (KUHD 170, 229k.)<br /><br />Bagian 10. Ketentuan-ketentuan Umum.<br /><br />Pasal 229a.bis.<br /> Bankir, yang tersebut dalam bagian-bagian sebelum bab ini, disamakan dengan semua orang atau lembaga yang dalam pekerjaan mereka secara tertib memegang uang untuk penggunaan langsung oleh orang lain. (KUHD 74 dst., 180, 214 dst.)<br /><br />Pasal 229b.<br /> Pengajuan dan protes dari suatu cek tidak dapat dilakukan selain pada hari kerja.<br /> Bila hari terakhir jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang untuk melakukan tindakan mengenai cek yaitu untuk pengajuan dan untuk membuat protes atau keterangan yang disamakan dengan itu adalah hari raya,maka jangka waktu ini diperpanjang sampai hari kerja pertama berikut pada akhir jangka waktu tersebut. Hari raya yang terdapat diantara itu dimasukkan dalam perhitungan jangka waktu. (KUHD 171, 205 dst.; Rv. 171.)<br /><br />Pasal 229b.bis.<br />Yang dianggap hari raya resmi dalam arti bagian ini ialah Minggu, Tabun Baru, Paskah Kristen kedua dan Pantekosta, kedua haii Natal, Kenaikan Isa Almasih, beserta hari-hari raya lainnya yang setiap tahun kembali ditetapkan oleh Directeur van Justitie (Menteri Kehakiman). Penunjukan tanggal semua hari raya yang dimaksud dalam pasal ini, kecuali hari Minggu, dilakukan setiap tahun dengan Surat ketetapan yang dimuat dalam Surat kabar resmi sebelum permulaan tahun. (KUHD 171a, 229j.)<br /><br />Pasal 229c.<br /> Dalam jangka waktu yang diatur dalam bagian-bagian sebelum bab ini, tidak termasuk hari permulaan jalannya jangka waktu ini. (KUHD 172, 201, 205 dst., 218, 225, 227a dst., 229.)<br /><br />Pasal 229d.<br />Tiada satu hari penangguhan pun diizinkan, baik menurut undang-undang maupun menurut keputusan hakim. (KUHD 173.)<br /><br />Bagian 11. Kuitansi Dan Promes Atas-Tunjuk.<br /><br />Pasal 229e.<br /> Kuitansi dan promes atas-tunjuk harus memuat tanggal yang betul dari terbitan aslinya. (KUHD 229f dst., 229i; Rv. 581 -1 sub 21.)<br /><br />Pasal 229f.<br /> Penerbit asli kuitansi atas-tunjuk, yang harus dibayar oleh pihak ketiga, bertanggungjawab terhadap setiap pemegangnya untuk memenuhinya selama dua puluh hari setelah hari tanggalnya dan hari itu tidak termasuk. (KUHD 108, 189, 229g.)<br /><br />Pasal 229g.<br /> Akan tetapi tanggungjawab penerbit asli tetap berlangsung, kecuali bila ia membuktikan bahwa selama waktu yang ditentukan dalam pasal yang lampau mempunyai dana sebesar jumlah pada Surat yang diterbitkannya pada orang yang atas dirinya telah diterbitkan Surat itu.<br /> Penerbit asli, dengan ancaman hukuman tanggungjawabnya akan berlangsung terus, wajib melepaskan dan menyerahkan kepada pemegang tagam pada dana yang ada darinya pada hari jatuh tempo di tangan orang yang atas namanya Surat itu telah dikeluarkan, dan hal itu sebesar jumlah pada Surat yang dikeluarkan; dan ia harus memberikan kepada pemegang atas biayanya ini, bukti yang diperlukan untuk menjadikan tagihan itu berlaku sah. Bila penerbit asli dinyatakan pailit, para pengawas hartanya mempunyai kewajiban yang sama, kecuali bila mereka menganggap lebih baik untuk me an pemegang itu sebagai penagih utang untuk jumlah pada Surat yang dikeluarkan itu. (KUHPerd. 613; KUHD 152a, 229k; F. 1, 13.)<br /><br />Pasal 229h.<br /> Selain penerbit aslinya, setiap orang yang telah memberikan Surat tersebut di atas sebagai pembayaran, tetap bertanggungjawab selama waktu enam hari sesudahnya, tidak termasuk hari penerbilannya, terhadap orang yang telah menerima Surat itu darinya. (KUHD 146, 217, 229j.)<br /><br />Pasal 229i.<br /> Pemegang promes atas-tunjuk wajib menagih pemenuhannya dalam waktu enam hari setelah hari Surat itu diambil sebagai pembayaran, di dalamnya tidak termasuk hari itu, dan bila tidak dilakukan pembayaran, ia harus mengajukan promes itu untuk pencabutan, dal- jangka waktu yang sama, kepada orang yang telah memberikan promes sebagai pembayaran kepadanya, semua itu dengan ancaman hukuman akan kehilangan hak tagihnya terhadap orang itu, akan tetapi dengan tidak mengurangi haknya terhadap orang yang menandatangani promes itu.<br /> Bila pada promes itu dinyatakan hari harus dibayar, maka jangka waktu enam hari tersebut berjalan mulai satu hari setelah hari pembayaran yang dinyatakan itu. (KUHD 152, 206, 229j.)<br /><br />Pasal 229j.<br /> Bila hari terakhir suatu jangka waktu, yang terdapat dalam suatu ketentuan dalam bagian ini, jatuh pada hari raya resmi dalam arti pasal 229b bis, kewajiban bertanggungjawab itu tetap berlangsung sampai dengan hari pertama berikut yang bukan hari raya resmi. (KUHD 171.)<br /><br />Pasal 229k.<br /> Semua tuntutanhak terhadap para penerbit Surat yang disebut dalam bagian ini, atau terhadap mereka yang di samping penerbit asli telah mengeluarkan Surat itu sebagai pembayaran, kedaluwarsa dengan lampaunya waktu enam bulan, terhitung dari hari penerbilan yang asli.<br /> Daluwarsa yang dimaksud dalam alinea yang lalu tidak dapat digunakan oleh penerbit, bila dan selama ia tidak menyediakan dananya, tidak dapat pula oleh penerbit atau oleh mereka, yang di samping penerbit asli telah mengeluarkan Surat itu sebagai pembayaran, bila mereka telah memperkaya diri dengan cara yang tidak adil; semuanya tidak mengurangi yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1967.<br /> Terhadap daluwarsa yang disebut dalam pasal ini berlaku pasal 229a alinea kedua. (KUHD 169, 1704, 229.)<br /><br />BAB VIII. REKLAME ATAU TUNTUTAN KEMBALI DALAM HAL KEPAILITAN.<br /><br />Pasal 230.<br /> Jika barang bergerak telah dijual dan diserahkan, dan harga pembeliannya belum dilunasi sepenuhnya, dalam hal kepailitan pembeli, penjual berhak untuk menuntut kembali barang itu menurut ketentuan-ketentuan berikut. (KUHPerd. 574,612, 1139-31, 1144 dst., 1266 dst., 1459, 1478,1517 dst.; KUHD 98, 231, 233 dst., 236; F. 24, 36; Rv. 714 dst.)<br /><br />Pasal 231.<br /> (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Untuk melakukan hak penuntutan kembali disyaratkan, bahwa barang itu masih berada dalam keadaan yang sama seperti waktu diserahkan.<br /> Bukti untuk itu diizinkan, meskipun barang itu sudah dikeluarkan dari bungkusannya, dibungkus kembali atau dikurangi. (KUHD 98, 230, 234.)<br /><br />Pasal 232.<br /> Barang bergerak, yang telah dijual baik dengan penentuan waktu maupun tanpa penentuan waktu dapat dituntut kembali, bila barang itu masih dalam perjalanan, baik di darat maupun di air, atau bila barang itu masih berada pada orang yang jatuh pailit, atau pada pihak ketiga yang menguasai atau menyimpan barang itu untuknya.<br /> Dalam kedua hal, tuntutan kembali hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung dari hari barang itu di simpan di bawah kekuasaan orang yang paint atau pihak ketiga. (KUHPerd. 1145, 1517; KUHD 76 dst., 86 dst., 230, 238.)<br /><br />Pasal 233.<br /> Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembeliannya, maka pada penuntutan kembali seluruhnya, penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya kepada harta pailit ftu. (KUHPerd. 1266 dst.; KUHD 234, 236.)<br /><br />Pasal 234.<br /> Bila barang yang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit, pemberian kembali dilakukan menurut imbangan dan dalam perbandingan dengan harga pembelian dalam keseluruhannya. (KUHD 231.)<br /><br />Pasal 235.<br /> Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberikan ganti rugi kepada harta orang yang jatuh pailit untuk semua yang telah dibayar atau yang masih terutang karena bea, upah pengangkutan, komisi, asuransi, avarij umum (kerugian laut umum), dan selanjutnya segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang dagangan. (KUHPerd. 1139-41; KUHD 76 dst., 86 dst., 91 dst., 240, 246 dst., 699.)<br /><br />Pasal 236.<br /> Bila pembeli telah mengakseptasi dengan Surat wesel atau Surat dagang lain jumlah penuh dari harga barang yang dijual dan diserahkan, maka tidak terjadi penuntutan kembali.<br /> Bila akseptasi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang terutang, dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk kepentingan harta orang yang pailit diadakan jaminan untuk hal sebagai akibat dari akseptasi itu, yang darinya dapat dituntut. (KUHPerd. 1413-11, 1415; KUHD 120 dst., 125,174 dst., 178, 188 dst., 229e dst., 230, 233, 238, 244.)<br /><br />Pasal 237.<br /> Bila barang yang dituntut kembali diambil dengan itikad baik sebagaijaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak menuntut kembali, akan tetapi sebaliknya mempunyai kewajiban kepada pemberi utang untuk memenuhi jumlah yang dipinamkan, dengan bunga dan biaya yang terutang. (KUHPerd. 582, 1150 dst.; KUHD 232, 241, 247.)<br /><br />Pasal 238.<br /> Tuntutan kembali barang dihapus, bila barang itu selama perjalanan dibell dengan itikad baik oleh fihak ketiga atas faktur dan atas konosemen atau surat muatan.<br /> Namun penjual asunya dalam hal itu berhak untuk menagih pada pembeli harga pembehannya, selama belum dilunasi sebesarjumlah tagihannya, dan Ia mempunyai hak mendahului terhadap uang itu, dengan tidak diperbolehkan untuk mencampurkan uang itu dengan harta orang yang pailit.<br /> Ketentuan alinea yang lalu berlaku juga dalam hal barang itu, setelah berada dalam penguasaan orang yang pailit atau seseorang yang bertindak untuknya, akibat pembelian dan penyerahan dengan itikad baik, telah menjadi milik pihak ketiga. (KUHPerd. 1381, 1402; KUHD 90, 232, 507 dst.; F. 41 dst.)<br /><br />Pasal 239.<br /> Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan harta itu, barang-barang yang dituntut kembali, asalkan memenuhi harga pembelian kepada penjual yang olehnya telah dipersyaratkan pada orang yang pailit. (F. 60.)<br /><br />Pasal 240.<br /> Selama barang bergerak yang diberikan dalam komisi masih berada pada komisioner atau pada pihak ketiga yang menguasainya atau menyimpan untuk orang yang pailit, barang-barang itu dapat dituntut kembali oleh pemberi komisi, dengan kewajiban yang dinyatakan dalam pasal 235.<br /> Hak menuntut kembali yang sama terjadi terhadap harga pembelian barang-barang yang diberikan dalam komisi dan yang telah dbual dan diserahkan oleh komisioner, asalkan harga pembeliannya tidak dilunasi sebelum kepailitannya, walaupun komisioner telah memperhitungkan keuntungan sebagai jaminan untuk pembelinya, atau yang dinamakan del credere. (KUHD 76 dst., 246 dst.)<br /><br />Pasal 241.<br /> Jika barang-barang yang diberikan dalam komisi diambil sebagai jaminan utang oleh pihak ketiga dengan itikad baik, berlakulah peraturan-peraturan dari pasal 237.<br /><br />Pasal 242.<br /> Bila dalam harta paint terdapat surat-surat wesel, surat-surat dagang dan surat lain yang belum sampai jatuh tempo pembayarannya, atau yang sudah sampai jatuh temponya dan belum dibayar, yang diserahkan ke tangan orang yang pailit hanya dengan amanat untuk menagihkannya dan memegang jumlah uangnya untuk penggunaan pengirim, atau untuk melakukan pembayaran tertentu yang ditunjuk atau bila hal itu dimaksudkan untuk menjamin surat-surat wesel yang ditarik atas orang yang pailit dan diakseptasi olehnya, atau surat-surat yang harus dibayar di tempat tinggatnya, maka surat-surat wesel, suratsurat dagang dan surat-surat lain itu dapat dituntut kembali, selama hal ini masih berada pada orang yang pailit, atau pada pihak ketiga yang menguasai atau menyimpan untuknya, namun semua tidak mengurangi hak atas harta itu untuk minta jaminan yang untuknya mungkin dapat dituntut darinya karena akseptasi-akseptasi orang yang pailit. (KUHD 100 dst., 102a, 109c, 117, 127a, 146a, 174 dst., 178 dst., 229e dst., 231 dst., 236.)<br /><br />Pasal 243.<br /> Juga selain soal maksud atau akseptasi yang disebut dalam pasal yang lalu, surat-surat wesel, atau surat-surat dagang atau surat-surat lainnya yang dialihkan kepada orang yang pailit dapat dituntut kembali, meskipun ada sesuatu yang diinasukkan dalam rekening koran, asalkan pengirimnya pada waktu pengiriman, atau kemudian, tidak pemah berutang sama sekali untuk sesuatu jumlah pada orang yang pailit dan tidak termasuk dalam hal itu biaya yang timbul karena pengiriman itu. (KUHD 100 dst., 174 dst., 178 dst., 229e dst.)<br /><br />244, 245. Dihapus dg. S. 1938-276.<br /><br /><br />BAB IX. ASURANSI ATAU PERTANGGUNGAN PADA UMUMNYA.<br /><br /><br />Pasal 246.<br /> Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti. (KUHPerd. 1774; KUHD 60, 249, 252, 269, 286, 593.)<br /><br />Pasal 247.<br /> Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai:<br /> bahaya kebakaran; (KUHD 287 dst.)<br /> bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipanen; (KUHD 299 dst.)<br /> jiwa satu orang atau lebih; (KUHD 302 dst.)<br /> bahaya laut dan bahaya perbudakan; (KUHD 592 dst.)<br /> bahaya pengangkutan di darat, di sungai, dan perairan pedalaman. (KUHD 686 dst.)<br /> Mengenai dua hal terakhir dibicarakan dalam buku berikutnya. (AB. 23; KUHPerd. 1337; KUHD 268, 599.)<br /> <br />Pasal 248.<br /> Terhadap semua pertanggungan, baik yang dibicarakan dalam buku ini maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Buku Kedua ini, berlakulah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal berikut. (KUHD 256, 259,275, 283.)<br /><br />Pasal 249.<br /> Penanggung sama sekali tidak wajib menanggung untuk kerusakan atau kerugian yang langsung timbul karena cacat, kebusukan sendiri, atau karena sifat dan kodrat dari yang dipertanggungkan sendiri, kecuali jika dipertanggungkan untuk itu dengan tegas. (KUHD 276, 294, 637.)<br /><br />Pasal 250.<br /> Bila seseorang yang mempertanggungkan untuk dirinya sendiri, atau seseorang yang atas bebannya dipertanggungkan oleh pihak ketiga, pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan dalam denda yang dipertanggungkan, maka penanggung tidak wajib mengganti kerugian. (KUHPerd. 1234, 1246; KUHD 257, 264 dst., 266, 268, 268, 281 dst.)<br /><br />Pasal 251.<br /> Semua pemberitahuan yang keum atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadak- dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal. (KUHPerd. 1320 dst., 1328; KUHD 269 dst., 280 dst., 306, 593, 597 dst., 603 dst.; KUHP 381.)<br /><br />Pasal 252.<br /> Kecuali dalam hal yang diuraikan oleh ketentuan undang-undang, tidak boleh diadakan pertanggungan kedua untuk waktu yang sama, dan untuk bahaya sang sama atas barang-barang yang telah dipertanggungkan untuk nilaiaya secara penuh, dengan ancaman kebatalan terhadap pertanggungan yang kedua. (KUHD 253 dst., 256-10, 266, 271 dst., 277 dst., 280, 609 dst.)<br /><br />Pasal 253.<br /> Pertanggungan yang melampaui jumlah harganya atau kepentingan yang sesungguhnya, hanyalah berlaku sampai jumlah nilainyanya<br /> Bila nilai barang itu tidak dipertanggungkan sepenuhnya, maka penanggung, dalam hal kerugian, hanya terikat menurut perimbangan antara bagian yang dipertanggungkan dan bagi- yang tidak dipertanggungkan. <br /> Akan tetapi bagi pihak yang berjanji bebas untuk mempersyaratkan dengan tegas, bahwa tanpa mengingat kelebihan nilai barang yang dipertanggungkan, kerugian yang diderita oleh barang itu akan diganti sampai jumlah penuh yang dipertanggungkan. (KUHD 268, 289, 677.)<br /><br />Pasal 254.<br /> pelepasan yang dilakukan pada waktu mengadakan pertanggungan atau selama berjalannya hal itu, atas hal yang menurut ketentuan undang-undang dipersyaratkan untuk hakekat perjanjian itu, atau hal yang dengan tegas dilarang, adalah batal. (AB. 23; KUHPerd. 1335 dst.; KUHD 249, 253, 256, 263, 287, 296, 299, 304, 306, 624 dst., 634, 637, 640 dst., 657, 659 dst., 688 dst., 695.)<br /><br />Pasal 255.<br />Pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang diberi nama polis. (KUHD 256.)<br /><br />Pasal 256.<br /> Semua polis, terkecuali polis pertanggungan jiwa, harus menyatakan:<br />10. hari pengadaan pertanggungan itu;<br />20. nama orang yang mengadakan pertanggungan itu atas beban sendiri atau atas beban orang lain;<br />30. uraian yang cukup jelas tentang barang yang dipertanggungkan;<br />40. jumlah uang yang untuk itu dipertanggungkan;<br />50. bahaya yang diambil oleh penanggung atas bebannya;<br />60. waktu mulai dan berakhirnya bahaya yang mungkin terjadi atas beban penanggung;<br />70. Premi pertanggungan; dan<br />80. pada umumnya, semua keadan yang pengetahuannya tentang itu mungkin mutlak Penting bagi penanggung, dan semua syarat yang diperjanjikan antara para pihak.<br />Polis itu harus ditandatangani oleh setiap Penanggung (KUHD 247, a5l dst., 254, 258, 264 dst., 287, 296, 299, 302, 304, 592, 596, 624 dst., 686, 710.)<br /><br />Pasal 257.<br /> Perjanjian pertanggungan ada seketika setelah hal itu diadakan; hak mulai saat itu, malahan sebelum Polis ditandatangani. dan kewajiban kedua belah pihak dari penanggung dan dari tertanggung berjalan<br /> Pengadaan perjanjian itu membawa kewajiban penanggung untuk menandatangani Polis itu dalam waktu yang ditentukan dan menyerahkannya kepada tertanggung. (KUHD 255, 259 dst., 681-10.)<br /><br />Pasal 258.<br /> Untuk membuktikan adanya perjanjian itu, harus ada bukti tertulis; akan tetapi semua alat bukti lain akan diizinkan juga, bila ada permulaan bukti tertulis.<br /> Namun demikian janji dan syarat khusus, bila timbul perselisihan tentang hal itu dalam waktu antara pengadaan perjanjian dan penyerahan polisnya, dapat dibuktikan dengan semua alat bukti; akan tetapi dengan pengertian bahwa harus ternyata secara tertulis syarat yang pernyataannya secara tegas diharus dalam polis, dengan ancaman hukuman menjadi batal, dalam berbagai pertanggungan oleh ketentuan undang-undang. (KUHPerd. 1902; KUHD 68, 255, 262, 302, 603, 606, 615, 618, 681-10.)<br /><br />Pasal 259.<br /> Bila Pertanggungan langsung diadakan antara tertanggung, atau orang yang diamanatkan atau diberi wewenang untuk itu, dan penanggung, polis itu dalam 24 jam setelah pengajuan oleh penanggung harus ditandatangani dan diserahkan, kecuali bila ditentukan jangka waktu yang lebih panjang oleh ketentuan undang-undang, dalam sesuatu hal khusus. (KUHD 260, 681-10.)<br /><br />Pasal 260.<br />Bila pertanggungan diadakan dengan perantaraan seorang makelar asuransi, polisnya yang ditandatangan harus diserahkan dalam delapan hari setelah mengadakan perjanjian. (KUHD 64, 684.)<br /><br />Pasal 261.<br /> Bila ada kelalaian dalam hal yang ditentukan dalam kedua pasal yang lalu, penanggung atau makelar untuk kepentingan tertanggung, wajib mengganti kerugian yang mungkin dapat timbul karena kelalaian itu. (KUHD 681.)<br /><br />Pasal 262.<br /> Orang yang setelah menerima perintah orang lain untuk mempertanggungkan, menahan atas bebannya sendiri, dianggap menjadi penanggung dengan syarat yang diajukan semula, dan bila tidak diajukan syarat itu, maka dengan syarat sedemikian dapat dipakai untuk mengadakan pertanggungan itu, di tempat is seharusnya melaksanakan perintah itu atau bila ini tidak ditunjukkan, pada tempat tinggainya. (KUHD 60, 264.)<br /><br />Pasal 263.<br /> Pada penjualan dan segala peralihan hak milik atas barang yang dipertanggungkan, pertanggungannya berlangsung untuk keuntungan pembeli atau pemilik baru, bahkan tanpa penyerahan, sepanjang mengenai kerugian yang timbul setelah barang itu menjadi keuntungan atau kerugian pembeli atau mereka yang haru memperolehnya; semua hal demikian berlaku, kecuali bila dipersyaratkan sebaliknya antara penanggung dan tertanggung yang asli.<br /> Bila pada waktu penjualan atau peralihan hak milik, pembeli atau pemilik baru menolak untuk mengambil alih pertanggungannya, dan tertanggung asli masih tetap mempunyai kepentingan dalam barang yang dipertanggungkan, maka pertanggungan itu akan tetap berjalan untuk kepentingannya. (KUHPerd. 584, 1459 dst.; KUHD 281, 321.)<br /><br />Pasal 264.<br /> Pertanggungan dapat diadakan tidak hanya atas beban sendiri, akan tetapi juga atas beban pihak ketiga, baik berdasarkan amanat umum atau khusus, maupun di luar pengetahuan yang berkepentingan sekalipun, dan untuk hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan berikut. (KUHPerd. 1354 dst., 1792 dst.; KUHD 262, 333, 378, 598.)<br /><br />Pasal 265.<br /> Pada pertanggungan untuk pihak ketiga, harus dengan tegas dinyatakan dalam polisnya, adakah hal itu terjadi berdasarkan pemberian amanat, ataukah di luar pengetahuan yang berkepentingan. (KUHD 256, 264.)<br /><br />Pasal 266.<br /> Pertanggungan tanpa pemberian amanat dan di luar pengetahuan yang berkepentingan, adalah batal, bila dan sejauh barang yang sama itu telah dipertanggungkan oleh yang berkepentingan, atau oleh pihak ketiga atas amanatnya, sebelum saat ia mengetahui tentang pertanggungan yang diadakan di luar pengetahuannya. (KUHPerd. 1357; KUHD 252, 254, 264, 277 dst., 281, 333, 378, 598, 652.)<br /><br />Pasal 267.<br /> Bila dalam polisnya tidak dinyatakan, bahwa pertanggungan itu diadakan atas beban pihak ketiga, tertanggung dianggap telah mengadakannya untuk dirinya sendiri. (KUHD 265, 281 dst.)<br /><br />Pasal 268.<br /> Pertanggungan dapat menjadikan sebagai pokok yakni semua kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, dapat terancam bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang. (KUHD 247, 250, 599.)<br /><br />Pasal 269.<br /> Semua pertanggungan yang diadakan atas suatu kepentingan apa pun, yang kerugiannya terhadap itu dipertanggungkan, telah ada pada saat mengadakan perjanjiannya, adalah batal, bila tertanggung atau orang yang dengan atau tanpa amanat telah menyuruh mempertanggungkan, telah mengetahui tentang adanya kerugian itu. (KUHPerd. 1328; KUHD 246, 251, 281 dst., 306, 597 dst., 604, 606; KUHP 381.)<br /><br />Pasal 270.<br /> Persangkaan ada, bahwa orang telah mengetahui tentang kerugian itu, bila hakim dengan mengindahkan keadaannya, berpendapat bahwa sejak adanya kerugian itu telah lampau begitu banyak waktu, sehingga tertanggung telah dapat mengetahuinya.<br /> Dalam hal keragu-raguan, hakim bebas untuk memerintahkan tertanggung dan pemegang amanatnya bersumpah, bahwa mereka pada waktu mengadakan perjanjiannya tidak mengetahui tentang adanya kerugian itu.<br /> Bila sumpah itu dibebankan oleh satu pihak kepada pihak lawannya, maka sumpah itu dalam segala hal oleh hakim harus diperintahkan. (KUHPerd. 1916-30; 1929 dst., 1940 dst.; KUHD 282, 597 dst.)<br /><br />Pasal 271.<br /> Penanggung selalu dapat mempertanggungkan lagi hal yang telah ditanggung olehnya. (KUHD 252, 279.)<br /><br />Pasal 272.<br /> Bila tertanggung membebaskan penanggung dari kewajibannya untuk waktu yang akan datang melalui pengadilan ia dapat mempertanggungkan lagi kepentingannya untuk bahaya itu juga.<br /> Dalam hal itu, dengan ancaman hukuman menjadi batal, harus disebutkan dalam polis yang baru, baik pertanggungan yang lama maupun pemutusan melalui pengadilan. (KUHD 279 dst., 281 dst.)<br /><br />Pasal 273.<br /> Bila nilai barang yang dipertanggungkan tidak dinyatakan dalam polisnya oleh para pihak, hal itu dapat dibuktikan dengan semua alat bukti. (KUHPerd. 1866; KUHD 256, 295, 621 dst.)<br /><br />Pasal 274.<br /> Meskipun nilai itu dinyatakan dalam polisnya, hakim mempunyai wewenang untuk memerintahkan kepada tertanggung untuk menguraikan dasar layaknya nilai yang dinyatakan, bila diajukan alasan yang menimbulkan persangkaan yang mempunyai dasar karena pemberitahuan nilai yang terlalu tinggi.<br /> Penanggung dalam segala hal mempunyai kekuasaan untuk membuktikan terlalu tingginya nilai yang dinyatakan itu di depan hakim. (KUHPerd. 1922; KUHD 253, 275, 295, 619.)<br /><br />Pasal 275.<br /> Akan tetapi bila barang yang dipertanggungkan sebelumnya telah dinilai oleh ahli yang diperuntukkan bagi itu oleh para pihak, dan bila dituntut, disumpah oleh hakim, maka penanggung tidak dapat membantahnya, kecuali dalam hal adanya penipuan; semuanya ini tidak mengurangi pengecualian yang dibuat dalam ketentuan undang-undang. (KUHPerd. 1328, 1449; KUHD 282, 295, 619.)<br /><br />Pasal 276.<br />Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan dari tertanggung sendiri, dibebankan pada penanggung. Bahkan ia boleh tetap memegang atau menagih preminya, bila ia sudah mulai memikul bahaya. (KUHD 249, 282, 290, 294, 307, 637, 693.)<br /><br />Pasal 277.<br /> Bila berbagai pertanggungan diadakan dengan itikad balk terhadap satu barang saja, dan dengan yang pertama ditanggung nilai yang penuh, hanya inilah yang berlaku dan penanggung berikut dibebaskan.<br /> Bila pada penanggung pertama tidak ditanggung nilai penuh, maka penanggung berikutnya bertanggung jawab untuk nilai selebihnya menurut urutan waktu mengadakan pertanggungan itu. (KUHD 252.)<br /><br />Pasal 278.<br /> Bila pada satu polis saja, meskipun pada hari yang berlainan oleh berbagai penanggung dipertanggungkan lebih dari nilainya, mereka bersama-sama, menurut perimbangan jumlah yang mereka tandatangani, hanya memikul nilai sebenarnya yang dipertanggungkan.<br /> Ketentuan itu juga berlaku, bila pada hari yang sama, terhadap satu benda yang sama diadakan berbagai pertanggungan. (KUHD 277, 280.)<br /><br />Pasal 279.<br /> Tertanggung dalam hal-hal yang disebut dalam dua pasal yang lalu, tidak boleh membatalkan pertanggungan yang lama agar dengan demikian penanggung yang kemudian terikat.<br /> Bila tertanggung membebaskan penanggung-penanggung pertama, ia dianggap menetapkan diri mengganti tempat mereka sebagai penanggung untuk jumlah yang sama dan urutan yang sama.<br /> Bila ia mengadakan pertanggungan ulang untuk dirinya, maka para penanggung ulang mengganti tempatnya dalam urutan itu juga. (KUHD 271 dst.)<br /><br />Pasal 280.<br /> Tak dianggap sebagai perjanjian yang tidak diperkenankan, bila setelah pertanggungan suatu barang untuk nilai penuhnya, yang berkepentingan selanjutnya mempertanggungkannya, untuk seluruhnya atau sebagian, dengan ketentuan tegas, bahwa ia hanya akan dapat melakukan haknya terhadap para penanggung, bila dan selama ia tidak akan dapat menagih ganti rugi pada penanggung yang dahulu.<br /> Dalam hal perjanjian yang demikian, perjanjian yang diadakan sebelum itu, dengan ancaman hukuman akan menjadi batal, harus diuraikan dengan jelas dan begitu pula akan berlaku ketentuan pasal 277 dan pasal 278 terhadap itu. (KUHD 252.)<br /><br />Pasal 281.<br /> Dalam segala hal di mana perjanjian pertanggungan untuk seluruhnya atau sebagian gugur, atau menjadi batal, dan asalkan telah bertindak dengan itikad baik, penanggung harus mengembalikan preminya, baik untuk seluruhnya atau sebagian yang sedemikian untuk mana Ia belum menghadapi bahaya. (KUHD 250 dst., 266 dst., 269, 272, 276, 603, 615, 618, 635 dst., 652 dst., 662.)<br /><br />Pasal 282.<br /> Bila batalnya perjanjian terjadi berdasarkan akal busuk, penipuan atau kejahatan tertanggung, penanggung mendapat preminya, dengan tidak mengurangi tuntutan pidana, bila ada alasan untuk itu. (KUHPerd. 1328, 1453; KUHD 270, 653; KUHP 381.)<br /><br />Pasal 283.<br /> Dengan tidak mengurangi ketentuan khusus yang dibuat tentang berbagai macam pertanggungan, tertanggung wajib dengan giat mengusahakan, agar kerugian terhindar atau berkurang, setelah kejadian tersebut ia harus segera memberitahukan kepada penanggung; semua dengan ancaman penggantian kerugian, biaya dan bunga, bila ada alasan untuk itu.<br /> Biaya yang dikeluarkan oleh tertanggung untuk menghindari atau mengurangi kerugian menjadi beban penanggung, meskipun hal itu bila ditambahkan pada kerugian yang diderita, melampaui jumlah uang yang dipertanggungkan, atau daya upaya yang dilakukan itu telah sia-sia belaka. (KUHPerd. 1357; KUHD 249, 294, 654, 718.)<br /><br />Pasal 284.<br /> Penanggung yang telah membayar kerugian barang yang dipertanggungkan, memperoleh semua hak yang sekiranya dimiliki oleh tertanggung terhadap pihak ketiga berkenaan dengan kerugian itu; dan tertanggung bertanggurgjawab untuk setiap perbuatan yang mungkin merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga itu. (KUHPerd. 1354, 1365 dst., 1402; KUHD 290, 637, 656, 693.)<br /><br />285.Dihapus dg. s. igo6-348.<br /><br />Pasal 286.<br /> Perseroan-perseroan pertanggungan atau penjaminan timbal-balik harus menaati ketentuan dalam perjanjiannya dan peraturan yang berlaku, dan bila tidak lengkap, harus menurut asas-asas hukum pada umumnya. Larangan-larangan yang termuat dalam pasal 289 alinea terakhir, secara khusus juga berlaku terhadap perseroan-perseroan ini. (KUHD 15, 53, 308; S. 1870-64 pasal 10.)<br /><br />BAB X. ASURANSI ATAU PERTANGGUNGAN TERRADAP BAHAYA-BAHAYA KEBAKARAN,<br />TERHADAP BAHAYA-BAHAYA YANG MENGANCAM HASIL PERTANIAN YANG<br />BELUM DIPANENI, DAN TENTANG PERTANGGUNGAN JIWA.<br />Bagian 1. Pertanggungan Terhadap Bahaya Kebakaran.<br /><br />Pasal 287.<br /> Selain menyatakan persyaratan dalam pasal 256, polis kebakaran harus menerangkan:<br />10. letak dan batas barang tetap yang dipertanggungkan;<br />20. penggunaannya;<br />30. sifat dan penggunaan bangunan-bangunan yang berbatasan, selama hal itu dapat mempunyai pengaruh terhadap pertanggungannya;<br />40. nilai barang yang dipertanggungkan;<br />50. letak dan batas bangunan dan tempat, di mana barang bergerak yang dipertanggungkan berada, disimpan atau ditumpuk. (KUHPerd. 1186-41; KUHD 247 dst., 254, 256-30, 258, 263, 272, 293, 300, 302, 624 dst, 688; Rv. 101.)<br /><br />Pasal 288.<br /> Pada pertanggungan milik yang dibangun dipersyaratkan, akan diganti kerugian yang diderita pada persil itu, atau persil itu akan dibangun kembali atau diperbaiki paling tinggi sampai jumiah yang dipertanggungkan.<br /> Dalam hal yang pertama, kerugiannya dihitung dengan memperbandingkan nilai persil sebelum bencana, dengan nilai sisanya segera setelah kebakaran, dan kerugiannya diganti dengan uang tunai.<br /> Dalam hal kedua, penanggung wajib membangun kembali atau memperbaikinya. Penanggung mempunyai hak untuk mengawasi, bahwa uang yang harus dibayar olehnya, dalam waktu yang ditentukan, kalau perlu oleh haldm, sungguh digunakan untuk tujuan itu; hakim bahkan dapat memerintahkan kepada tertanggung atas tuntutan penanggung, bila ada alasannya, untuk menjamin hal itu secukupnya. (KUHPerd. 1241; KUHD 283.)<br /><br />Pasal 289.<br /> Pertanggungan dapat dilakukan untuk nilai penuh barang yang dipertanggungkan.<br /> Dalam hal persyaratan pembangunan kembali, dipersyaratkan oleh tertanggung, bahwa biaya yang diperlukan untuk pembangunan kembali itu, akan diganti oleh penanggung.<br /> Akan tetapi pada persyaratan itu pertanggungan sekali-kali tidak boleh melampaui tiga perempat biaya itu. (KUHD 53, 253, 286, 288.)<br /><br />Pasal 290.<br /> yang dibebankan pada penanggung adalah semua kerugian dan kerusakan yang menimpa barang yang dipertanggungkan karena kebakaran yang disebabkan oleh cuaca yang sangat buruk atau peristiwa lain, apinya sendiri, kelalaian, kesalahan atau kejahatan pelayan sendiri, tetangga, musuh, perampok, dan lain-lainnya dengan nama apa pun, dengan cara apa pun terjadinya kebakaran itu, direncanakan atau tidak direncanakan, biasa atau tidak biasa, tanpa ada yang dikecualikan. (KUHPerd - 1367, 1565; KUHD 276, 282, 284, 291 dst., 294, 637.) <br /><br />Pasal 291.<br /> Kerugian yang disebabkan oleh kebakaran disamakan dengan kerugian sebagai akibat kebakaran, juga bila hal itu terjadi dari kebakaran dalam bangunan-bangunan yang berdekatan, misalnya barang-barang yang dipertanggungkan berkurang atau membusuk, karena air atau alat lain yang digunakan untuk menahan atau memadamkan kebakaran itu, atau hilangnya sesuatu dari barang itu karena pencurian, atau sebab lain, selama pemadaman kebakaran atau penyelamatannya; juga kerusakan yang disebabkan oleh penghancuran seluruhnya atau sebagian barang yang dipertanggungkan, yang terjadi atas perintah pihak atasan untuk menahan menjalamya kebakaran yang terjadi. (ISR. 133; Onteig 84.)<br /><br />Pasal 292.<br /> Demikian pula kerugian yang disebabkannya oleh ledakan mesiu, ketel uap, sambaran petir, atau sebab lainnya, meskipun meledaknya, pecahnya atau sambaran itu tidak mengakibatkan kebakaran, disamakan dengan kerugianyang disebabkan oleh kebakaran.<br /><br />Pasal 293.<br /> Bila sebuah bangunan yang dipertanggungkan diperuntukkan bagi penggunaan lain, dan karena itu besar kemungkinan bahaya kebakaran lebih banyak, sehingga bila hal itu telah ada sebelum dipertanggungkan, penanggung tidak akan mempertanggungkan sama sekali atau tidak atas dasar syarat yang sama seperti itu, maka berhentilah kewajibannya. (KUHD 287-20, 638, 652 dst.)<br /><br />Pasal 294.<br /> Penanggung terbebas dari kewajibannya untuk memenuhi penggantian kerugian, bila ia membuktikan, bahwa kebakaran itu disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian besar tertanggung sendiri. (KUHPerd. 1366; KUHD 2, 249, 276, 283, 290.)<br /><br />Pasal 295.<br /> Pada pertanggungan atas barang-barang bergerak dan barang-barang dagangan dalam rumah, gudang atau tempat penyimpanan lain, bila tidak ada atau tidak lengkap alat-alat bukti yang dinyatakan dalam pasal-pasal 273, 274 dan 275, hakim dapat memerintahkan tertanggung untuk bersumpah.<br /> Kerugiannya dihitung menurut nilai barang-barang yang ada pada waktu ada kebakaran. (KUHPerd. 1940 dst.)<br /><br />Pasal 296.<br /> Bila tidak diadakan persyaratan khusus dalam polis tentang barang-barang bergerak, harta dalam rumah, perkakas rumah dan perhiasan rumah, maka pernyataan-pernyataan itu diberi arti sedemikian seperti yang diuraikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku Kedua Bab I, Bagian 4. (KUHPerd. 512 dst.; KUHD 356-51.)<br /><br />Pasal 297.<br /> Bila pada suatu hipotek antara debitur dan penagihnya dipersyaratkan, bahwa dalam hal ada kerugian menimpa persil yang dihipotekkan yang dipertanggungkan atau yang akan dipertanggungkan, uang asuransinya sampai jumlah utang dan bunga yang terutang, akan menggantikan hipotek itu, maka penanggung yang diberitahukan persyaratan itu wajib memperhitungkan ganti rugi yang terutang dengan penagih utang hipotek. (KUHPerd. 613, 1162 dst.; KUHD 268, 288; S. 1908-542 pasal 14.)<br /><br />Pasal 298.<br /> Persyaratan dalam pasal di atas tidak mempunyai akibat, kecuali bila dan sepanjang penagih utang hipotek akan mendapat keuntungan, seandainya kerugian itu tidak terjadi. (KUHPerd. 1209 dst.)<br /><br />Bagian 2. Pertanggungan Terhadap Bahaya yang Mengancam Hasil<br />Pertanian yang Belum Dipaneni.<br /><br />Pasal 299.<br /> Selain syarat-syarat yang tercantum dalam pasal 256, pohs itu harus menyatakan:<br />10. letak dan batas-batas tanah yang hasilnya dipertanggungkan;<br />20. penggunaannya. (KUHPerd. 1186-41; KUHD 247, 251, 254, 258, 263, 272, 287-10 dan 21; Rv. 101.)<br /><br />Pasal 300.<br />Pertanggungannya dapat diadakan untuk satu tahun atau lebih.<br />Bila tidak ada penentuan waktu, dianggap bahwa pertanggungan itu diadakan untuk satu tahun. (KUHPerd. 1597.)<br /><br />Pasal 301.<br />Pada penyusunan penghitungan kerugian, dihitung berapa nilai hasil pada waktu dipanen atau dinikmati tanpa terjadinya bencana, dan nilainya setelah bencana itu. Penanggung membayar selisihnya sebagai ganti rugi. (KUHD 273 dst., 288.)<br /><br />Bagian 3. Pertanggungan Jiwa.<br /><br />Pasal 302.<br /> (s.d.u. dg. S. 1876-141.) Jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidup ataupun untuk suatu waktu yang ditentukan dengan perjanjian. (KUHD 247 dst., 304-40.)<br /><br />Pasal 303.<br />Yang berkepentingan dapat mengadakan pertanggungan, bahkan di luar pengetahuan atau izin dari orang yang jiwanya dipertanggungkan.<br /><br />Pasal 304.<br /> Polis itu memuat:<br />10. hari pengadaan pertanggungan itu;<br />20. nama tertanggung;<br />30. nama orang yang jiwanya dipertanggungkan;<br />40. waktu bahaya bagi penanggung mulai berjalan dan berakhir;<br />50. jumlah uang yang dipertanggungkan;<br />60. premi pertanggunganriya. (KUHD 254, 256, 258, 302, 306.)<br /><br />Pasal 305.<br /> Perencanaan jumlah uangnya dan penentuan syarat pertanggungannya, sama sekali diserahkan kepada persetujuan kedua belah pihak. (KUHPerd. 1780.)<br /><br />Pasal 306.<br /> Bila orang yang jiwanya dipertanggungkan pada waktu pengadaan pertanggungan telah meninggal dunia , gugurlah perjanjian itu, meskipun tertanggung tidak dapat mengetahui tentang meninggalnya itu; kecuali bila dipersyaratkan lain. (KUHPerd. 1779; KUHD 251 dst., 269, 281.)<br /><br />Pasal 307.<br /> Bila orang yang mempertanggungkanjiwanya bunuh diri atau dihukum mati, gugurlah pertanggungannya. (KUHD 276.)<br /><br />Pasal 308.<br /> Dalam bagian ini tidak termasuk dana janda, perkumpulan-perkumpulan tunjangan hidup (tontine), perseroan pertanggungan jiwa timbal-balik, dan perjanjian lain semacam itu yang berdasarkan kemungkinan hidup dan kematian, yang untuk itu diharuskan mengadakan simpanan atau sumbangan tertentu atau kedua-duanya. (KUHD 286; S. 1870-64 pasal 10.)<br /><br /><br /></a></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-90488576294629747902010-04-29T07:47:00.000-07:002010-04-29T07:48:30.685-07:00BENTUK-BENTUK PEMERINTAHAN<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 0, 0);font-size:180%;" >BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAHAN</span></a><br /></div><div style="text-align: center;">BAB 1<br /></div><div style="text-align: center;">BENTUK-BENTUK PERBUATAN PEMERINTAHAN<br /></div>A. Pengertian Pemerintah<br />Pengertian pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu, Pertama, Pemerintahan dalam arti luas, yaitu pemerintahan yang terdiri dari tiga kekuasaan yang masing-masing terpisah satu sama lain. Ketiga kekuasaan itu adalah :<br />a. Kekuasaan legislatif.<br />b. Kekuasaan eksekutif.<br />c. Kekuasaan yudikatif.<br />Pemerintahan kekuasaan diatas berdasarkan teori Trias Politica dari Montesquieu. Tetapi, menurut Van Vollenhoven, pemerintahan dalam arti luas berbeda dengan teori trias politica. Menurut Van Vollenhoven pemerintahan dalam arti luas mencakup :<br />a. Tindakan / kegiatan pemerintahan dalam arti sempit (bestuur).<br />b. Tindakan / kegiatan polisi (politie).<br />c. Tindakan / kegiatan peradilan (rechts praak).<br />d. Tindakan membuat peraturan (regeling, wetgeving).<br />Sedangkan pemerintahan dalam arti luas menurut Lemaire adalah pemerintahan yang meliputi :<br />a. Kegiatan penyelengaraan kesejahteraan umum (bestuur zorg).<br />b. Kegiatan pemerintahan dalam arti sempit.<br />c. Kegiatan kepolisian.<br />d. Kegiatan peradilan.<br />e. Kegiatan membuat peraturan.<br />Sedangkan Donner berpendapat, bahwa pemerintahan dalam arti luas dibagi menjadi dua tingkatan (dwipraja), yaitu :<br />a. Alat-alat pemerintahan yang menentukan hukum negara / politik negara.<br />b. Alat-alat perlengkapan pemerintahan yang menjalankan politik negara yang telah ditentukan.<br />Kedua, Pemerintahan dalam arti sempit ialah badan pelaksana kegiatan eksekutif saja tidak termasuk badan kepolisian, peradilan dan badan perundang-undangan. Pemerintahan dalam arti sempit itu dapat disebut dengan istilah lain, yaitu ”administrasi negara”. Bentuk perbuatan pemerintahan atau bentuk tindakan administrasi negara secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :<br />1. Perbuatan hukum / tindakan hukum.<br />2. Bukan perbuatan hukum.<a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><br /></a>Perbuatan pemerintahan menurut hukum publik dibedakan menjadi dua, yaitu :<br />1. Perbuatan menurut hukum publik bersegi satu.<br />2. Perbuatan menurut hukum publik bersegi dua.<br />Perbuatan menurut hukum publik bersegi satu, yaitu suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh aparat administrasi negara berdasarkan wewenang istimewa dalam hal membuat suatu ketetapan yang megatur hubungan antara sesama administrasi negara maupun antara administrasi negara dan warga masyarakat. Misalnya, ketetapan tentang pengangkatan seseorang menjadi pegawai negeri. Perbuatan menurut hukum publik bersegi dua, yaitu suatu perbuatan aparat administrasi negara yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih secara sukarela. Misalnya mengadakan perjanjian pembuatan gedung, jembatan dengan pihak swasta <a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">(pemborong).</a><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-22853127327862903652010-04-29T07:45:00.000-07:002010-04-29T07:46:48.763-07:00Pemerintahan dalam Negara Hukum<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 51);font-size:180%;" >Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum</span></a><br /></div><div style="text-align: center;">BAB II<br />Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum<br /></div><br />A. Pengertian Tindakan Pemerintahan<br />Nata Saputra mengungkapkan bahwa secara teoritik atau praktik, terdapat perbedaan antara pemerintah dan pemerintahan. Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksana tugas pemerintah, sedangkan pemerintah adalah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan. Pengertian pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu, Pertama, Pemerintahan dalam arti luas, yaitu pemerintahan yang terdiri dari tiga kekuasaan yang masing-masing terpisah satu sama lain. Ketiga kekuasaan itu adalah : kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pemerintahan kekuasaan itu berdasarkan teori Trias Politica dari Montesquieu. Tetapi, menurut Van Vollenhoven, pemerintahan dalam arti luas berbeda dengan teori trias politica. Menurut Van Vollenhoven pemerintahan dalam arti luas mencakup :<br /><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">a. Tindakan / kegiatan pemerintahan dalam arti sempit (bestuur).<br />b. Tindakan / kegiatan polisi (politie).<br />c. Tindakan / kegiatan peradilan (rechts praak).</a><br />d. Tindakan membuat peraturan (regeling, wetgeving).<br />Kedua, Pemerintahan dalam arti sempit ialah badan pelaksana kegiatan eksekutif saja tidak termasuk badan kepolisian, peradilan dan badan perundang-undangan. Pemerintahan dalam arti sempit itu dapat disebut dengan istilah lain, yaitu ”administrasi negara”.<br />Pemerintah adalah subjek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sebagaimana subjek hukum lainnya, pemerintah melakukan berbagai tindakan nyata/biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbukan akibat hukum. Sedangkan tindakan hukum menurut Huisman adalah tindakan-tindakan yang berdasrkan sifatnya menimbulkan akibat hukum tertentu. Jadi, Pengertian tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan (yang menimbulkan akibat hukum ). Akibat hukum itu dapat berupa :<br />1) Jika menimbulkan beberpa perubahan hak, kewajiban dan kewewenangan yang ada;<br />2) Jika menimbulkan perubah kedudukan hukum bagi seseorang atau objek yang ada;<br />3) Jika terdapat hal-hak, kewajiban, kewewenangan, ataupun status terttentu yang ditetapkan.<br />Apabila tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari organ pemerintahan dan membawa akibat hukum, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kehilafan (dwaling), penipuan (bedrog) dan paksaan (dwang).<br />Indonesia adalah Negara hukum, maka tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, yang terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif. <br />Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.<br />B. Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan<br />Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara:<br />1. Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;<br />2. Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.<br />Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.<br /><br />C. Unsur, Macam-Macam, Dan Karakteristik Tindakan Pemerintah<br />1. Unsur-Unsur Tindakan Pemerintah<br /> Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintahan atau administrasi Negara, yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintahan atau administrasi Negara. Berdasarkan pengertian tersebut Muchsan mengungkapkan terdapat beberapa unsur, yaitu :<br />a. Perbuatan yang dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun alat pelngkapan pemerintahan (bestuursorganen)dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri.<br />b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan<br />c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi<br />d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat<br /> Selain unsur di atas dalam Negara hukum yang berasas legalitas juga perlu ditambah dengan unsur lain yaitu perbuatan hukum admnistrasi harus didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.<br />2. Macam-Macam Tindakan Hukum Pemerintahan<br /> Terdapat dua macam hukum yaitu : tindakan hukum publik ( publikrechtsandelingen) yang berarti tindakan hukum yang dilakukan tersebut berdasarkan pada hukum publik dan tindakan hukum privat ( privatrechtstandelingen) yang berarti tindakan hukum yang didasarkan pada hukum keperdataan.<br /> Kedudukan hukum pemerintah yang mewakili dua institusi yang tampil dengan ”twee patten” dan diatur dengan dua hukum yang berbeda Yaitu hukum publik dan hukum pripat yang akan melahirkan tindakan hukum dngan akibat-akibat hukum yang berbeda, Secara teoritis untk menentukan apkah tindakan pemeritahan itu diatur oleh hukum privat atau hukum publik yaitu dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakan tersebut, jika pemerintah bertindak dalam kualitas sebagai pemerintah maka hukum publik yang berlaku dan sebaliknya.Jika bertindak tidak dalam kualitas pemerintah maka hukum privat yang berlaku.<br />3. Karakteristik tindakan hukum pemerintah<br /> Para sarjana berbeda pendapat mengenai sifat tindakan hukum pemerintah sebagian menyatakan bahwa perbuatan hukum yang terjadi dalam lingkup hukum publik selalu bersifat sepihak, bagi mereka tidak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua atau dua pihak ,tidak ada perjanjian yang diatur dalam hukum publik akan tetapi diatur dalam hukum privat karena perjanjian itu bersegi dua. Sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa perbuatan pemerintah bersegi dua mereka mengakui adanya perjanjian yang diatur dalam hukum publik seperti perjanjian kerja yang berlaku selam jangka pendek. Akan tetapi, perbedaan itu tidak menafikan bahwa cirri karakter dari tindakan pemerintah adalah sepihak.<br /> Pada kenyataannya, semua urusan pemerintah dapat diselenggarakan sendiri, sehingga kadang melakukan kerjasama dengan pihak swasta demi efektifitas dan efesiensi. Tindakan hukum tersebut dikenal tindakan hukum campuran. Selain itu, dikenal pula karakteristik tindakan hukum pemerintahan yang bersipat terikat fakutatif dan bebas karakteristik tersebut berkenaan dengan dasar bertindak yang dimiliki oleh organ pemerintahan, yaitu kewenangan (bepoeg dheid).<br /> Berdasarkan penjelasan di atas bisa dipahami bahwa bentuk dari perbuatan pemerintah itu, pertama ada yang bersifat regulasi, yatu pengaturan sebuah peraturan untuk menjalankan pemerintahan, semacam ketetapan atau peraturan pemerintah. Kedua, ada yang bersifat eksukutif, yaitu menjalankan apa yang telah ditetapkan oleh DPR dalam bentuk Undang - undang. Ketiga, bertindak pada hal yang berkaitan dengan keperdataan yang masih berhubungan dengan menjalankan pemrintahan.<br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-50500157939407763062010-04-29T07:44:00.000-07:002010-04-29T07:45:22.073-07:00CONTOH SURAT KUASA<div style="text-align: justify;"><br />Yang bertanda tangan dibawah ini:<br /><br />Dedi Mizwar, agama Islam, umur 38 tahun, tempat tinggal di Jalan Suparman No. 45 Rt. 02/Rw. 08 Tanggulangin Sidorjo.<br /><br />Dengan ini mengakui dan menyatakan memberi kuasa kepada para advokat di kantor hukum Abdul Latif & rekan, yang terdiri dari: 1. Abdul Latif, S.H ,M.Hum.<br /> 2. M. Zaeni, S.HI, M. Hum.<br />beralamat praktek di jalan Ahmad Yani No. 117 Surabaya<br />KHUSUS<br />untuk menjadi kuasa hukum kami/membela hak-hak kami, serta memperjuangkan kepentigan-kepentingan kami menurut hukum di Pengadilan Agama Surabaya dalam perkara: No. 752/Pdt.G/2009/P.A Sby.<br /><br />Untuk itu yang diberi kuasa, diberi hak dan wewenang penuh seperti penerima kuasa bertindak sendiri, menghadapi sidang baik di dalam maupun di luar pengdilan, membuat/ mendatangtangani/memasukan surat-surat resmi dalam berkas perkara, termasuk mohon salinan resmi, mengajukan permohonan banding/kasasi/peninjauan kembali. Tegasnya melakukan segala upaya hukum yan diperkenankan oleh perundang-undangan dan yang oleh penerima kuasa dirasa serta dianggap baik dan perlu satu dan lain hal semata-mata demi dan untuk membela dan mempertahankan segala hak dan kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa ini diberikan dengan hak “subsitusi” sebagian atau seluruhnya kepada orang lain.<br /><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><br />BACA...............</a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-58631635366651735582010-04-29T07:42:00.000-07:002010-04-29T07:43:48.253-07:00PUTUSAN HAKIM DAN EKSEKUSI<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(0, 102, 0);"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-size:180%;">PUTUSAN HAKIM DAN EKSEKUSI<br /></span></a></div><br /><br />PENGANTAR<br />Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan sebuah interaksi dengan sesamanya. Dan proses interaksi itu tidak selamanya berjalan dengan baik, namun ada kalanya dihiasi dengan konflik horizontal sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya suatu institusi yang menjadi pemutus konflik tersebut. Dalam kehidupan bernegara, institusi ini menjelma dalam bentuk Lembaga-lembaga peradilan.<br />Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim. Untuk lahirnya sebuah putusan diperlukan beberapa prosedur tententu, dan ada berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia peradilan. Makalah ini akan menguraikan secara singkat tentang macam-macam putusan hakim sekaligus proses eksekusinya.<br /><br />PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM PUTUSAN<br />Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.<br />Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut :<br />1. Putusan Akhir<br />- adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan<br />- Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :<br />a. putusan gugur<br />b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet<br />c. putusan tidak menerima<br />d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa<br />- Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain<br />2. Putusan Sela<br />- adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan<br />- putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetaoi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan<br />- putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja<br />- Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turt bersidang<br />- Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir<br />- Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya<br />- Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir.<br />- Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sh dari putusan itu dengan biaya sendiri<br />Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :<br />1. Putusan gugur<br />- adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan<br />- putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan<br />- putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :<br />a. penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu<br />b. penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah<br />c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang<br />d. Tergugat/termohon mohon keputusan<br />- dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur<br />- dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara<br />- tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi<br />2. Putusan Verstek<br />- adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan<br />- Verstek artinya tergugat tidak hadir<br />- Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut<br />- Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :<br />a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu<br />b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah<br />c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan<br />d. Penggugat hadir dalam sidang<br />e. Penggugat mohon keputusan<br />- dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus verstek.<br />- Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belummenilai secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat<br />- Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian<br />- Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek<br />- Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet)<br />- Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding<br />- Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding<br />- Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding<br />- Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek<br />- Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya<br />- Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat<br />- Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat<br />- Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek<br />- Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding<br />- Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah mempero;eh kekuatan hukum tetap<br />3. Putusan kontradiktoir<br />- adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak<br />- dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang<br />- terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding<br />Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:<br />1. Putusan tidak menerima<br />- yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil<br />- Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat<br />- Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi<br />- Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstekyang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban<br />- Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.<br />- Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir<br />- Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat<br />- Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu perkara merupakan suatu putusan akhir<br />2. Putusan menolak gugatan penggugat<br />- yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti<br />- Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili<br />3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya<br />- Putusan ini merupakan putusan akhir<br />- Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga :<br />• Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan<br />• Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya ditolak<br />• Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima<br />4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya<br />- putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti<br />- Untuk mengabulka suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti<br />- Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat<br />Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut :<br />1. Putusan Diklatoir<br />- yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum<br />- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau besciking<br />- putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan<br />- putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi<br />- putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada<br />2. Putusan Konstitutif<br />- Yaitu suatu pitusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.<br />- Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain<br />- Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi<br />- Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan<br />- Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya<br />- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan huum tetap<br />3. Putusan Kondemnatoir<br />- Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi<br />- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius<br />- Putusab kondemnatoir sekaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan eksekusi<br />- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya<br />- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)<br />- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk<br />1. menyerahkan suatu barang<br />2. membayar sejumlah uang<br />3. melakukan suatu perbuatan tertentu<br />4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan<br />5. mengosongkan tanah/rumah<br /><br />PELAKSANAAN PUTUSAN<br />Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :<br />1. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang<br />2. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan<br />3. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap<br />4. eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang<br />Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :<br />1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :<br />a. pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu<br />b. pelaksanaan putusan provinsi<br />c. pelaksanaan akta perdamaian<br />d. pelaksanaan Grose Akta<br />2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan agama<br />3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi<br />4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama<br />Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, PTA tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :<br />1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan<br />2. Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah dikeluarkan apabila :<br />- tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah<br />- tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan<br />3. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita<br />4. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :<br />- Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi<br />- Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi<br />- Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi<br /><div style="text-align: left;">- S<a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">aksi-saksi </a>tersebut harus memenuhi syarat :<br /></div>a. telah berumur 21 tahun<br />b. berstatus penduduk Indonesia<br />c. memiliki sifat jujur<br />5. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi<br />6. Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :<br />a. nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi<br />b. merinci secara lengap semua pekerjaan yang dilakuan<br />c. berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi<br />d. pihak tersita dan jga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita<br />e. Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eks penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya<br />7. Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut :<br />a. Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersta<br />b. Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang<br />c. Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain<br />d. Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita<br />e. Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita<br />8. Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi<br /><br /><a style="color: rgb(153, 0, 0);" href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">PENUTUP<br />Pengadilan selalu mengupayakan keadilan melalui unsur formil dan materiil dan tentunya diperlukan kesadaraan dari semua pihak untuk dapat mematuhi hukum.</a><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-43793260221567980092010-04-29T07:41:00.000-07:002010-04-29T07:42:43.050-07:00Permohonan Gugatan Perceraia<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 0, 0);font-size:180%;" >Permohonan Gugatan Perceraia</span></a><span style="font-weight: bold; color: rgb(153, 0, 0);font-size:180%;" >n</span><br /></div>Perihal: Permohonan Gugatan Perceraian<br /><br />Kepada Yth.<br />Ketua Pengadilan Agama Surabaya<br />di Jalan Arjuna No. 18 Surabaya<br /><br />Dengan Hormat,<br />Ita Rahmania, lahir di Kediri tanggal 25 Febuari 1980, Ibu Tumah Tangga, bertempat tinggal di jalan Darmo No. 23 Surabaya, selanjutnya disebut: penggugat. Dalam hal ini telah memilih tempat kedudukan hukum di tempat praktek kuasanya:<br />1. Khofifi, S.H, M. Hum<br />2. M. Zaeni, S.H, M. Hum<br />para advokat/pengacara yang beralamat praktek di jalan Ahmad Yani No. 117 Surabaya, berdasarkan surat kuasa khusus dengan hak “subsitusi”, karenanya sah bertindak dan untuk atas nama penggugat, menyusun dan mendatangani serta mengajukan gugatan perceraian terhadap:<br />Herizal Hasby, lahir di Lamongan tanggal 26 Desember 1976, bertempat tinggal di jalan Darmo No. 23 Surabaya, selanjutnya disebut: Tergugat.<br />Adapun alasan selengkapnya adalah sebagaimana tercantum dalam posita dibawah ini:<br />1. Bahwa antara penggugat dan tergugat telah melangsungkan perkawinan yang sah menurut agama Islam yang tercatat pada tanggal 4 Mei 1998 di kantor Urusan Agama (KUA) pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Jakarta, dengan registrasi No. 156/WNI/1998 (P.1);<br />2. Bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat dikaruniai anak: Kiki (lahir di Jakarta tanggal 8 Maret 1999) dan Kaka (lahir di Jakarta tanggal 5 Juli 2005);<br />3. Bahwa suasana tidak harmonis dan percekcokan mulai timbul dan dirasakan sekitar bulan September 2006;<br />4. Bahwa tergugat sejak bulan Oktober 2006 suka mabuk-mabukan dan judi;<br />5. Bahwa tergugat mengakui berselingkuh dengan wanita lain sewaktu tour ke Palembang tanggal 3 Desember 2007<br />6. Bawa tergugat tidak memberi nafkah lahir dan batin selama 2 tahun;<br /><br />Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pengugat mohon kepada Pengadilan Agama Surabaya berkenan memutuskan:<br />1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;<br />2. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat yang dicatat pada tanggal 19 Juli 1998 di Kantor Urusan Agama (KUA) Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Jakarta, dengan registrasi No. 156/WNI/1998 (P.1), putus karena perceraian;<br />3. Memerintahkan kepada kepala petugas KUA Pemerintah Kota Surabaya untuk mencatat perceraian ini;<br />4. Memberikan putusan penyerahan hak asuh anak kepada penggugat;<br />5. Menyatakan tergugat harus memberikan biaya kebutuhan secara penuh untuk pertumbuhan dan perkembangan anak sampai dewasa;<br />6. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara;<br />Atau,<br />agar pengadilan Agama Surabaya memberikan putusan yang seadil-adilnya.<br /><br />Surabaya, 26 Desember 2008<br />Hormat Kuasa Hukum Penggugat<br /><br /><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-58134871431493251082010-04-29T07:39:00.000-07:002010-04-29T07:41:19.433-07:00JAWABAN PERTAMA TERGUGAT<div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(153, 0, 0);"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-size:180%;">JAWABAN PERTAMA TERGUGAT<br /></span></a></div>Perkara No. No. 152/Pdt.G/2008/P.A SBY<br />Antara:<br />OKY PARAWANGSA, sebagai ………………………………………………………………Penggugat<br />Lawan:<br />PASHA KARWO, sebagai …………………………………………………………………….Tergugat<br /><br />Surabaya, 2 Januari 2009<br />Kepada Yth.<br />BAPAK MAJELIS HAKIM<br />Pemeriksa Per. No. 152/Pdt.G/2008/P.A SBY<br />PENGADILAN AGAMA SURABYA<br />DI<br />SURABAYA<br /><br />Dengan Hormat,<br />Kami,<br />Pasha Karwo, bertempat tinggal di Jl. Buruh Tani No. 55 Gersik, yang dalam perkara ini memberi kuasa kepada Lutfiati Syahida, S. H, M. Hum, Pengacara & Penasehat hukum berkantor di Jl. Panglima Soedirman No. 207 Surabaya berdasarkan Surat Kuasa tanggal 29 Desember 2008, terlampir, selanjutnya disebut sebagai …………………………………………………..….Tergugat<br />Menanggapi gugatan Penggugat, maka dengan ini Tergugat melalui kuasanya mengajukan jawaban pertama sebagai berikut:<br />DALAM EKSEPSI:<br />1. Bahwa, gugatan ini telah secara keliru diajukan oleh penggugat kepada Pengadilan Agama Surabaya;<br />2. Bahwa, sejak tanggal 27 Desember 2008 tergugat sekarang bertempat tinggal di Gersik, dan tentang tempat tinggal tergugat di Gersik telah diketahui oleh penggugat<br />3. Bahwa, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan ini seharusnya diajukan kepada Pengadilan Agama Gersik dan bukan sebagaimana yang dilakukan oleh pengugat pada Pengadilan Agama Surabaya<br />Maka berdasarkan segala apa yang terurai di atas, tergugat memohon dengan hormat kepada Pengadilan Agama Surabaya berkenan memutuskan:<br />1. Mengadili bahwa Pengadilan Agama Surabaya tidak berwewenang untuk mengadili perkara tersebut;<br />2. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara ini.<br />Apabila Pengadilan Agama Surabaya berpendapat lain, maka:<br />DALAM POKOK PERKARA:<br />1. Bahwa, tergugat menyalahi semua dalil-dalil Pengugat kecuali yang diakui secara tegas dan benar oleh Tergugat;<br />2. Bahwa, dalam perkawinan Tergugat dan Pengugat yang dilangsungkan pada pada tanggal 4 Mei 1998 di kantor Urusan Agama (KUA) pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Jakarta, dengan registrasi No. 156/WNI/1998 (P.1), lahir anak-anak:<br />1. Kiki (lahir di Jakarta tanggal 8 Maret 1999);<br />2. dan Kaka (lahir di Jakarta tanggal 5 Juli 2005);<br />3. bahwa, suasana tidak harmonis dan percekcokan timbul dikarenakan ulah Penggugat telah melalaikan tugasnya untuk mengurus anak dengan bekerja di salah satu pabrik di Sidoarjo<br />4. bahwa, tergugat hanya melakukan judi dan minum minuman keras hanya pada bulan Oktober 2006;<br />5. bahwa, tergugat selingkuh dalam keadaan hilap karena sudah lama tidak berhubungan suami-istri;<br />6. bahwa, Tergugat memberi nafkah lahir berupa uang kepada penggugat sampai Juli 2007 dan penggugat selalu menolak ketika diberi nafkah batin.<br />7. Bahwa, suasana yang demikian terebut, penggugat merasa tidak keberatan dengan perceraian ini.<br />DALAM REKONPENSI<br />1. Bahwa, tergugat Konpensi dalam gugatan rekonpensi ini mohon disebut sebagai Penggugat Rekonpensi dan Penggugat Konpensi sebagai Tergugat Rekonpensi. Dan apa yang telah lahir diuraikan dalam jawaban pokok perkara tersebut di atas, merupakan kesatuan dari gugatan rekonpensi ini.<br />2. Bahwa, dalam perkawinan Penggugat Rekonpensi dan tergugat Rekonpensi telah lahir anak-anak-anak:<br />1. Kiki (lahir di Jakarta tanggal 8 Maret 1999);dan<br />2. Kaka (lahir di Jakarta tanggal 5 Juli 2005);<br />3. Bahwa, anak-anak tersebut kini bersama Tergugat Rekonpensi, dan masih dibawah umur. Untuk mengurus segala keperluannya antara lain: mengurus sekolah dan lain-lainnya, sangat diperlukan adanya wali. Maka tergugat sebagai Ayahnya, mohon kepada Bapak Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk menetapkan Penggugat Rekonpensi sebagai WALI AYAH dari kedua anak tersebut, mengingat Tergugat Rekonpensi sibuk dengan pekerjaannya sebagai karyawan di pabrik sehingga dikhawatirkan terbengkalainya mengurusi kebutuhan anak.<br />Berdasarkan atas hal-hal tesebut di atas, maka pengugat Rekonpensi mohon kepada Bapak Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Surabaya berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut:<br />DALAM POKOK PERKARA<br />• Mohon putusan yang adil dan bijaksana<br />DALAM REKONPENSI<br />1. Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi seluruhnya<br />2. Menyatakan Penggugata Rekonpensi sebagai Wali Ayah dari kedua anaknya yang belum dewasa:<br />1. Kiki (lahir di Jakarta tanggal 8 Maret 1999);dan<br />2. Kaka (lahir di Jakarta tanggal 5 Juli 2005);<br />DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI<br />• Menghukum penggugat konpensi/terugugat rekonpensi untuk membayar seluruh biaya perkara ini.<br />Terima kasih<br />Hormati kami,<br />Kuasa Tergugat/ Penggugat RekonpensiARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-50452641359489731192010-04-29T07:34:00.000-07:002010-04-29T07:39:06.407-07:00SURAT KUASA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold; color: rgb(153, 0, 0);font-size:180%;" >SURAT KUASA</span><br /></a></div><br />Yang bertanda tangan dibawah ini:<br /><br />Pasha Karwo, agama Islam, umur 33 tahun, bertempat tinggal di Jl. Buruh Tani No. 55 Gersik.<br />Dengan ini mengakui dan menyatakan memberi kuasa kepada para advokat di kantor hukum Lutfiati Syahida & rekan, yang terdiri dari: 1. Lutfiati Syahida, S.H ,M.Hum.<br /> 2. Rahmania, S.HI, M. Hum.<br />beralamat praktek di Jl. Panglima Soedirman No. 207 Surabaya<br />KHUSUS<br />untuk menjadi kuasa hukum kami/membela hak-hak kami, serta memperjuangkan kepentigan-kepentingan kami menurut hukum di Pengadilan Agama Surabaya dalam perkara: No. 152/Pdt.G/2008/P.A Sby.<br /><br />Untuk itu yang diberi kuasa, diberi hak dan wewenang penuh seperti penerima kuasa bertindak sendiri, menghadapi sidang baik di dalam maupun di luar pengdilan, membuat/ mendatangtangani/memasukan surat-surat resmi dalam berkas perkara, termasuk mohon salinan resmi, mengajukan permohonan banding/kasasi/peninjauan kembali. Tegasnya melakukan segala upaya hukum yan diperkenankan oleh perundang-undangan dan yang oleh penerima kuasa dirasa serta dianggap baik dan perlu satu dan lain hal semata-mata demi dan untuk membela dan mempertahankan segala hak dan kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa ini diberikan dengan hak “subsitusi” sebagian atau seluruhnya kepada orang lain.<br /><br />Surabya, 28 Desember 2008,<br />Yang diberi kuasa Yang memberi kuasa<br /><br /><br />1. Lutfiati Syahida, S.H ,M.Hum. Pasha Karwo<br /><br /><br />2. Rahmania, S.HI, M. Hum.<br /><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><br /></a>Surat Kuasa ini telah didaftarkan pada kepanitraan Pengadilan Agama Suarabaya tanggal: 29-12-2008 Nomor: 477/kuasa/XI/2008<br />PENGADILAN AGAMA SURABYA<br />PANITERA<br /><br /><br /><br />Drs. Djuhrianto Aripin, S.H<br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-31287709848549985512010-04-29T07:32:00.000-07:002010-04-29T07:34:05.098-07:00SIMULASI KASUS GUGATAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-size:180%;">SIMULASI KASUS GUGATAN PERCERAIAN<br />DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA<br /></span></a></div><br /><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah<br />“Hukum Acara Perdata”<br /></a></div><br /><br /><br />Kronologis Kasus:<br /><br /><span style="color: rgb(255, 204, 0);">Pada tanggal 26 Desember 2008, Oky Parawangsa, istri dari Pasha Karwo, melalui kuasa hukumnya menggugat sang suami ke Pengadilan Agama Surabaya. Abdul Latif & Rekan mendapat keabsahan sebagai Kuasa Hukum dengan Surat Kuasa yang ditandatangani Oky Parawangsa dan telah didaftarkan ke Kepanitraan Pengadilan Agama Surabaya pada tanggal 7 Desember 2008 nomor: 456/kuasa/XI/2008. Oky Parawangsa mengugat cerai kepada suaminya dan melimpahan hak asuh anak kepadanya. Adapun alasan gugatannya, bahwa mereka sudah tidak harmonis dan sering terjadi percekcokan. Disamping itu, Pasha suka mabuk, judi dan sudah 2 tahun tidak member nafkah lahir batin.</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 204, 0);">Di lain pihak, Pasha karwo, yang sejak tanggal 27 Desember 2008 beralih tempat tinggal di Jl. Buruh Tani No. 55 Gersik, mendapatkan surat gugat cerai dari Pengadian Agama Surabaya pada tanggal 28 Desember 2008. Pasha, melalui kuasa hukumnya Lutfiati Syahida dan Rekan, pada 2 Januari 2009 memberikan jawaban gugatan serta gugatan balik. Jawaban gugatan meliputi eksepsi karena perkara bukan kewewenangan Pengadilan Agama Surabaya seharusnya Pangadilan Agama Gersik; Pokok Perkara bahwa Pasha menyangkal dalih Oky kecuali yang diakui; dan Rekonpensi bahwa hak asuh diberikan kepada Pasha dan menghukum Oky membayar seluruh biaya perkara.</span><br /><br /><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-18277855042668276232010-04-29T07:30:00.000-07:002010-04-29T07:32:08.183-07:00HUKUM PIDANA ISLAM<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 102, 0);font-size:180%;" >PIDANA ISLAM</span></a><br /><br />Bab I<br />Pendahuluan<br /></div>A. Latar Belakang Masalah<br />Islam adalah agama samawi dengan sistem hidup yang selaras dengan perintah Allah SWT dan wahyuNya <a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">Al Qur’an</a>. Setiap muslim diwajibkan untuk menempuh pola kehidupan yang integral Islamis, sinkron dengan ketentuan Qur’an dan Sunnah. Seorang muslim harus mengetahui permasalahan hukum Islam secara menyeluruh. Nilai-nilai filosofis Hukum Pidana Islam tercermin dari aturan-aturan umum (Asas-asas hukum pidana Islam sendiri). Asas legalitas dipertimbangkan untuk menghindari kesalahan dalam proses pemidanaan karena banyak anggapan dari non Islam bahwa Hukum Pidana Islam itu keras dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan.<br />Penetapan sanksi didasarkan pada parameter al-akhlak al-karimah yang dijunjung tinggi oleh Islam. Hukum pidana Islam harus ditegakan oleh orang Islam, karena tanpa Hukum Pidana Islam angka kejahatan didunia sekarang semakin tinggi. Orang Islam harus menyelamatkan orang lain yang telah melakukan kekeliruan yang menganggap hukum ciptaan manusia kini cukup hebat dan praktis.<br />Beberapa alasan dimuka cukup kiranya bagi kami untuk menyusun makalah dengan mengangkat sebuah judul ”Hukum Pidana Islam” yang berisi pengertiannya, unsur-unsurnya dan pembagiannya.<br />B. Rumusan Masalah<br />1. Apa yang dimaksud Hukum Pidana Islam?<br />2. Apa saja Unsur-unsur Hukum Pidana Islam?<br />3. Bagaimana Pembagian Hukum Pidana Islam?<br />C. Tujuan Penulisan<br />1. Mendefinisikan Hukum Pidana Islam<br />2. Mendeskripsikan Unsur-unsur dan bagian-bagian Hukum Pidana Islam<br /><br /><div style="text-align: center;">Bab II<br /></div><div style="text-align: center;">Pembahasan<br /></div>A. Pengertian Jinayah dan Jarimah<br />Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqih Islam dengan istilah jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan verbal (masdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah. Sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Dalam hukum positif kata jinayah lebih pupuler dengan istilah delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, diantaranya sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Qodir al Awdah:<br />اÇáÌäÇíÉ åì ÝÚá ãÍÑã ÔÑÚÇ ÓæÇÁ æÞÚ Úáì äÝÓ Çæ ãÇá Çæ ÛíÑ Ðáß<br />Artinya: perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbutan itu mengenai jiwa, harta benda atau lainnya.<br />Pengertian jinayah juga sering digunakan dengan istilah jarimah. Jarimah menurut bahasa adalah masdar dari kata jarama yang memiliiki arti berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. Sedangkan menurut terminologi, al mawardi mengartikannya sebagai berikut:<br />محظوراة شرعية زجر الله تعالى عنها بحد او تعزير<br />Artinya: larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.<br />B. Objek Pembahasan Hukum Pidana Islam<br />Dari beberapa pemaparan diatas kita bisa mengetahui bahwa objek pembahasan hukum pidana Islam secara garis besar adalah hukum-hukum syara’ yang menyangkut dengan masalah tindak pidana dan hukumannya.<br />C. Unsur-Unsur Tindak Pidana<br />Secara singkat dapat dijelaskan bahwa suatu perbuatan dapat dianggap delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua): pertama, rukun umum artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.<br />Adapun yang termsuk unsur-unsur umum jarimah adalah:<br />a. Unsur Formil (Adanya undang-undang atau nash). Setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nash atau undang-undang yang mengaturnya. Dalam hukum posrtif masalah ini dikenal dengan istilah asas legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkannya. Dalam syari’at Islam lebih dikenal dengan istilah rukn as-syar’i.<br />b. Unsur materil (sifat melawan hukum) artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah , baik dengan sikap perbuatan maupun sikap tidak berbuat. Dalam hukum pidana Islam unsur ini dikenal dengan ar-rukn al madi.<br />c. Unsur Moril (pelakunya mukallaf) artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syari’at Islam disebut ar-rukn al adabi. Haliman dalam desertasinya menambahkan bahwa orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan disesalkan, artinya bukan orang gila, bukan anak-anak, dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan diri.<br />D. Macam-Macam Jarimah<br />Diantara pembagian yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumnya, jarimah ini terbagi kedalam tiga bagian<br />1. Jarimah Hudud<br />2. Jarimah Qishash dan Diat<br />3. Jarimah Ta’zir<br />A. Jarimah Hudud<br />Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, antara lain:<br />1. Jarimah Zina<br />2. Jarimah Qadzaf<br />3. Jarimah Syurbul Khamr<br />4. Jarimah Pencurian<br />5. Jarimah Hirabah<br />6. Jarimah Riddah<br />7. Jarimah Al Bagyu (Pemberontakan)<br />B. Jarimah Qishash dan Diat<br />Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash dan diat. Jarimah qishash dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan, namun jika diperluas ada lima macam, yaitu:<br />1. Pembunuhan Sengaja (القتل العمد)<br />2. Pembunuhan Menyerupai Sengaja (القتل شبه العمد)<br />3. Pembunuhan Karena Kesalaha ( القتل الخطاء )<br />4. Penganiayaan Sengaja ( الجرح العمد )<br />5. Penganiayaan tidak Sengaja ( الجرح الخطاء )<br />C. Jarimah Ta’zir<br />Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Ta’zir diartikan ar Rad wa al Man’u, artinya menolak dan mencegah. Jarimah ditinjau dari segi waktu dibagi menjadi dua bagian:<br />a. Jarimah sengaja<br />b. Jarimah tidak sengaja<br />Jarimah ditinjau dari segi waktu tertangkapnya dibagi menjadi dua bagian:<br />a. Jarimah tertangkap basah ( جرائم المتلبس بها )<br />b. Jarimah yang tidak tertangkap basah ( جرائم لا تلبس فيها )<br />Ditinjau dari segi melakukannya, jarimah dibagi menjadi dua bagian:<br />a. Jarimah positif (Jarimah yang terjadi karena melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pencurian, zina dan pemukulan).<br />b. Jarimah negatif ( Jarimah yang terjadi karena meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, seperti tidak mau melaksanakan shalat).<br />Dari segi objeknya, jarimah ada dua macam:<br />a. Jarimah perseorangan ( جرائم ضد الافراد )<br />b. Jarimah Masyarakat ( جرائم ضد الجماعة )<br />Jarimah ditinjau dari segi tabi’atnya ada dua bagian:<br />1. Jarimah biasa ( جرائم عادية )<br />2. Jarimah politik ( جرائم سياسية )<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB III<br /></div><div style="text-align: center;">Penutup<br /></div>A. Simpulan<br />Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis kemukakan diawal, dapat kita simpulan bahwa:<br />1. Pengertian jinayah adalah sama sengan jamah yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman qishash, had atau ta’zir.<br />2. Unsur-unsurnya terdiri dari unsur formil, materil dan unsur moril.<br />3. Aspek pembagian jinayah/jarimah:<br />a. ditinjau dari hukumnya (hudud, qishas, diat dan ta’zir)<br />b. ditinjau dari niat (sengaja dan tidak sengaja)<br />c. ditinjau dari waktu tertangkapnya (tertangkap basah atau tidak)<br />d. ditinjau dari segi melakukannya (positif dan negatif)<br />e. ditinjau dari segi objek (perseorangan dan masyarakat)<br />f. ditinjau dari segi tabiat (biasa dan politik)<br />B. Saran<br />Sebagaimana pembahasan diatas, penulis rekomendasikan kepada semua pembaca teurtama mahasiswa fakultas syari’ah sebagai berikut:<br />1.<br />Dari pembahasan diatas, pembaca mahasiswa hukum pidana islam tidak menakutkan balikan sangat teratur tentang administrasinya. Dari itu mahasiswa mudah-mudahan sapat lebih mendalami hukum pidana islam ini dan merubah tentang tanggapan-tanggapan orang-orang luar sana yang beranggapan jelek ter hadap hukum pidana islam<br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-31248152101956358592010-04-29T07:28:00.001-07:002010-04-29T07:30:11.727-07:00SAKSI DALAM PERNIKAHAN<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-size:180%;"><span style="font-weight: bold;">SAKSI DALAM PERNIKAHAN</span></span></a><br /><br /><br />BAB I<br /></div><div style="text-align: center;">PENDAHULUAN<br /></div>A. Latar Belakang Masalah<br />Persaksian merupakan salah satu alat pembuktian yang sah dan diakui pengadilan Islam. Kehadiran saksi ditengah perselisihan diharapkan dapat memecahkan masalahnya, sehingga hakim dapat mengeluarkan suatu keputusan hukum yang benar dan tidak memihak kepada salah satu pihak.<br />Dalam persaksian Islam perlu diperhatikan syarat-syarat sahnya seorang saksi. Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menyatakan syarat saksi yaitu, Islam, balig, berakal, adil, merdeka dan tidak ada persangkaan. Dengan adanya kriteria saksi tersebut seorang hakim harus benar-benar memperhatikan/menyeleksi saksi, sehingga persaksian saksi dapat diterima. Dalam hadits ada beberapa orang atau kriteria dari seseorang yang ditolak menjadi seorang saksi. Oleh karena itu, dalam penulisan ini akan mencoba untuk memaparkan hal tersebut.<br /><br />B. Rumusan Masalah<br />Untuk mempermudah pembahasan makalah ini, penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:<br />1. Siapa yang dapat menjadi seorang saksi?<br />2. Siapa yang ditolak kesaksiaanya?<br /><br />C. Tujuan Penulisan<br />Sebagaimana rumusan masalah di atas, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui:<br />1. Orang yang dapat menjadi seorang saksi<br />2. Orang yang ditolak kesaksiaanya<br /><div style="text-align: center;">BAB II<br /></div><div style="text-align: center;">PEMBAHASAN<br /></div>A. Teks Hadits<br />حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَاشِدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ<br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَدَّ شَهَادَةَ الْخَائِنِ وَالْخَائِنَةِ وَذِي الْغِمْرِ عَلَى أَخِيهِ وَرَدَّ شَهَادَةَ الْقَانِعِ لِأَهْلِ الْبَيْتِ وَأَجَازَهَا لِغَيْرِهِمْ (رواه ابوداود)<br />Artinya:<br />“telah diceritakan kepada kami hafshah bin umar, telah diceritakn kepada kami muhammad in rasyid, telah diceritakan kepada kami sulaiman bin musa, dari umar bin syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya rasulullah saw menolak kesaksian laki-laki dan perempuan yang berhianat, dan yang mempunyai permusuhan atas saudaranya, rasul juga menolak kesaksian pekerja untuk majikan dan membolehkannya untuk yang lain ” (H.R. Abu Daud; 3125)<br /><br />B. Mufradat<br />رَدَّ = ditolak<br />الْخَائِنِ = penghianat<br />الْغِمْر = musuh<br />الْقَانِعِ = pekerja, pengikut<br /><br />C. Makna ijmali<br />Sebagaimana hadits di atas bisa dipahami bahwasannya dalam persaksian seorang saksi bisa saja ditolak kesaksiannya. Diantara saksi yang tertolak kesaksiannya adalah sesorang yang menjadi penghianat, kesaksian dari orang yang saling bermusuhan, kesaksian dari seorang pekerja terhadap majikannya, tetapi kesaksian seorang pekerja tersebut bisa diterima untuk selain majikannya.<br /><br /><br /><br />D. Makna tafsili<br />( رَدَّ شَهَادَةَ الْخَائِن وَالْخَائِنَة ) = abu ubaid menjelaskan dalam kitab ‘aunul al-ma’bud, bahwasanya penghianat ini tidak secara khusus, melainkan secara umum baik khianat terhadap hak allah swt maupun khianat hak manusia. Penghianatan terhadap hak allah ini tercermin sebagai seorang yang fasik. Diantara katagori orang fasik, orang yang melakukan dosa besar atau orang yang sering melakukan dosa kecil. Para ulama sepakat bahwasannya persaksian orang fasik tidak dapat diterima, hal ini didasarkan atas ayat Al qur’an yang artinya “hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik dengan membawa sebuah berita, maka periksalah kebenarannya…”<br /> Diantara orang yang fasik yang ditolak kesaksiannya, adalah orang yang melakukan zina. Hal ini di dasarkan pada sebuah hadist yang berbunyi:<br />حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى بِإِسْنَادِهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ خَائِنٍ وَلَا خَائِنَةٍ وَلَا زَانٍ وَلَا زَانِيَةٍ وَلَا ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيهِ (رواه ابوداود)<br />Para ulama berpendapat, bahwasannya orang fasik kesaksiannya bisa diterima apabila ia telah bertaubat, kecuali apabila kefasikannya itu timbul akibat dari qodzaf (menuduh zina). Maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang tersebut bisa diterima persaksiannya bila dia bertaubat. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah, beliau mengatakan bhwasannya orang fasik tersebut tidak dapat diterima persaksiannya walaupun dia bertaubat.<br />(وَذِي الْغِمْرِ عَلَى أَخِيهِ) dari golongan orang-orang yang tidak diterima persaksiannya adalah mereka yang suka menebar permusuhan dengan sesamanya. Karena dikhawatirkan persaksian orang tersebut akan bersifat tidak objektif dan berpotensi merugikan bagi orang yang dimusuhinya. Para ulama berbeda pendapat tentang persaksian orang yang bermusuhan, imam maliki dan syafi’i mereka ditolak peersaksiannya, walaupun mereka itu adil. Sedangkan abu hanifah menerima kesaksian orang yang bermusuhan.<br />( وَرَدَّ شَهَادَة الْقَانِع لِأَهْلِ الْبَيْت ) al-mudhir berependapat bahwa yang dimaksud al-qani adalah orang yang mendapatkan kehidupannya hanya dari majikannya saja, maka persaksianya terhadap majikan tidak bisa diterima karena dikhawatirkan persaksiannya akan berat sebelah kepada majikannya akibat dari ketergantungannya untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian, al-mudhir berpendapat persaksian orang tua kepada anaknya atau pun sebaliknya itu tidak bisa diterima. Namun terjadi perbedaan persaksian antara suami-istri, imam abu hanifah dan ahmad menolaknya sedangkan imam yang lainnya membolehkannya, begitu juga persaksian antara saudara terhadap saudaranya para ulam berbeda pendapat. Jumhur ulama menerima persaksiannya, berbeda dengan imam malik yang berpendapat menolak persaksian antara saudara.<br />Persaksian merupakan salah satu alat pembuktian yang sah dan diakui pengadilan Islam. Kehadiran saksi ditengah perselisihan diharapkan dapat memecahkan masalahnya, sehingga hakim dapat mengeluarkan suatu keputusan hukum yang benar dan tidak memihak kepada salah satu pihak.<br />Dalam persaksian Islam perlu diperhatikan syarat-syarat sahnya seorang saksi. Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menyatakan syarat saksi yaitu, Islam, balig, berakal, adil, merdeka dan tidak ada persangkaan. Dengan adanya kriteria saksi tersebut seorang hakim harus benar-benar memperhatikan/menyeleksi saksi, sehingga persaksian saksi dapat diterima.<br />E. Kandungan Hadist<br />Dari hadist di atas, kita dapat mengetahui bahwasannya orang-orang atau golongan yang ditolak persaksiannya adalah:<br />Seorang yang suka berkhianat<br />Orang yang suka menebar permusuhan dengan sesamanya<br />Kesaksian pekerja untuk majikannya<br />F. Tarjamah Ruwah<br />الاسم : حفص بن عمر ، أبو عمر الضرير الأكبر البصرى<br />الطبقة : 10 : كبارالآخذين عن تبع الأتباع<br />الوفاة : 220 هـ بـ البصرة<br />روى له : د ( أبو داود )<br />رتبته عند ابن حجر : صدوق عالم<br />رتبته عند الذهبي : قال أبو حاتم : صدوق ، يحفظ عامة حديثه ، و قال ابن حبان : عالم بالفرائض ، و الشعر ، و أيام الناس ، و الفقه<br /><br />الاسم : محمد بن راشد الخزاعى ، أبو عبد الله و يقال أبو يحيى ، الشامى الدمشقى ، و يعرف بالمكحولى ( سكن البصرة )<br />الطبقة : 7 : من كبار أتباع التابعين<br />الوفاة : بعد 160 هـ<br />روى له : د ت س ق ( أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )<br />رتبته عند ابن حجر : صدوق يهم ، و رمى بالقدر<br />رتبته عند الذهبي : وثقه أحمد و جماعة ، و قال دحيم : يذكر بالقدر ، و عن أبى مسهر : كان يرى رأى الخوارج<br /><br />الاسم : سليمان بن موسى القرشى الأموى مولاهم ، أبو أيوب ، و يقال أبو الربيع ، و يقال أبو هشام ، الدمشقى الأشدق<br />الطبقة : 5 : من صغار التابعين<br />روى له : م د ت س ق ( مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )<br />رتبته عند ابن حجر : صدوق فقيه فى حديثه بعض لين ، و خولط قبل موته بقليل<br />رتبته عند الذهبي : أحد الأئمة ، قال النسائى : ليس بالقوى ، و قال البخارى : عنده مناكير<br /><br />الاسم : عمرو بن شعيب بن محمد بن عبد الله بن عمرو بن العاص القرشى السهمى ، أبو إبراهيم و يقال أبو عبد الله ، المدنى<br />الطبقة : 5 : من صغار التابعين<br />الوفاة : 118 هـ بـ الطائف<br />روى له : ر د ت س ق ( البخاري في جزء القراءة خلف الإمام - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )<br />رتبته عند ابن حجر : صدوق<br />رتبته عند الذهبي : قال البخارى : رأيت أحمد و عليا و إسحاق و أبا عبيد و عامة أصحابنا يحتجون به ، و قال أبو داود : ليس بحجة<br /><br />الاسم : أبيه ( والد خالد بن اللجلاج السلمى ، و جد محمد بن خالد )<br />الطبقة : 1 : له صحبة<br />روى له : د ( أبو داود )<br />رتبته عند ابن حجر : لم يسم ( صوب الحافظ أن اسمه اللجلاج ، و كانت له صحبة )<br />رتبته عند الذهبي : . . . .<br /><br />الاسم : جده ( جد إبراهيم بن أبى أسيد البراد )<br />الطبقة : 3 : من الوسطى من التابعين<br />روى له : بخ د ( البخاري في الأدب المفرد - أبو داود )<br />رتبته عند ابن حجر : لا يعرف<br />رتبته عند الذهبي : لم يذكرها ( قال : لعله سالم البراد < رقم 2186 و هو ثقة عنده > )<br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br />A. Simpulan<br />Setelah mengkaji hadist di atas dari berbagai segi, baik secara makna ijmali maupun tafsili, kita akan menemukan sedikitnya ada tiga golongan yang mana kesaksiannya tidak dapat diterima dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Yang pertama, adalah orang yang suka berkhianat, kemudian orang yang suka menebar permusuhan dengan orang lain, dan yang terakhir adalah kesaksian orang yang hidupnya tergantung kepada orang lain ( yang bersalah / terdakwa).<br />Sangat rasional jika ketiga golongan tersebut, kesaksiannya tidak dapat diterima dan tidak pula dapat dijadikan sebagai hujjah, karena dikhawatirkan kesaksian ketiga golongan tersebut tidaklah objektif dan akan sangat berpotensi merugikan orang lain yang seharusnya tidak bersalah.<br />B. Saran<br />Dari penjelasan di atas, penulis menyarankan kepada para pembaca untuk lebih banyak membaca literatur lain yang berkaitan dengan hadist di atas, guna mendapatkan pengetahuan yang lebih komperhensif dan menambah khazanah pengetahuan.<br /><br /><br /><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">DAFTAR PUSTAKA<br />Abu Ubaid, ‘aunul al-ma’bud, dalam Maktabatu Asy-Syamilah<br />Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid juz 2<br />Abu Daud, dalam maktabah syamilah</a><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><br /></a>Muhammad Syato Addimyati. Ianah Thalibin juz 4<br /><br /><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-28462216237666933222010-04-29T07:26:00.000-07:002010-04-29T07:27:51.708-07:00Hadits Hukum Keluarga<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);"><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/"><span style="font-size:180%;">Hadits Hukum Keluarga<br /></span></a></div>Dosen : Drs. Masruhan, M.Ag<br />Pertemuan I<br />Materi Mata Kuliah<br />1. pembunuhan penyegah waris<br />2. muslim dan kafir tidak saling mewarisi<br />3. perbedaan agama tidak saling mewarisi<br />4. harta wakaf tidak boleh dijual<br />5. batas maksimal wasiat<br />6. larangan wasiat kepada ahli waris<br />7. larangan menarik hibbah<br />8. tentang tiga golongan hakim<br />9. ijtihad hakim<br />10. tata cara mengadili perkara<br />11. gugatan dan pembuktian<br />12. orang yang ditolak kesaksiannya<br />13. larangan hakim menerima suap<br />Tujuan: mahasiswa memahami hadits waris, wakaf dan pengadilan<br />Objektif: mahasiswa dapat menjelaskan<br /><a href="http://artikelsifaks.blogspot.com/">Hadits</a> kebayakan bersifat kontekstual karena sebagai penerapan nilai-nilai dalam al-qur’an. Jadi kebenaranya pun kontekstual sehingga kadang beragam/varian. Tapi ada juga yang bersifat tekstual jadi kebenaranyanya juga universal.<br />Kontekstual..............kontekstual<br />Tekstual.....................Universal<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-67645181693015190492010-04-28T13:38:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.380-07:00PERIKATAN PERDATA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(102, 0, 0);"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/"><span style="font-size:180%;">PRINSIP-PRINSIP SYAR’I< TENTANG PERIKATAN<br />DALAM KUH PERDATA INDONESIA<br />DAN UNDANG-UNDANG PERDATA MAROKO<br /></span></a></div><br />Abstrak: Tulisan ini mencoba membedah undang-undang tentang keperdataan yang secara positip berlaku di dua negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas muslim, yakni Indonesia dan Maroko. Hanya saja undang-undang keperdataan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan dari pemerintah Belanda yang tentu saja merepresentasikan wajah hukum Barat, sedangkan undang-undang keperdataan yang berlaku di Maroko merupakan hasil kodifikasi hukum Islam. Pembedahan dilakukan secara terbatas hanya terhadap ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat sahnya perikatan dalam kerangka melacak eksisnya prinsip-prinsip syar’i> di dalamnya. Hasilnya, KUH Perdata Indonesia dan UU Maroko mencantumkan aspek-aspek yang sama mengenai syarat sahnya perikatan meskipun dengan penempatan urutan yang berbeda, yakni: aspek kesepakatan, aspek kecakapan para pihak untuk membuat perikatan, aspek obyek perikatan yang nyata, dan aspek kausa perikatan yang dibolehkan. Setelah dielaborasi, aspek-aspek yang disebut sebagai syarat-syarat sahnya perikatan tersebut memang dapat ditemukan padanannya dalam syariat Islam, dan dengan demikian tulisan ini menyimpulkan bahwa sepanjang berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, prinsip-prinsip syar’i> ditemukan eksis di dalam kedua undang-undang itu.<br />Kata Kunci: Prinsip Syar’i>, Perikatan, Perdata.<br /><br />Pendahuluan<br />Syariat Islam, seperti yang diyakini kaum Muslimin, adalah syariat paripurna yang mengatur bukan saja hubungan vertikal manusia dengan Allah SWT, melainkan juga hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Hanya pada tataran praksis keparipurnaan hukum Islam itu tidak dibarengi dengan upaya-upaya kongkrit agar hukum Islam, khususnya yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (baca: mu’a>malah) lebih aplikatif.<br />Dalam wacana para fuqaha’ tentang mu’a>malah telah dibahas hal-hal yang berkaitan dengan teori-teori keperdataan, antara lain tentang akad, hak, milik, dan teori-teori lain yang masuk ke dalam bidang perikatan dan perjanjian. Meskipun fiqh mu’a>malah itu selalu berkonotasi ma>liyah, tetapi di berbagai kitab fiqh mu’a>malah teori-teori keperdataan tersebut di atas telah dibahas walaupun masih parsial, sedikit dalam bab muna>kahat dan sedikit pula dalam bab-bab yang lain. Akibat pendekatan para fuqaha’ yang besifat atomistik ini kita sulit menemukan teori hukum Islam tentang perikatan dan perjanjian yang lengkap dimuat dalam satu kitab. Implikasinya, perkembangan hukum Islam menjadi stagnan, meskipun memiliki sumber norma yang kaya sebagaimana terlihat dari kompleksnya persoalan kehidupan yang diatur di dalamnya,. <br />Dari sudut kodifikasi, perkembangan hukum perdata Islam ―bila dibandingkan dengan hukum perdata Barat― dapat dikatakan ketinggalan. Salah satu alasannya barangkali karena hukum Islam belum menjadi hukum positif di sebagian besar negara Muslim. Padahal banyak prinsip dalam hukum perdata Barat yang telah dikodifikasi secara sistematis itu dapat kita temukan padanannya di dalam kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh para fuqaha’ jauh sebelumnya.<br />Upaya kodifikasi hukum keperdataan Islam dalam bentuk undang-undang baru dilakukan untuk pertama kalinya oleh pemerintah Turki Usmani pada abad ke-19 setelah mereka mengalami berbagai kendala dalam melakukan transaksi keperdataan dengan negara-negara tetangganya. Melalui program Tanzi>ma>t, yang berlangsung dari tahun 1839-1880, pembaharuan di bidang hukum perdata Islam mulai dilakukan. Hasilnya adalah lahirnya sebuah kitab undang-undang hukum perdata Islam yang diberi nama Majallat al-Ah}ka>m al-‘Adliyyah.<br />Dalam perkembangan selanjutnya, upaya-upaya kodifikasi hukum ini diikuti juga oleh negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Suriah, Irak, Maroko, dan Sudan. Di Indonesia, kodifikasi hukum perdata Islam baru menjangkau bidang-bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Di bidang perikatan dan perjanjian, kodifikasi yang ada adalah KUH Perdata warisan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tulisan ini disandingkan dengan undang-undang perdata Islam Maroko dalam kerangka melacak prinsip-prinsip syar’i> tentang perikatan dan perjanjian di dalamnya.<br />Prinsip Syar’i> dalam KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko <br />Kata “perikatan” dan “perjanjian” dalam tulisan ini digunakan dalam makna yang sama dengan kata ‘aqd dalam bahasa Arab. Mengingat luasnya cakupan hukum perikatan dan perjanjian, tulisan ini membatasi diri hanya pada aspek syarat-syarat perikatan dan perjanjian saja.<br />Dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia dinyatakan bahwa untuk sahnya perikatan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:<br />1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat perjanjian (toestemming);<br />2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid);<br />3. Mengenai suatu hal atau obyek tertentu (bepaalde onderwerp);<br />4. Adanya sebab (kausa) yang dibenarkan (georloofde oorzak). <br />Di dalam pasal 2 Undang-Undang Perdata Maroko juga dinyatakan 4 syarat yang diperlukan untuk sahnya perikatan, yaitu:<br />1. Al-Ahliyyah li al-Iltiza>m (Kecakapan untuk membuat perikatan);<br />2. Ta’bi>r s}ah}i>h ‘an al-ira>dat yaqa’u ‘ala> al-ana>s}ir al-asa>siyya>t li al-iltiza>m (Pernyataan yang jelas/tegas tentang kehendak atas hal-hal pokok dalam perikatan);<br />3. Syai’ muh}aqqaq yas}luh}u li an yaku>na mah}allan li al-iltiza>m (Adanya sesuatu yang kongkrit yang bisa dijadikan obyek dalam perikatan);<br />4. Sabab masyru>’ li al-iltiza>m (Sebab/kausa yang disyariatkan untuk perikatan). <br />Jelas terlihat pada paparan di atas bahwa syarat-syarat sahnya perikatan dalam KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko dapat dikatakan tidak berbeda kecuali dalam susunan atau urutannya saja. Untuk mengetahui prinsip-prinsip syar’i> di dalamnya, syarat-syarat sahnya perikatan dalam kedua undang-undang tersebut akan dianalisis dalam uraian berikut ini.<br />1. Kesepakatan<br />Meski berbeda urutannya, KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko sama-sama mencantumkan “kesepakatan” sebagai syarat sahnya perikatan atau akad. Keberadaan syarat ini logis, karena perikatan melibatkan dua pihak yang sama-sama mempunyai kehendak.<br />Kehendak adalah proses batin yang hanya diketahui oleh masing-masing pihak. Untuk melahirkan kesepakatan, kehendak itu harus dinyatakan. Ketika pernyataan kehendak itu bertemali, dalam arti masing-masing menyatakan kerelaannya untuk menerima kehendak pihak lain, maka lahirlah kesepakatan.<br />Menurut J. Satrio, pernyataan kehendak dapat dilakukan secara tegas dan dapat pula dilakukan secara diam-diam. Pernyataan kehendak secara tegas bisa dilakukan secara tertulis, lisan, atau dengan tanda. <br />Jika terjadi perbedaan antara kehendak batin dengan pernyataannya, maka −menurut Teori Kehendak (Wils Theorie)− yang dipegangi adalah kehendak batin, yakni kehendak yang sesungguhnya seperti yang terbetik di dalam hati pihak yang bersangkutan. Tetapi menurut Teori Kepercayaan (Vertrouwens Theorie), yang dipegangi adalah pernyataan eksternal pihak bersangkutan karena kehendak batin hanya bisa diketahui melalui manifestasi eksternal yang dinyatakannya. <br />Menurut hukum Islam, yang dipegangi adalah kehendak nyata sebagaimana terungkap dalam wujud eksternalnya, bukan kehendak batin yang tersembunyi dalam hati. Kehendak batin tidak dapat berkedudukan sama dengan perbuatan hukum kongkrit, dan perikatan tidak lahir dari sekedar bertemunya niat dari para pihak. Kaidah yang populer di kalangan fuqaha’ menyatakan: “Tiada dinisbatkan suatu pernyataan kepada orang yang berdiam diri saja” (La> yunsabu ila> sa>kitin qawlun). Karena itu, “berjanji akan menjual belum merupakan akad penjualan dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya” (Al-wa’du bi al-bai’ la> yan’aqidu bihi> al-bai’ wala> yalzimu s}a>h}ibahu> qad}a>an). Dalam konteks ini pasal 2 UU Perdata Maroko dengan jelas mepersyaratkan adanya “pernyataan yang tegas tentang kehendak para pihak atas hal-hal pokok dalam pernjanjian.” <br />Pernyataan yang tegas bisa dilakukan dengan lisan, tulisan, atau isyarat yang dapat dimengerti oleh para pihak. Bila dilakukan dengan lisan, maka menurut hukum Islam ada 2 syarat yang harus dipenuhi. Pertama, “jelas”, dalam arti bahwa kata-kata yang digunakan menunjuk secara jelas pada akad yang dimaksud dan akibat hukum yang dikehendaki. Kedua, “tegas”, dalam arti bahwa pernyataan kehendak itu tidak diembeli dengan hal-hal yang menunjukkan ketidaksanggupan untuk melahirkan akad.<br />Pernyataan kehendak untuk menyatakan kehendak melahirkan perikatan itu di dalam hukum Islam disebut si>g}}at al-‘aqd atau i>ja>b dan qabu>l. I<ja>b −dalam mazhab Sya>fi’i> dan H{ana>bilah− selalu merupakan pernyataan kehendak dari pihak pertama atau pihak yang memindahkan milik, meskipun munculnya belakangan, dan qabu>l selalu merupakan pernyataan kehendak dari pihak kedua atau pihak yang menerima pemindahan milik, meskipun munculnya lebih dahulu. Sedangkan dalam mazhab H{anafi>, i>ja>b adalah pernyataan kehendak yang muncul lebih dahulu, baik dari pihak pertama maupun pihak kedua. <br />Pernyataan kehendak melalui tulisan, menurut Sayid Sa>biq, dapat dibenarkan kalau kedua pihak berjauhan tempat atau bisu. Jika kedua pihak berada dalam satu majelis dan tak ada halangan berbicara, maka akad tidak bisa dilakukan dengan tulisan. Seperti ini juga pendapat yang rajih dalam mazhab Sya>fi'i>. Mereka berpedoman pada kaidah: “Yang menjadi pegangan dalam perjanjian adalah maksud dan makna, bukan bunyi dan hurufnya” (al-’ibrah fi> al-‘uqu>d li al-maqa>s}id wa al-ma’a>ni> la> li al-alfa>z} wa al-maba>ni>).<br /> Menurut al-Dardi>ri>, akad dalam jual beli bisa dilakukan dengan ucapan, tulisan, bahkan isyarat. Bahkan akad secara ta’a>t}i> pun sah menurut semua mazhab, kecuali mazhab Sya>fi’i>. Akad ta’a>ti}> adalah akad di mana para pihak menyatakan kehendaknya dengan perbuatan saling memberi (barang dan harga) secara langsung, seperti jual beli di supermarket.<br />Pernyataan kehendak secara ta’a>t}i> (saling memberi) itu berbeda dengan pernyataan kehendak secara suku>ti (diam). Ta’a>t}i> itu aktif, sedangkan suku>ti pasif. Karena itu pernyataan kehendak secara suku>ti tidak sah untuk i>ja>b, tetapi sah untuk qabu>l karena qabu>l dapat difahami dari sikap diam. Kaidah hukum Islam menyatakan: “Kepada orang diam tak dapat dihubungkan suatu pernyataan, tetapi sikap diam pada saat dibutuhkan adalah keterangan” (La> yunsabu ila> sa>kitin qawlun la>kin al-suku>t fi> ma’rid} al-ha>jat baya>n). <br />Sikap diam dapat dianggap sebagai pernyataan qabu>l apabila: 1) sebelumnya sudah ada suatu hubungan transaksi ke mana i>ja>b dikaitkan; 2) i>ja>b berisi penawaran yang semata-mata menguntungkan orang kepada siapa i>ja>b diajukan, 3) pembeli diam terhadap klausul yang terdapat dalam daftar harga setelah ia menerima barang dan mengetahui klausul tersebut. <br />Jadi, menurut hukum Islam, pernyataan kehendak untuk melahirkan perikatan dapat dilakukan dengan cara apa saja yang maksudnya jelas menunjuk pada kehendak membuat perikatan. Dengan demikian, kandungan pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata Indonesia dan pasal 2 ayat (2) UU Perdata Maroko selaras dengan prinsip hukum Islam.<br />2. Kecakapan<br />KUH Perdata Indonesia mengatur masalah kecakapan ini dalam pasal-pasal 1329, 1330, dan 1331 sebagai berikut:<br />Pasal 1329: Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.<br />Pasal 1330: Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1) Orang-orang yang belum dewasa, 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, 3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.<br />Pasal 1331: Orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tidak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan-perempuan bersuami dengan siapa mereka telah membuat suatu persetujuan.<br />Sedangkan dalam UU Perdata Maroko, masalah kecakapan ini diatur dalam pasal-pasal 3, 4, 5, 6, dan 10 sebagai berikut:<br />Pasal 3: Kecakapan perdata seseorang tunduk pada UU Akhwa>l al-Syakhs}iyyah. Dan tiap-tiap orang dianggap cakap membuat perjanjian dan perikatan, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang Akhwa>l al-Syakhs}iyyah. <br />Pasal 4: Apabila anak di bawah umur dan anak yang kurang sempurna kecakapannya melakukan akad tanpa seizin ayah atau wa>si > nya atau pengampunya, maka keduanya tidak dibebani oleh perjanjian-perjanjian yang dibuatnya, dan keduanya dapat menuntut pembatalan perjanjian dimaksud sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang.<br /> Pasal 5: Bagi anak yang belum balig dan anak yang belum sempurna kecakapannya, boleh menarik keuntungan bagi mereka, meskipun tanpa bantuan (izin) dari ayah atau wa>s}i > atau pengampunya. Artinya, keduanya boleh menerima sesuatu pemberian atau kebajikan lainnya yang dapat membuat keduanya kaya, atau membebaskan mereka dari tanggungjawab atau beban apapun.<br />Pasal 6: Pembatalan perikatan itu boleh dari wa>si >atau dari anak yang belum cukup umur itu setelah ia dewasa, sekalipun anak di bawah umur itu, ketika melakukan akad, menggunakan tipu muslihat untuk meyakinkan pihak lain yang melakukan akad dengannya, bahwa dia sudah dewasa atau dengan cara seolah-olah wa>s}i >nya telah menyetujui atau dia berlagak seperti orang yang telah diizinkan berdagang.<br />Pasal 10: Pihak-pihak yang telah cakap untuk mengadakan perikatan tidak boleh beralasan atau menuduh pihak lain sebagai kurang cakap untuk mengadakan perikatan. <br />Yang dimaksud oleh ketentuan dalam pasal 3 UU Maroko tersebut di atas (“kecakapan perdata seseorang tunduk pada UU Akhwa>l al-Syakhs}iyyah”) ialah bahwa kriteria kecakapan untuk melakukan perikatan sama dengan kriteria kecakapan untuk melakukan perkawinan sebagaiman diatur dalam undang-undang Akhwa>l al-Syakhs}iyyah di negara itu.<br />Jika diasumsikan bahwa usia kecakapan perdata di Maroko itu sama dengan KUH Perdata Indonesia di bidang perkawinan, maka batas usia dimaksud adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. <br />Dalam hukum Islam, kecakapan itu dibedakan menjadi dua, yaitu kecakapan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah al-wuju>b) dan kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada>’). Dalam konteks pembicaraan ini yang dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada>’). Menurut Abu> Zahrah, ahliyyah al-ada>’ adalah kepatutan seseorang untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Dasar dari kepatutan itu ialah “berakal” dan karenanya kecakapan ini ada yang tidak sempurna dan ada yang sempurna. <br />Kesempurnaan “akal” adalah acuan kedewasaan. Menurut jumhur fuqaha>’, indikator kedewasaan itu bisa berupa tanda-tanda fisik (ih}tila>m/haid}) dan juga bisa berupa usia, yakni 15 tahun. Dasar penentuan usia 15 tahun adalah riwayat tentang penuturan Ibn ‘Umar bahwa “Rasulullah SAW memeriksanya saat perang ‘Uhud, ketika itu aku berusia 14 tahun, maka beliau tidak mengizinkan aku untuk ikut berperang. Kemudian ketika perang Khandaq, aku diperiksa oleh Rasul SAW. dan aku telah berusia 15 tahun, maka beliau memperkenankan aku.” (Muttafaq ‘alaih)<br />Fuqaha’ H{anafiyah menetapkan usia 18 tahun bagi pria dan 17 tahun bagi wanita. Dasar penetapan ini adalah tafsiran Ibn ‘Abba>s r.a. terhadap ayat h}atta> yabluga asyuddahu (al-An’a>m ayat 152), yaitu s\ama>niya ‘asyarata sanah. UU Mesir menetapkan 18 tahun sebagai batas kedewasaan atau kecakapan perdata seseorang. <br />Kendati dimungkinkan ada perbedaan dalam kriteria kongkritnya, tetapi penetapan kecakapan sebagai syarat sahnya perikatan, baik dalam KUH Perdata Indonesia maupun UU Perdata Maroko, adalah sejalan dengan prinsip syar’i>.<br />3. Kausa Halal<br />Pasal 1320 KUH Perdata Indonesia menyebut “sesuatu sebab yang halal” sebagai salah satu syarat sahnya perikatan.<br />Menurut Subekti, kata oorzaak atau causa secara etimologi berarti “sebab”, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan adalah “tujuan”, yakni apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jadi yang dimaksud dengan “sebab” adalah isi perjanjian, bukan sesuatu yang mendorong atau motif seseorang untuk membuat perjanjian. <br />Motif, kata Sri Soedewi, adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan kausa adalah tujuan dari suatu perjanjian. Dengan substansi yang sama, Domat dan Pothier mendefinisikan kausa sebagai alasan penggerak yang menjadi dasar kesediaan debitur untuk menerima keterikatannya guna memenuhi isi perikatan. J. Satrio, dengan mengutip Hamaker, mendefinisikan kausa perjanjian sebagai akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan bersama para pihak untuk menutup perjanjian. Al-Sanhu>ri> mendefinisikan kausa sebagai tujuan yang langsung dikehendaki para pihak untuk sampai pada apa yang ada di balik perikatan.<br />UU Perdata Maroko menyebut sebab atau kausa yang halal dengan sabab masyru>’ li al-iltiza>m, yakni sebab yang disyariatkan bagi perikatan (pasal 2 ayat 4). UU Perdata Maroko mengatur lebih lanjut kausa perikatan ini sebagai berikut:<br />Perikatan yang tidak memiliki kausa, atau didasarkan pada kausa yang tidak disyariatkan, dianggap tidak pernah ada (tidak sah). Dan kausa yang tidak disyariatkan itu adalah kausa yang bertentangan dengan kesusilaan (al-akhla>q al-h}ami>dah) atau ketertiban umum (al-niz}a>m al-‘a>m) atau undang-undang (al-qa>nu>n) (pasal 62). Setiap perikatan harus memiliki kausa yang realistik (hakiki) dan disyariatkan walaupun tidak disebut atau dinyatakan (pasal 63). Tiap-tiap kausa yang disebut adalah kausa yang hakiki, kecuali ada ketentuan lain (pasal 64). Bila ditetapkan bahwa kausa yang disebut itu tidak hakiki atau tidak disyariatkan, maka bagi pihak yang menuntut bahwa perikatan itu memiliki kausa lain yang disyariatkan, maka ia harus menunjukkan bukti-bukti (pasal 65).<br />Bertalian dengan pengertian bahwa kausa atau sabab tidak lain adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri, maka ―menurut hukum Islam― tujuan pokok perjanjian itu paling tidak memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu:<br />a. Memiliki karakter obyektif sesuai dengan jenis perjanjiannya dan bersifat tetap (tidak berubah). Kalau tujuan pokok jual beli adalah berpindahnya hak milik atas sesuatu benda dengan kompensasi sejumlah harga, maka ini tidak bisa diubah menjadi ―misalnya― dibayarkannya harga tanpa perpindahan hak milik;<br />b. Membatasi jenis transaksi. Tujuan pokok jual beli berbeda dengan tujuan pokok sewa-menyewa. Tujuan pokok sewa-menyewa adalah pemindahan milik atas manfaat sesuatu benda yang disewa dengan kompensasi sejumlah harga;<br />c. Sesuai dengan tujuan syariat, baik dalam perjanjian yang bertujuan ekonomis maupun sosial. Tujuan pokok perjanjian itu tak semata dari kedua belah pihak, melainkan juga dari syariat. Karenanya motivasi para pihak menjadi nomor dua. Perjanjian jual beli ―misalnya― merupakan substansi yang terpisah dari perasaan pihak-pihak dengan aneka motivasinya. <br />Tujuan pokok perjanjian berkait erat dengan halalnya obyek perjanjian. Jika obyeknya tidak halal, perjanjian itu batal demi hukum dan ―karena itu― tujuan pokoknya tidak dapat direalisasi. Khamr, daging babi atau bangkai adalah barang-barang yang diharamkan oleh syara’ untuk dijadikan obyek perjanjian. Jika barang-barang ini dijadikan obyek perjanjian, maka tujuan pokok perjanjian tidak bisa direalisasi karena perjanjiannya sendiri batal demi hukum. Dalam UU Maroko, prinsip-prinsip syar’i seperti ini dimuat dalam pasal 2 ayat (4), pasal 62, dan pasal 63.<br />Kausa perjanjian menurut hukum Islam ialah tujuan pokok yang dikehendaki oleh perjanjian untuk dilaksanakan, bukan isi yang dikehendaki oleh para pihak di balik perjanjiannya. Kausa perjanjian jual beli bukan terikatnya penjual untuk menyerahkan barangnya setelah pembeli menyerahkan uangnya, seperti yang selama ini difahami dari hukum Barat, melainkan pemindahan hak milik dengan imbalan berdasarkan hukum syariat.<br />Tujuan pokok perjanjian itu sendiri merupakan sumber kekuatan mengikatnya perjanjian yang memberi hak kepada penjual untuk menuntut pembeli menyerahkan uangnya, dan memberi hak kepada pembeli untuk menuntut penjual menyerahkan barang yang dijualnya.<br />Dalam konteks tujuan pokok perjanjian, hak menuntut ini menjadi asas bagi perlindungan syariat dan sumber kekuatan mengikatnya. Jika tujuan pokok tidak ada, maka seorang pembeli, misalnya, tidak bisa menuntut barang walaupun ia telah menyerahkan harganya. Disini kita bisa melihat bagaimana kausa perjanjian dalam hukum Islam diintrodusir dalam UU Maroko melalui Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 63. <br />Penutup<br />Dapat disarikan dari uraian di atas bahwa berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, KUH Perdata Indonesia dan UU Maroko sama menyebut aspek-aspek yang sama meskipun dengan urutan yang berbeda. Aspek-aspek tersebut adalah: kesepakatan, kecakapan para pihak untuk membuat perikatan, obyek perikatan yang nyata, dan kausa perikatan yang dibolehkan.<br />Aspek-aspek yang disebut sebagai syarat-syarat sahnya perikatan tersebut dapat ditemukan padanannya dalam syariat Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, kita mendapatkan prinsip-prinsip syar’i> eksis di dalam KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko. Walla>hu a’lam.<br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-33293746616494424062010-04-28T13:32:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.399-07:00PERIKATAN DALAM HUKUM PERDATA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(153, 0, 0);"><span style="font-size:130%;">KAIDAH-KAIDAH PERIKATAN<br /><br />MAKALAH<br />Diajukan untuk memenuhi tugas<br />Mata Kuliah<br />Filsafat Hukum Keluarga Islam<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Dosen Pembimbing:<br />Imam Mawardi<br /><br />Disusun oleh:<br /><br />SYIFAUL<br /><br />FAKULTAS SYARI’AH<br />JURUSAN AHWAL AS SYAKHSIYAH<br />INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL<br />SURABAYA<br />2009<br /></span></div><br />KATA PENGANTAR<br />Puji syukur senantiasa kita haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan semaksimal mungkin. Shalawat serta salam tak lupa kita sanjungkan kepada baginda Rasulullah SAW yang menjadi suri tauladan bagi kita dan senantiasa kita harapkan syafaatnya.<br />Perkembangan ekonomi dalam kehidupan saat ini, menyebabkan banyaknya bentuk yang berpariasi dalam pergulatan ekonomi. Semuanya sudah dipahami bahwasannya ekonomi sangat penting sekali dalam kelancaran kehidupan manusia saat ini. Allah SWT tidak terlalu begitu mengatur bagaimana perkekonomian berjalan, akan tetapi dengan al-qur’an dan hadits yang dirurunkannya memberikan gambaran bagamaimana kaidah-kaidah dasar yang mengharuskan perjalanan ekonomi. Terutama dalam hal ini terkait kaidah-kaidah perikatan dala, islam.<br />Ucapan terima kasih tak lupa kami sampikan kepada semua pihak yang turut serta membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca selalu kami harapkan agar dalam pembuatan makalah kami berikutnya dapat lebih mendekati kesempurnaan.<br />Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Amin.<br />Surabaya, Mei 2009<br /><br />Penulis<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /></div>A. Latar Belakang Masalah<br />Mengahadapi era globalisasi ini, perkembangan ekonomi islam mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini bisa dilihat baik dalam kajian akademis di perkuliahan seperti pembentukan prodi-prodi ekonomi islam, bahkan suatu institut khusus untuk kajian ekonomi islam. Dalam tataran praktis pun, sekarang bermunculan unit-unit usaha yang berbasis islami, dan dalam perbankan pun bermunculan bank-bank syar’i. Perkembangan ekonomi islam di Indonesia mulai mendapat momentum berarti sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, sebagaimana yang telah direvisi dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.<br />Semakin banyaknya ragam pola bisnis berbasis perekonomian syariah maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah menjadi penting diupayakan implementasinya. Bahkan bukan itu saja, tetapi harus mampu juga merespon perkembangan perekonomian dalam dunia maya atau akses internet. Islam, dalam hal ini syariah, memiliki khas sendiri dibanding dengan system perekonomian lainnya, seperti sitem kapitalis atau system sosialis. Perbedaan yang mendasar ini terletak pada dasar-dasar dalam akad atau perikatan terhadap pola ekonomi tersebut.<br />Dalam kitab-kitab fikih klasik, terbatas sekali pembahasan tentang kaidah-kaidah perikatan ini, dan juga banyak yang bersifat normatif saja, sehingga tidak mampu menanggapi permasalahan ekonomi kontemporer. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan lain supaya hukum islam terkait perikatan ini mampu diimplementasikan dalam kehidupan di era globalisasi ini. Pendekatan itu adalah dengan mengungkap secara filosofis apa yang menjadi dasar atau asas perikatan islam tersebut. Pendekatan ini pun, bukan berarti terlepas dari kaidah-kaidah yang sudah diutarakan para ulama, akan tetapi mencoba ditarik hal yang mendasar dari kaidah yang telah disusun para ulama.<br /><br />B. Rumusan masalah<br />Untuk mempermudah membahasan makalah ini, penulis mencoba untuk menyusun rumusan masalah sebagai berikut:<br />1. Apa pengertian kaidah perikatan dalam islam?<br />2. Bagaimana hukum perikatan dalam islam?<br />3. Bagaimana kaidah perikatan dalam islam?<br /><br />C. Tujuan penulisan<br />Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk memahami:<br />1. Pengertian kaidah perikatan dalam islam<br />2. Bagaimana hukum perikatan dalam islam<br />3. Kaidah perikatan dalam islam<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">BAB II<br />PEMBAHASAN<br /></div>A. Pengertian kaidah perikatan (Akad)<br />Kaidah secara etimologi bermakna “al-asas”, yaitu dasar, asas atau fondasi, yang diatasnya didirikan sebuah bangunan. Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, arti kaidah adalah al-asas, baik sebagai asas yang konkret (inderawi), maupun yang abstrak (ma’nawi). <br />Sedangkan untuk kata Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan. Dalam kamus munawir, menerjemahkan al-‘aqd sebagai perjanjian/kontra. Secara bahasa akad mempunyai beberapa arti, antara lain :<br />1. Mengikat (الر بط), yaitu: mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.<br />2. Sambungan (عقدة) yaitu: sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.<br />3. Janji (العهد) sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an: “ya, siap saja yang menepati janjinya dan takut kepada allah, sesungguhnya allah mengasihi orang-orang yang taqwa (QS. Ali Imran: 76)”<br />Perkataan ‘aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janjji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang lain mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain, disebut perikatan. Dari uraian ini, dapat dipahami bahwa setiap ‘aqdi mencakup tiga tahap, yaitu: 1) perjanjian, 2) persetujuan dua buah perjanjian atau lebih, 3) perikatan (‘aqdu).<br />Sedangkan menurut istilah yaitu bertemunya ijab yang diberikan oleh salah satu pihak dengan kabul yang diberikan oleh pihak lainnya secara sah menurut hukum syar’i dan menimbulkan akibat pada subyek dan obyeknya. Hasbi al-Shiddieqiyy dalam bukunya Pengantar Fiqh Mu’amalah, mendefnisikannya sebagai satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama.<br />Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwasanya kaidah atau asas perikatan (‘aqdu) adalah patokan umum yang dijadikan dasar untuk menetukan hukum bagi persoalan yang belum diketahui tentang suatu perikatan. Sedangkan perikatan sendiri adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya<br /><br />B. Hukum kontrak/perikatan syari’ah<br />Menurut Gamela Dewi, dkk dalam bukunya Hukum Perikatan Islam di Indonesia, mengistilahkan hukum kontrak syari’ah adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum dibidang mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam. Kaidah-kaidah hukum tersebut adalah yang bersumber dari al-qur’an dan al-hadits, maupun hasil penafsiran dari keduanya, serta kaidah-kaidah fikih. Selain itu, dapat juga diambil dari kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam Qanun yaitu peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan yurisprudensi, serta peraturan-peraturan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.<br />Dalam hukum positif, ada beberapa unsur yang harus ada dalam hukum kontrak, yaitu sebagai berikut:<br />1. Adanya kaidah hukum<br />2. Adanya subyek Hukum<br />3. Adanya prestasi<br />4. Adanya kata sepakat<br />5. Adanya akibat hukum<br />Kemudian berdasarkan dari suatu pengertian akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak hak dan kewajiban yang diwujudkan oleh akad. Untuk Rukun-rukun akad itu sendiri adalah:<br />1. ‘aqid, ialah orang yang berakad, baik seorang atau lebih (kolekif)<br />2. Ma’qud ‘alaih, ialah sesuatu yang diakadkan, baik dalam jual beli, pemberian (hibbah), gadai atau pun hutang.<br />3. Maudhu’ al-‘aqd, ialah tujuan dari atau maksud pokok mengadalan akad.<br />4. Shighat al-‘aqd, ialah ijab dan qabul. Pengertian ijab-qabul saat ini adalah bertukarannya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan.<br /><br />C. Asas-asas perikatan<br />Dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah, kata asas diartikan sebagai dasar, untuk kata asasi diartikan mendasar, prinsipil, fundamental. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya. Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Kemudian jika dikaitkan dengan perikatan, berarti kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum perikatan syariah.<br />Rahmani Timorita Yulianti, dosen UII, memberikan penjelasan terkait dengan asas-asas perikatan terbagi kepada dua klasifikasi. Pertama asas perikatan umum, yang tidak menimbulkan akibat hukum. Kedua asas perikatan khusus, yang menyebabkan akibat hukum.<br />Adapun asas yang tidak berakibat hukum, dan yang bersifat umum ini adalah sebagai berikut:<br />1. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid<br />Istilah Tauhid (bahasa Arab: توحيد) merupakan konsep monoteisme Islam yang mempercayai bahwa Tuhan itu hanya satu. Tauhid ialah asas Aqidah. Dalam bahasa Arab, "Tauhid" bermaksud "penyatuan", sedangkan dalam Islam, "Tauhid" bermaksud "menegaskan penyatuan dengan Allah".<br />Tauhid menurut bahasa artinya mengetahui dengan sebenarnya bahwa Allah itu Ada lagi Esa. Menurut istilah, tauhid ialah satu ilmu yang membentangkan tentang wujudullah (adanya Allah) dengan sifat-Nya yang wajib, mustahil dan jaiz (harus), dan membuktikan kerasulan para rasul-Nya dengan sifat-sifat mereka yang wajib, mustahil dan jaiz, serta membahas segala hujah terhadap keimanan yang berhubung dengan perkara-perkara sam'iyat, yaitu perkara yang diambil dari Al-Quran dan Hadis dengan yakin.<br />Dalam kaitanya dengan perikatan, hal ini berarti bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat sehingga setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari pengawasan dan penglihatan Allah SWT dan tidak akan pernah lepas dari ketentuan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya yang disebutkan dalam QS. Al-Hadid (57): 4<br /> <br />Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.<br />Kegiatan mu’amalah adalah merupakan perbuatan perjanjian yang tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai Ilahiyah / ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan apa yang telah dilakukan itu. Tanggung jawab yang berupa tanggung jawab kepada masyarakat dan tanggung jawab kepada pihak kedua sebagai refleksi dari habl min al-naas, tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai refleksi dari habl min Allah.<br />Akibat dari penerapan asas ini dalam kegiatan mu’amalah khususnya perikatan, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT.<br />2. Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)<br />Dalam kamus Hukum, asas kebolehan (mubah) sebagaimana yang dikutip dari Prof. Dr. Abdul Goffur Anshori, SH., M.H., dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia” terbitan Citra Media di Yogyakarta pada tahun 2006 mengatakan bahwa secara prinsip, Islam membolehkan melakukan semua hubungan hukum keperdataan (mu’amalah) sepanjang hubungan itu tidak secara tegas dilarang oleh Al-Quran dan As-Sunah<br />Hal ini jelas, sebagaimana yang telah kita kenal dalam dunia ushul fiqh adanya sebuah kaidah ushuliyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”. Kaidah ushuliyah tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini:<br />Hadis riwayat Al-Bazar dan At-Thabrani yang artinya:<br />“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.<br />Hadis riwayat Daruquthni, yang dihasankan oleh An-Nawawi yang artinya:<br />Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia. <br />Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatu yang berkaitan tentang mu’amalah khususnya, adalah boleh atau mubah dilakukan. Namun kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan yang luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah Islam.<br />3. Asas Keadilan (Al ‘Adalah)<br />Kata adil merupakan reduksi dari bahasa Arab “ al-adlu”. Dalam Al-Quran kata tersebut disebutkan lebih dari 28 kali baik dalam bentuk perintah atau yang lainnya, namun tiap penyebutanya dalam teks yang berbeda akan memberikan konsekuensi interpretasi yang berbeda pula. Seorang pakar tafsir Indonesia, M.Quraisy Shihab menyebutkan, paling tidak terdapat empat makna untuk makna keadilan. Pertama, adil dalam arti sama. Kedua, adil dalam arti seimbang. Ketiga, adil dalam arti lawan kata dzolim yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keempat, adil yang disandarkan kepada Ilahy.<br /> Sebagimana yang disebutkan oleh Allah dalam QS. Al-Hadid (57): 25<br /> •• <br />Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.<br />Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A’raf (7): 29<br /> “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”.<br /> Plato mengatakan bahwa keadilan adalah merupakan kebaikan yang tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional tetapi terdapat dalam tindakan seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan padanya dan sikap menjaga diri dari batas-batas yang ditentukan dan sekuat tenaga berusaha melaksanakan kewajiban sesuai dengan tingkatan dimana dia berada . Sehingga dalam kaitannya dengan perikatan ini, maka dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku adil (benar) dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya. <br />4. Asas Persamaan Atau Kesetaraan<br />Sesuai dengan naluri manusia yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain dan selalu membutuhkan interaksi social dengan orang lain yang merefleksikan bahwa manusia sebagai individu sosial, sehingga pada hakikatnya hubungan mu’amalah dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun dos sollen yang terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari orang yang lainnya karena masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara para pihak yang satu dengan yang lainnya dalam perikatan, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan. Tidak diperbolehkan terdapat kezhaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasarkan perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS.al-Hujurat (49): 13<br /> •• • • <br />Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.<br />5. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)<br />Sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk berlaku jujur dan selalu menjunjung tinggi kebenaran dalam setiap ucapan maupun perbuatan sehari-hari. Dalam sebuah hadist disebutkan yang intinya menyebutkan bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu : apabila berkata bohong, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya menghianati. Dari hal itu jelas bahwa apabila seorang muslim tidak ingin disebut sebagai seorang munafik maka dia harus berlaku jujur.<br />Kebenaran dalam perikatan ini lebih mengarah kepada 2 aspek, yang pertama kebenaran substantive dan yang kedua kebenaran esensif yang lebih menitik beratkan pada esensi dari perikatan itu sendiri.<br />Dalam kaitannya dengan perikatan, apabila kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak dan kebenaran substantive tidaklah dijunjung tinggi, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak. Karena setiap pihak meng-claim kebenaran masing-masing. Allah SWT berfirman dalam QS.al-Ahzab (33): 70<br /> <br />Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar<br />Suatu perjanjian perikatan dapat dikatakan benar (esensi) apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.<br />6. Asas Tertulis (Al Kitabah)<br />Suatu perjanjian apapun itu bentuknya hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan antara kedua belah pihak. Hal ini tercantum dalam surat al-Baqarah (2); 282 yang berbunyi :<br /> <br />“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”<br />Bermu’amalah disini ialah seperti jual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. Asas tertulis ini dimaksudkan agar bila suatu ketika terjadi persengketaan antara orang yang melakukan perjanjian, maka persengketaan itu bisa diluruskan melalui tulisan yang menerangkan tentang perjanjian yang telah mereka sepakati. <br />Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.<br />Hikmah yang dapat kita ambil dari asas tertulis ini adalah apabila suatu saat terjadi perselisihan antara kedua belah pihak maka dapat dibuktikan dengan bukti tertulis karena perikatan itu merupakan kesepakatan antara dua belah pihak untuk saling memenuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati bersama. Alat bukti tetulis merupakan alat bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan sampai kapanpun walaupun ada salah satu pihak yang meninggal atau menghilang.<br />7. Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan)<br />Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik agar saling mendatangkan kemanfaatan bagi kedua belah pihak. Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian.<br />Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma yang objektif. <br />8. Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan<br />Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis secara langsung dan terang. Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal. Sebagaimana para filosof Islam di masa lampau seperti al-Ghazali dan asy-Syatibi merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis sebagai mewujudkan kemaslahatan. Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan pokok manusia yaitu melindungi agama, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat diri dan keluarga, serta harta kekayaan. <br />Perikatan itu memepunyai manfaat untuk untuk memperbaiki hubungan perseorangan atau masyarakat. Perikatan itu harus dengan cara yang halal dan sesuatu yang diperjanjikan memberi manfaat dan bukan merupakan sesuatu yang haram. <br />Hukum Islam mengadakan aturan-aturan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya agar manusia mendapatkan maksud dan tujuannya tanpa menimbulakn madharat bagi orang lain. Bahkan seharusnya dalam memenuhi kebutuhannya itu hendaknya juga member manfaat kepada sesamanya. Hal ini bisa tercermin dalam juala beli dan tukar menukar. Karena merasa saling membutuhkan maka manusia saling berjual beli ataupun saling menukar mereka tanpa merasa ada yang dirugikan.<br />9. Asas Tolong Menolong <br />Dalam perikatan islam asas utamanya adalah tolong menolong. Karena manusia diciptakan dikaruniai nafsu, maka manusia selalu mempunyai keinginan dan kebutuhan berdasarkan nafsunya itu. Dalam memenuhi kebutuhannya itu manusia saling membutuhkan peranan orang lain. Karena tidak mungkin dia berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain maka Allah memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan termasuk juga hal pemenuhan kebutuhan ini. <br /> <br />“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.<br />Asas tolong menolong ini bukan hanya dalam rangka pemenuhan kebutuhan semata, tetapi juga dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Berbuat baik kepada sesama tentunya akan membuat kita semakin dekat dengan Sang Khaliq. Dengan demikian hubungan horizontal dengan sesama manusia akan terkontrol, begitu juga hubungan vertical dengan Khaliq akan semakin bertambah seiring bertambanhya keimanan kita.<br />Sedangkan asad yang mengakibatkan hukum dan bersifat khusus, diantaranya:<br />1. Asas Kerelaan (Mabda’ ar-Radha’iyyah)<br />Dalam QS. An-Nisa (4): 29 yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil. Asas ini terdapat juga dalam hadis riwayat Ibn Hibban dan al-Baihaqi yang artinya: ”Sesungguhnya jual beli berdasarkan perizinan (rida)”.<br />Kerelaan ini dinyatakan dalam sebuah kehendak untuk saling memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan bersama. Dengan demikian asas kerelaan ini bisa juga disebut dengan asas konsensualisme. Dalam mu’amalah pernyataan kehendak dan kesepakatan itu dinyatakan dalam sebuah akad.<br />Terdapat beberapa hadis Nabi yang menyatakan tentang asas kerelaan ini, diantaranya :<br />عن ابى هريرة رض عن النبى ص م قال لايخترقن اثنان الا عن تراض ( رواه ابو داود والترمذى )<br />“Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw. bersabda : janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai” ( Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)<br />قال النبي ص م انما البيع عن تراض ( رواه ابن ماجه )<br />“Rasulullah bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan” (Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah)<br />Sebagai perbandingan asas ini dapat pula di lihat dalam pasal 1320KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak, yang merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.<br />Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belahpihak.<br /><br /> <br /> <br />“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”<br />Dalam asas kerelaan ini diartikan dengan kerelaan antara kedua belah pihak untuk melaksanakan perjanjian atau transaksi. Dimana salah satu pihak rela melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya disamping hak yang akan diterimanya kelak setelah kewajibannya dipenuhi. Begitu juga pihak yang satunya rela dengan hak yang akan diterimanya kelak disamping harus memenuhi kewajibannya terlebih dahulu. <br />2. Asas Perjanjian Itu Mengikat<br />Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang-orang muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.<br />Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.<br />Perjanjian itu dilakukan oleh dua belah pihak, perjanjian dilakukan dengan menggunakan lafadz atau uacapan yang sharih (jelas), tidak menggunakan kata yang samar sehingga perjanjian ini mengikat kedua belah pihak dan bisa dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai tanpa ada unsur penipuan dalam perjanjian yang telah disepakati.<br />3. Asas Keseimbangan Prestasi<br />Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Dalam hal ini dapat diberika ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.<br />Asas ini diajukan oleh Herlien sebagai asas penentu keabsahan suatu kontrak. Asas ini diklaim mandiri dan universal.<br />Undang-undang warisan Belanda memang mengedepankan individualitas. Hal ini bertentangan dengan Pancasila yang berintikan semangat persatuan. Ciri khas persatuan yang harmonis ini, hanya dapat digali dari nilai-nilai Hukum Adat Indonesia yaitu, agar tercapai peratuan harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.<br />Karena tidak bisa lepas dari masyarakat, perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan tersebut menjadi asasi dari pejanjian, bahkan jauh sebelum orang-orang sadar keberadaannya, asas keseimbangan telah lazim diterapkan.<br />Keseimbangan menentukan keabsahan perjanjian, janji di antara pihak hanya mengikat sepanjang dilandasi asas keseimbangan hubungan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. Jadi, penutupan kontrak yang baik adalah jika prestasi yang dijanjikan terpenuhi dan secara umum telah tercipta kepuasan. <br />4. Asas Kepastian Hukum<br />Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi undang-undang”.<br />Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.<br />Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil (17): 15 yang berbunyi :<br />وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً ﴿١٥﴾<br />“ ……. Dan tidaklah kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu …”.<br /> Selanjutnya dalam surat Al-Maidah (5): 95 yang berbunyi :<br />عَفَا اللّهُ عَمَّا سَلَف<br />“Allah telah mema`afkan apa yang telah lalu”.<br />Dari ayat di atas dapat dipahami Allah dapat mengampuni apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.<br />5. Asas Kebebasan Berkontrak<br />Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil bahwa, ”Syari’ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama.”<br />Dalam QS.al-Maidah (5): 1 disebutkan :<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ<br />“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian”<br />Dalam asas-asas perjanjian islam dianut apa yang disebut dalam ilmu hukum sebagai “asas kebebasan berkontrak”.<br />Dalam asas kebebasan berkontrak, dimaksudkan kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban umum, sekalipun perjanjian tersebut bertentangan dengan aturan-aturan atau pasal-pasal hukum perjanjian. Misalnya menurut hukum perjanjian, barang yang diperjualbelikan oleh para pihak harus diserahkan di tempat di mana barang tersebut berada pada waktu perjanjian tersebut ditutup. Namun demikian para pihak dapat menentukan lain. Misalnya si penjual harus mengantarkan dan menyerahkan barang tersebut di rumah si pembeli.<br />Asas kebebasan berkontrak ini dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”<br />Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:<br />1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;<br />2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;<br />3. Menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta<br />4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.<br />Menurut Al-Zarqa kebebasan berkontrak itu meliputi empat segi kebebasan yaitu:<br />1. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian<br />2. Tidak terikat perjanjian kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata berdasarkan kata sepakat (perizinan).<br />3. Tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama<br />4. Kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian<br />Asas kebebasan berkontrak sebenarnya jelas diajarkan oleh nash-nash Al-Quran, Al-Hadis dan terdapat pula dalam kaidah-kaidah fiqhiyah. Dengan demikian hadis Amr bin Auf walaupun lemah dari segi sanad, maknanya sesuai dan didukung oleh Al-Quran dan Al-Hadis. Dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat (1) Allah berfirman :<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ<br />”Wahai orang-orang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian (Akad)”,<br />Kata akad dalam ayat ini berbentuk jamak yang diberi alif lam sehingga menjadikannya sebagai lafal umum. Jadi ayat ini mencakup segala macam akad baik yang timbal balik maupun yang sepihak dan semua syarat yang seseorang mengikatkan diri untuk melaksanakannya di masa depan. Sedangkan surat annisa ayat (29) membatasi kebebaan tersebut dalam batas-batas tidak memakan harta orang lain dengan jalan batil dan hal inilah merupakan ketertiban umum Syara’.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB III<br />PENUTUP<br /></div>A. Simpulan<br />Berdasarkan rumusan masalh yang telah penulis susun, maka dapat disimpulkan bahwasanya:<br />1. kaidah atau asas perikatan (‘aqdu) adalah patokan umum yang dijadikan dasar untuk menetukan hukum bagi persoalan yang belum diketahui tentang suatu perikatan. Sedangkan perikatan sendiri adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya<br />2. hukum kontrak syari’ah adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum dibidang mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam maupun perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan hukum islam<br />3. Asas-asas perikatan dalam islam, terkualilfikasi menjadi dua, yaitu:<br />a. Asas yang tidak mengakibatkan hukum dan sifatnya umum, diantaranya: asas ilahiyah (asas tauhid), asas kebolehan (mabda al-ibahah), asas keadilan (al-‘adalah), asas persamaan dan kesataraan, asas kejujuran dan kebenaran, asas tertulis (al-kitabah), asas itikad baik (kepercayaan), asas kemanfaatan dan kemaslahatan<br />b. Asas yang mengakibatkan hukum dan bersifat khusus, diantaranya: asas keralaan, asas perjanjian itu mengikat, asas keseimbangan prestasi, asas kepastian hukum, asas kebebasan berkontrak.<br /><br /><br />B. Saran<br />Adapun saran yang bisa penulis sampaikan adalah:<br />1. Menerapkan semua asas perikatan syari’ah dalam segala bentuk pola ekonomi saat ini.<br />2. Mengawasi dan merespon perkembangan perekonomian islam, terutama dalam kaitannya dengan perikatan<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">H. A. Jazuli, kaidah-kaidah fikih, cetakan ke-2, (Jakarta: Kencana, 2007)<br />Jaih Mubarak, Kaidah Fikih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)<br />Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Jogyakarta: Pustaka Progresif, 1984)<br />Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah: membahas ekonomi islam, kedudukan harta, hak milik, jual beli, bunga bank, dan riba, musyarakah, ijarah, mudayanah, koperasi, asuransi, etika bisnis dan lain-lain, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)<br />Hasbi al-Shiddieqiyy, Pengantar Fiqh Mu’amalah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)<br />Gemala Dewi dkk , Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)<br />Salim H. S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan ke-4. (Jakarta: Sinar Grafka, 2006)<br />Dahlan, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah: seri intelektual, (Surabaya: Target Press, 2003)<br />Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)<br />Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke-8. (Jakarta: Raja Grafndo Persada, 2000)<br />Rahmani Timorita Yulianti, Asas-asas Perjanjian (akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah, (Yogyakarta: LA_RIBA, Jurnal Ekonomi islam, 2008) edisi II No. 1, Juli 2008<br />http//: www.wikipedia.com diakses pada 24-Mei-2009 pukul 15.00 Wib<br />Muhammad Syakir Aula, 2004, Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press)<br />A. M. Hasan Ali, 2004, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis dan Praktis, cet. 1. (Jakarta: Prenada Media)<br />http//: WWW. KAMUSHUKUM.COM diakses pada 24-Mei-2009 pada pukul 15.00 Wib<br />Imam Musbikin, 2001, Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada)<br />Ade Farid, dkk,2009, makalah Asas Hukum Manusia dengan Manusia sebagai Makhluk Individu, makalah dalam memenuhi mata kuliyah filsafat hukum islam<br />Gemala Dewi dkk, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)<br />Soedarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)<br />Fathur Rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)<br />Ahmad al-Jurjawi, Hikmah At-Tasyri’ Wa falsafatuhu,(Beirut: Dar Fikr, 1994)<br />M. Hasby ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Isalm, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)<br />Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, 2001, Bandung: Citra Aditya Bakti<br />WWW.Hukumonline.com<br /><br /></a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-44062267154341922262010-04-28T13:27:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.418-07:00AZAS HUKUM ISLAM<div style="text-align: justify; color: rgb(153, 0, 0);"><div style="text-align: center;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /></div><br />A. Latar Belakang Masalah<br />Asas Hukum keluarga Islam berasal dari hukum islam yang bersumber dari kitab dan sunnah yang dikembangkan oleh akar pikiran orang yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Asas–asas hukum islam itu banyak, disamping ada yang bersifat umum ada juga yang bersifat khusus terutama dalam hukum keluarga.<br />Namun demikian yang harus kita ketahui adalah bagaimana kesemua asas itu dapat dijadikan landasan oleh umat islam dalam menjalankan kehidupan keluarga. Para ulama terus mencari hukum-hukum yang tersirat dan tersembunyi serta terus menggali hakikat dibuatnya hukum serta tujuan Allah menciptakan<a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/"> hukum-hukum</a> tersebut. Jika dikaji dengan teliti maka Tujuan Allah menciptakan hukum-hukum itu hanya untuk keselamatan atau kemaslahatan hidup manusia. baik kemaslahatan itu berupa manfaat atau untuk menghindari madharat Bagi kehidupan manusia. hakikat hukum inilah yang terus dijadikan pedoman oleh para ulama dalam mencari tujuan hukum yang bersifat dhanni.<br />Asas-Asas Hukum keluarga islam merupakan bagian dari hal-hal yang terus digali kaidah dan hikmah di balik wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.<br />Oleh karena itu kiranya dengan mengetahui lebih dalam tentang asas hukum keluarga islam dapat memberikan pemahaman sekaligus penyadaran tentang hakikat hukum keluarga islam itu sendiri.<br />B. Rumusan Masalah<br />Dari landasan diatas maka pemakalah mencoba memaparkan hal hal yang berhubungan dengan Asas-asas hukum islam dan hukum keluarga islam. Dengan rumusan sebagai berikut:<br />1. Apa pengertian dari Asas-asas?<br />2. Apakah Asas–asas Hukum Islam?<br />3. Apa saja asas-asas hukum keluarga Islam?<br /><br />C. Tujuan Penulisan<br />Dari tujuan penulisan diatas yang pemakalah harapkan mahasiswa mampu :<br />1. Memahami pengertian dari Asas–Asas hukum keluarga.<br />2. Mengetahui Asas-asas Hukum islam<br />3. Mengamalkan pengetahuan yang telah difahami dalam kehidupan sehari-hari.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;">BAB II<br />PEMBAHASAN<br /></div><br />A. Asas-Asas Hukum Islam<br />Hukum Islam sebagai mana hukum–hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan suatu hukum sukar mudahnya, hidup matinya, dapat diterima atau ditolak masyarakat bergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya.<br />Maka asas-asas (dasar-dasar) pembinaan hukum islam yang dikatakan da'aimut tasyri'=tiang-tiang pokok pembinaan hukum, antara lain :<br /><br />1. Nafyul haraji<br />Keadaan ini sangat benar diperhatikan oleh pengatur hukum islam atau pembuat hukum islam. Karenanya segala taklif islam berada berada dalam batas-batas kemampuan para mukalllaf. Globalnya bahwa tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.<br />Allah berfirman:<br /> <br />"dan dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agam suatu kesukaran (Q.S. Al-Haj: 78)"<br /> <br />Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S Albaqarah: 286<br /><br />Rasulullah SAW bersabda "aku dibangkit membawa agama yang mudah lagi gampang"<br /><br />"tiadalah disuruh pilih antara dua urusan, melainkan nabi memilih yang lebih mudah diantara keduanya "<br />Segala hukum islam yang diwahyukan Allah, tidak ada didalamnya sesuatu yang menimbulkan kepicikan yang sukar dipikul manusia.<br />Allah SWT berfirman:<br /><br /> <br />"dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka"(Q.S. Al-A'raf:157.)<br /><br />hal ini tidak berarti bahwa taklif syar'I tidak mengandung kesukaran sedikitpun, kesukaran yang sedikit itu memanglah suatu ciri khas bagi hukum taklifi para fuqoha' menta'rifkan taklif dengan "mengharuskan sesuatu yang padanya ada yang memberatkan"<br />maka yang ditiadakan itu, ialah kesukaran yang melebihi batas biasa yaitu yang menghabiskan tenaga sipekerja. Akan tetapi mereka dalam pelaksanaan hukum timbul kesukaran-kesukaran, maka Allah SWT. Mengadakan hukum rukhsoh.<br />contohnya antara lain ialah: kebolehan kita tidak berpuasa pada waktu sakit, didalam perjalanan, ketika hamil dan menyusui, dan juga kebolehan duduk dalam sholat ketika tidak mampu untuk berdiri.<br />Sebagaimana sabda nabi "sembahyanglah dengan berdiri jika tidak sanggup maka duduklah"<br />Diadakan hukum dharurat untuk dipergunakan diwaktu darurat. Meringankan hukum adakalanya dengan mengguggurkan sesuatu hukum, seperti hukum sholat bagi wanita yang menstruasi dan wanita nufasa' (bersalin), adakalanya dengan mengurangi yang diperlukan itu, seperti sholat bagi musafir, atau dengan jalan tarkhis, seperti diperbolehkan minum-minuman mabuk untuk menghilangkan sembatan dikerongkongan, adakalanya dengan menangguhkan pelaksanaan kewaktu yang lain, seperti puasa bagi musafir.<br />2. Qillatul taklif<br />Asas kedua dari asas-asas hukum islam, tidak membanyakkan hukum taklif, agar tidak memberatkan mukallaf dan tidak menyukarkan, sebagaimana dikatakan dalam bukunya Ibnur Rochman (hukum islam dalam prespektif filsafat) bahwa hjukum islam adalah hukum yang memberikan perhatian yang penuh kepada manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, aqidah dll. sebagaimana firman Allah:<br /><br /> <br />"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu (Q.S. Al-maidah: 101)<br /><br />Ayat ini mengharuskan parasahabat menyedikitkan pertanyaan dikala wahyu sedang turun mengenai masalah-masalah yang belum diterangkan hukumnya, agar masalah-masalah itu apabila timbul nanti dapat dihasilkan hukumnya dari Qaidah- Qaidah umum sesuai dengan perkembangan masyarakat.<br />Nabi SAW. Bersabda:<br />ان الله فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدو ها وحرم أشياء فلا تنتهكو ها وسكت عن أشياء رحمةبكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها<br />" sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kamu menyia- nyiakannya dan telah membuat bebeapa batasan maka janganlah kamu melanggari batasan-batasan itu dan telah mengharamkan beberapa perkara maka jangnlah kamu melanggarnya allah berdiam dari beberapa perkara, karena rahmatnya terhadap kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari hukum untuk perkara itu"<br />Dan nabi bersabda pula:<br />اعظم المسلمين جرما من سأل عن شيء لم يحرم فحرم عليهم من اجل مسئلته (رواه بخاري ة مسلم)<br />" muslim yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan tentang suatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan perkara itu atas diri umat lantaran pertanyaan dari orang tersebut" <br />Inilah sebabnya para sahabat dari fuqoha' madinah tidak menyukai pertanyaan tentang masalah-masalah yang belum terjadi.<br />Dari hadist nabi ini yang diatas memberi pengertian<br />ّالَاصل في الاشياء الاباحة لا الحظر فلا يحرم الا ما ورد نص بتحريمهَ<br /><br />"pokok hukum dalam segala perkara ialah boleh, tidak haram karenanya janganlah diharamkan melainkan ada nash yang mengharamkannya"<br /><br />Diterangkan oleh AL-Qurtubi bahwasannya Umar ra mengutuk orang yang bertanya tentang sesuatu hukum yang belum terjadi.<br />Segala bentuk perintah dan larangan dalam Al-Quran dapat ditunaikan tanpa menderita kesukaran yang berat. Muamalat-muamalat selain dari yang diharamkan diberrikan kebebasan kepada kita untuk mengerjakan asal sesudah terjadi keridho'an para pihak.<br />Diwaktu islam lahir ditengah-tengah masyarakat arab yang telah lama bergelimang dalam aneka adat istiadat tentulah adat istiadat itu tidak dapat dihilangkan sekaligus melainkan secara bertahap dan berangsur-angsur seperti pada mulanya orang yang berzina hanya dihukum dengan caci maki kemudian berpindah pada hukum yang agak berat yaitu dengan hukum rajam, begitu juga sholat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatabah, Atha' bahwa pada mulanya sholat difardhukan dua raka'at pagi dan dua raka'at petang, kemudian barulah difardhukan dengan lima raka'at, begitu pula puasa pada mulanya hany difardhukan tiga hari pada tiap bulannya kemudian barulah difardhukan puasa pada bulan ramadhan<br />3. Seiring dengan kemaslahatan manusia<br />lantaran inilah ada hukum-hukum yang telah ditetapkan dimansuhkan kembali karena dikehendaki kemaslahatan manusia yang terus berkembang, adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’(tujuan-tujuan syari’) artinya dengan maslahah berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-syari’.<br />Memperhatikan kemaslahatan kemaslahatan masyarakat dalam urusan muamalat adalah suatu dasar asasi dari pembinaan hukum (syari’) menerangkan illat hukum yang di syariatkan agar-hukum-hukum itu berkisar sekitar ilatnya. dan inti mengingatkan kepada kita keharusan memelihara kemaslahatan tidak membeku pada nash-nash yang terkadang nash-nash itu mengenai orang-orang tertentu atau daerah tertentu.<br />Ibnu Qoyim berkata: 'Sesungguhnya syariat itu fondasi dan asasnya ialah hikmah dan kemaslahatan hamba dalam kehidupan dunia maupun kehidupan Akhirat.<br />Hukum islam dihadapkan kepada bermacam-macan jenis manusia dan keseluruh dunia Maka tentulah Pembina hukum memperhatikan kemaslaatan masing-masing mereka sesuai dengan adat dan iklim yang menyelubungi daerah tersebut, jika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada masa itu didahulukan maslahat umum atau maslahat khusus dan diharuskan kita menolak kemadaratan yang lebih besar dengan mengerjakan kemadharatan yang lebih kecil.<br />4. Mewujudkan keadilan yang merata<br />Islam mengajarkan dalam hidup bermasyarakat ditegakkan keadilan dan ihsan, keadilan yang harus ditegakkan mencakup kedilan terhadap pribadi, keadilan hukum keadilan sosial bermasyarakat dan keadilan dunia.<br />Manusia didalam hukum islam, sama keadaannya, mereka tidak melebihi karena kebangsaan, karena keturunan karena harta atau karena kemegahan. Tak ada dalam hukum islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka berbuat dhalim. Manusia dihadapan Allah adalah sama.<br />Menurut Mochah Hasan dalam bukunya islam dalam perspektif Sosio cultural, Menyatakan bahwasannya kedudukan manusia adalah sama derajatnya meskipun terdapat stratifikasi sosial, karena hai itu terbentuk karena proses lain dan satu satunya pembedaan dalam agama islam adalah tingkat ketakwaannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-hujurat ayat 13<br /> •• • • <br />Artimya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal QS, Al hujurrat :13<br />5. Memperbolehkan kita mempergunakan segala sesuatu yang indah.<br />Didalam kitab Al islam wan Nasriyyah, Muhammad abduh menegaskan bahwasannya islam membolehkan kita mempergunakan segala sesuat yang indah , dibolehkan kita memakai yang indah , dibolehkan kita memakan yang sedap dan lezat asalkan tidak berlebih- lebihan, dengan niat yang baik dan memelihara batas agama. Sebagaiman dalam surat An-Nahl Ayat 14-16 Surat Al a' raf ayat 30,31,32, Yang berbunyi.<br /> • <br />Artinya : Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk.(Q.S An-nahal Ayat 14-16)<br /> • • <br /><br />Artinya :"Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi Telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat" Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui."(Q.S Al A' Raf: 30-32)<br /><br />6. Menetapkan hukum berdasarkan urf,yang berkembang dalam masyarakat.<br />Urf adalah Sesuatu yang telah berkembang dan terkenal dalam masyarakat dimana tidak dipandang jijik atau buiruk begitu juga definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Az-Zauhaili bahwa urf adalah sesuatu yuang menjadi kebiasaan masyarakat dan berjalan dalam perbuatan maupun lafadz dan berkembang ditengah-tengah mereka sebagai contoh nafakah seorang istri diukur dengan keadaan dan tempat dimana mereka berada, nafakah istri si A belum tentu sama kadarnya dengan nafakah istri si B.<br /><br />7. Syara’ yang menjadi sifat dhatiyyah islam.<br />Syara’ yang menjadi sifat dzatiyah islam kebanyakan hukumnya diturunkan secara mujmal buat memberi lapangan yang luas kepada para failusuf untuk berijtihad dan untuk memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum islam itu menjadi elastis sesuai dengan tabiat perkembangan manusia yang berangsur-angsur, dan sesuai pula dengan jalan yang ditempuh dibidang taklif amali, yaitu Al-Qur’an selalu menghadapkan hukumnya kepada akal dalam artian hukum-hukum itu tidak sekalipun merintangi kekuatan akal atau mengingkari keistimewaan akal . Sebagai mana dalam alqur’an Surat An-Nisa ayat 82<br /> <br />Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(Q.S. An-Nisa ayat 82)<br /><br />Dan dalam surat Ali-Imron ayat191<br /><br /> • <br /> “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Q.S Ali-Imron Ayat191)<br /><br />B. Asas –Asas Hukum keluarga Islam<br /><br />Sebelum membahas lebih dalam tentang asas hukum keluarga islam lebih dahulu akan dijelaskan pengertian asas-Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.<br />Asas dan dasar hukum perkawinan<br />1. Sendi-sendi dalam hukum perkawinan<br />Persoalan keluarga dalam islam biasanya merujuk pada al-Qur’an Surat An-Nissa ayat 1 yang menjelaskan hakikat fitriyyah namun sangat penting dak krusial.<br /> •• • • <br /> Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama laindan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.<br /><br /><br />Ayat tersebut menyeru kepada manusia secara umum karena mereka kembali kepada tuhan yang telah menciptakannya dimna Dialah yang menciptakan mereka dari jiwa yang satu dan darinya allah menciptakan istrinya dan mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.Dari hakikat tersebutlah kita dapat merenungkan beberapa hal <br />Pertama: Ayat ini memperingatkan manusia akan satu tempat yang merupakan asal dan tempat kembali<br /><br />Kedua: Menunjukan bahwa seluruh manusia ciptaannya bersatu dalam satu ikatan rahim, bertemu dalam sebuah hubungan kekerabatan dan datang dari sumber dari keturunan yang sama,<br />Ketiga: Adalah manusia berasal dari satu jiwa dimana akan menjelaskan bahwa adanya jaminan untuk tidak adanya pandangan minor dan merendahkan perempuan, dimana perempuan dengan fitrah dan segala karakteristik dasar yang dimilikinya sama halnya dengan laki-laki<br />Keempat: Allah menegaskan bahwa basis dan cikal bakal kehidupan manusia adalah keluarga.<br />Dari sini juga dapat dipahami bahwa pernikahan merupakan kebutuhan naluri yang sangat fitrah dan pada sisi lain merupakan ibadah. Ini dikarenakan manusia sadar akan ketertarikan manusia akan ketrtarikan nya terhadap lawan jenisnya, dari situlah diketahui hikmah penciptaan sesuatu berpasangan adalah ia menciptakan keserasian antara pasangan itu saling memenuhi dan melengkapi kebutuhan fitriah, jiwa dan jasmani. <br />2. Asas asas dalam hukum perkawinan islam<br />Manusia memang ditabiatkan ingin kekal hidupnya didunia ini , dan kekekalan itu adalah keturunan ,anak dan cucum oleh karena itu perlu diatur masalah-masalah kekeluargaan Dalam ikatan perkawinan Sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) Antara seorang pria dan seorang wanita menuju kehidupan yang bahagia , terikat dengan adanya Mistaqon Gholidhan., Karenanya islam mengadakan beberapa wasilah yang apbila benar-benar dipeliharakan , maka hidup suami istri itu menjadi kuat dan kekal serta terhindar dari kehancuran , Maka dibutuhkan Asas-asas sebagai pondasi dalam menghindari kehancuran rumah tangga.diantara asas-asasny ialah :<br />a. Asas kesukarelaan<br />Asas kesukarelaan Merupakan asas terpenting perkawinan islam. Kesukarelaan itu tidak hanya terdapat antara kedua calon suami istri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah fihak calon suami istri. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan islam.<br />b. Asas persetujuan kedua belah pihak<br />Asas ini merupakan konsekuensi logis asas pertama. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta terlebih dahulu oleh wali atau orangtuanya. Menurut sunnah Nabi, persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut.<br />c. Asas kebebasan memilih pasangan<br />Asas ini juga disebutkan dalam sunnah Nabi. Dicertiakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama jariyah menghadap rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa ia (jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukaianya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. <br />Dalam konteks keindonesiaan tidak sedikit umumnya para wanita cenderung diberikan ruang yang sangat sempit untuk menentukan jodohnya, hal ini dikarenakan orang tua yang karena kehendaknya sendiri tidak mau untuk merestui calon suami pilihan anaknya tersebut, banyak factor yang menyebabkan orang tua bersikap demikian diantaranya karena hanya calon suami pilihan anaknya tersebut merupakan seorang yang tidak berada ataupun tukang kuli, lantas dengan alasan yang praktis ini orang tua tidak merestui calon suami pilihan anaknya tersebut, hal ini bertentangan sekali dengan asas kebebasan untuk memilih pasangan.<br />d. Asas kemitraan suami istri/tolong menolong<br />Yaitu dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebutkan dalam Al-Quran (Q.S. An-Nisa’: 34)<br /> • <br /><br />kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.<br /><br /><br />• • • • •• <br /><br />“ Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tika dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(Q.S Al-Baqarah: 187)<br /><br />Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda: suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung tanggung jawab pengaturan rumah tangga.<br /><br />e. Asas untuk selama–lamanya<br />asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta seraya kasih sayang selama hidup. Dalam hal ini disebutkan dalam Al- Quran surah Al-Rum ayat 30,<br /><br /> •• • <br />Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.<br /><br />Dari asas ini pula maka perkawinan sementara atau yang lebih dikenal sebagai kawin mut’ah yakni kawin untuk bersenang – senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada beberapa waktu dahulu pada manyarakat aarab jahiliyah, dilarang oleh Nabi.<br /><br />f. Asas monogami terbuka<br />Asas ini dapat dilihat dari al-quran surah an-nisa ayat 129,<br /><br /> • <br />Artinya :Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.<br /> <br /> Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.<br /><br />Dalam ayat 3 ini, laki-laki muslim dibolehkan untuk menikahi wanita lebih dari satu orang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, da yang paling pokok adalah untuk dapat berlaku adil kepada wanita–wanita yang dinikahinya, sebagaimana dijelaskan pada ayat 129, bahwa manusia tidak akan mugkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidak mungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itu maka Allah menegaskan bahwa seorang lelaki lebih baik menikah dengan seorang wanita saja. Dengan ini berarti bahwa poligami merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki apabila terdapat hal- hal yang menuntut demikian seperti tujuan pernikahan yang tidak tercapai(tidak memeliki keturunan) atau istri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri.<br /><br />g. Asas Saling Menghormati<br /><br />Keluarga merupakan suatu unit terkecil dari suatu Negara yang terdiri dari bapak ibu dan anak, keluarga yang tentram merrupakan idaman semua manusia baik dalam lapisan masyarakat yang taraf hidupnya rendah maupun mereka yang taraf hidupnya tinggi tentunya untuk mendapatkan sebuah keluarga yang tentram tidak serta merta tanpa melalui usaha, sikap pemahaman dan penyadaran akan tanggung jawab masing-masing dari suami istri harus benar-benar disikapi dan disadari oleh mereka.<br />Dan begitu juga rasa saling menghormati merupakan salah satu tonggak terjaminnya keluarga yang tenteram, sejahtera, mereka harus saling menghormati ketika mereka melakukan peran serta kewajibannya masing-masing salah satu faktor yang menyebabkan runtuhnya sebuah keluarga karena tidak adanya rasa menghormati banyak anak yang berada diluar pengawasan orang tua lantaran ia hanya mementingkan kehendaknya sendiri tidak mau mendengarkan usapan orang tua sehingga ia tidak terurus lantaran tidak mempunya sikap untuk menghormati dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya.<br />Sebagaimana Allah telah memuliakan manusia, menjadi keharusan setiap manusia untuk saling menghormati dan memuliakan, tanpa memandang jenis suku, warna kulit, bahasa dan keturunannya. Bahkan Islam mengajarkan untuk menghormati manusia walaupun telah menjadi mayat. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri khusyu’ menghormati jenazah seorang yahudi. Kemudian seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia jenazah yahudi”. Nabi SAW bersabda: “Bukankah dia juga adalah seorang berjiwa ?”. (HR. Imam Muslim). Sebagaimana nabi mauammad<br />Begitupula Nabi Muhammad selalu bersikap baik hati terhadap keluarganya. Terhadap istri-istrinya, rasulullah tidak pernah kasar sikapnya. Oarng-orang mekkah pada umumnya merasa aneh terhadap prilaku baik seperti itu. Rasulullah mentoleransi perkataan sebagian istrinya yang merasa menyakitkan hati, meskipun perkataan seperti itu tidak disukai oleh istrinya yang lain. Nabi dengan penuh empati mengajak para pengikutnya untuk bersikap baik hati terhadap istri-istri mereka, karena, seperti sering kali diucapkannya, lelaki dan perempuan itu sama-sama memiliki sifat baik dan sifat buruk. Suami tidak boleh Cuma gara-gara kebiasaan istrinya yang tak menyenangkan lalu mencweraikannya. Jika suami tidak menyukai beberapa sifat istrinya, istri tentu memiliki sifat-sifat lain yang menyenangkannya. Dengan demikian urusannya jadi seimbang. Nabi SAW sangat menyayangi anak-anak dan cucu-cucunya. Nabi memperlihatkan rasa cinta dan kelembutan hatinya kepada mereka. Nabi saw. Mencintai mereka, memangku mereka, menundukkan mereka diatas kedua bahunya dan menciumi mereka, semua ini bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat arab pada waktu itu.<br /><br />h. Asas Mu’asyarah bil ma’ruf<br /><br />Ketika sudah terbentuk keluarga dalam rumah tangga dengan dibuktikan adanya akad perkawinan yang sah maka keduanya harus menegakkan sendi-sendi keluarga dengan mengikat erat dan saling memberi dan menerima. Suami juga harus melaksankan kewajiban dan haknya begitu juga dengan istrinya. Pergaulan yang baik dalam keluarga akan memberikan nilai dan spirit bagi keluarga dalan jangka waktu selanjutnya seperti terbentuknya keluarga sakinah mawaddah dan warahmah yang melahirkan keturunan yang shalih dan shalihah<br />Sebagaimana yang diterangkan dalam surat annisa’ ayat 19<br /><br /> <br />“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”<br /><br />disebutkan dalam tafsir Al-Manar mengeanai ayat ini adalah mempergauli istri dengan cara yang ma’ruf yang mereka kenal dan disukai oleh hati mereka serta tidak dianmggap mungkar oleh sayra’ tradisi dan kesopanan. Maka mempersempit nafkaf dan menyakitinya dengan perkataan atau perbuatan atau bermuka masam ketika bertemu mereka maka semua hal itu telah m,enafikan pergaulan secara ma’ruf.<br />i. Asas Kesetaraan hak dan tanggung jawab<br /><br />Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami dan istri sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, kewajiban istri merupakan hak bagi suami begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat ditemukan dalam surat al-Baqorah ayat 228<br /> <br /><br />Artinya wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana<br /><br /> Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana di isyaratkan diujung ayat tersebut begitu juga dengan sabda nabi yang artinya “ Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh istrimu dan istrimu mempunyai hak yang harus kamu pikul,” hadis dari amru bin Al -Ahwash <br /><br />j. Asas regeneratif<br /><br />Yakni memperbaharui dan melanjutkan keturunan sebagai bagian dari tujuan hukum islam sebagaimana dipertegas dalam surat Annisa’ Ayat 1.<br /> •• • • <br />Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu<br /><br />Dan Dalam Surat An Nahl ayat 72<br /> <br />Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"<br /><br />3. Tujuan perkawinan dalam islam<br />Sebagaimana hukum-hukum yamg lain yang dituetapkan dengan tujuan tertentu sesuai dengan tujun terbentuknya demikian pula halnya dengan syariat islam yang mensyariatkan perkawinan denga tujuan trtentu pula. Diantara tujuan itu adalah: <br />1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga terbentuk ummat dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 72<br />2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah mengerjakannya<br />يا معشر الشباب من استطاع منكم البا ءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه ل وجا ء(رواه بخاري ومسلم )<br /><br />Artinya : Hai sekalian pemuda barang siapa yang telah sanggup diantara kamu untk kawin maka hewndaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghal;angi pandamgan ( Kepada yang dilarang agama ) dan memelihara kehormatan dan barang siaspa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya ( H.R. Bukhori Muslim)<br /><br />3. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya, adanya rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga Firman Allah SWT Qur-an Surat AR-Rum ayat 21<br /> •• • <br />Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.<br /><br />4. Untuk menghormati sunnah Rasul. Beliau mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin. Beliau bersabda : Yang artinya :” Maka barang siapa yang benci kepada sunahku bukanlah ia termasuk umatku “ (H.R bukhari Muslim)<br />5. Untuk membersihkan keturunan karena keturunan yang bersih dan jelas setatusmya hanya diperoleh dengan perkawinan.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB III<br />PENUTUP<br /></div>A. Simpulan<br />asas-Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu<br />asas dalam hukum islam adalah sbagai berikut yaitu: Nafyul haraji, Seiring dengan kemaslahatan manusia, Qillatul taklif, Mewujudkan keadilan yang merata, Memperbolehkan kita mempergunakan segala sesuatu yang indah, Menetapkan hukum berdasarkan urf yang berkembang dalam masyarakat, Syara’ yang menjadi sifat dhatiyyah islam.<br />Sedangkan asas dalam hukum keluarga islam yaitu: Asas kesukarelaan, Asas persetujuan kedua belah pihak, Asas kebebasan memilih pasangan, Asas kemitraan suami istri/tolong menolong, Asas untuk selama–lamanya, Asas monogami terbuka, Asas Saling Menghormati, Asas Muasyarah bil ma’ruf, Asas Kesetaraan hak dan tanggung jawab, Asas regeneratif.<br /><br />B. Saran<br />Dalam makalah ini kami sadari masih banyak kekurangannya Karena tidak ada gading yang tak retak dari itu penulis berharap untuk membaca buku-buku lain yang lebih relevan untuk memahami secara mendalam asas hukum keluarga islam<br /><br />Daftar Pustaka<br /><br /><a style="color: rgb(0, 102, 0);" href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema Insane, 1999<br />Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta, Penada Media Th, 2006<br />Ahmad Eaiz, Dustur Al-Usrah Ei zhilal Al-Qur’an, Bairut Muassasah Ar-Risalah 1983<br />Drs. M. Ibnu Rochman, M.Ag, hukum islam dalam perspektif filsafat, Yogyakarta: Filosofi pers, 2001<br />Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Filsafat Hukum Islam: Bandung: Pustaka setia, 2008<br />Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam , Jakarta Bulan bintang, 1975<br />Miftahul huda, Filsafat Hukum Islam Ponorogo, STAIN Ponorogo Press 2006<br />Murtadha Muthahbari, Manusia dan Alam Semesta, Jakarta: lentera, 2006<br />Prof. Dr. H. Isma’il Muhammad Syah, S.H., Filsafat hukum islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992<br />Prof. Muhammad Abu zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka firdaus, 2005<br />Prof. H. Muhammad Daud Ali S.H., hukum islam, Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2007<br />Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan , Jakarta , Bulan Bintang :1974<br />KH. Ahamad Az-zahar Albasyir M.A., pokok-poko persoalan filsafat hukum islam, Yogyakarta, Uii pres yogyakrta, 2006,<br />Wahbah Az-Zuhaili, Al-Ushul Al-fiqh Al-Islamiy, Suriyah: Dar Al-fikr. 2006<br /><br /><br /></a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-64480995410026948602010-04-28T13:22:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.432-07:00ZAKAT BINATANG TERNAK<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 0);">ZAKAT BINATANG TERNAK<br />MAKALAH<br />Di Ajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah<br />“Hukum Peribadatan Islam ”<br /><br />Oleh:<br /> SYIFAUL QULUB<br /><br />FAKULTAS SYARI’AH<br />JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH<br />INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL<br />SURABAYA<br />2009<br /></div><br /><a style="color: rgb(153, 0, 0);" href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">ZAKAT BINATANG TERNAK</a><br /><br />A. Pengertian<br /> Zakat adalah kewajiban seseorang terhadap harta yang berada dalam tanggungannya jika telah mencapai satu Nishob. Kewajiban ini tidak berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menunaikannnya atau tidak, karena kemampuan ini adalah syarat untuk membayar zakat.<br /> Yang dimaksud dengan binatang ternak adalah unta, sapi betina, dan kambing. Sapi betina mencakup kerbau, dan kambing dalam segala jenis.<br /> Para ulama' sepakat dalam menetapkan wajib zakat terhadap binatang-binatang yang tersebut, tetapi berselisih faham tentang binatang yang macam mana dari binatang-binatang itu yang terhadapnya diwajibkkan zakat.<br /> Mereka semua sepakat menetapkan zakat wajib terhadap unta, lembu, kerbau, kambing dan biri-biri. Kemudian kebanyakan mereka menetapkan, bahwa binatang-binatang yang tersebut terhadapnya diwajibkan zakat jika binatang-binatang itu mencari makan sendiri dengan pengembalaan. Adapun jika diberi makan si pemilik umpamanya, atau dipekerjakan tidak ada zakat terhadapnya.<br /> Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, As Syafi'i dan Ahmad.<br /> Kata imam Abu Hanifah dan Ahmad: binatang yang dikembala dalam sebagian tahun, terhadapnya wajib zakat.<br /> Kata As Syafi'i: binatang yang wajib zakat adalah binatang yang dikembala sepanjang tahun.<br />B. Syarat-syarat mengeluarkan zakat<br />1) Sampai Nishob<br />Binatang ternak yang dikeluarkan zakatnya harus mencapai jumlah tertentu, yaitu sampai nishobnya (batas minimal dikenakan zakat), tidak hanya asal sudah mempunyai beberapa ekor, sudah dikenakan zakat.<br />2) Haul (telah dimiliki selama satu tahun)<br />Binatang ternak itu dikeluarkan zakatnya sesudah mencapai usia satu tahun. Ketentuan ini berlaku berdasarkan praktik yang telah berlaku, yang pernah dilaksanakan oleh rosulullah dan khulafaurrasyiddin.<br />3) Binatang Gembalaan<br />Binatang gembalaan tidak sepenuhnya makanannya dari sipemilik karena setiap hari dilepas di lapangan dan tidak begitu memberatkan pemilik dalam pembiayaan. Dan dalam masalah pembiayaan ini jelas Berbeda dengan hewan yang hidupnya di kandang.<br />4) Tidak Dipekerjakan<br />Binatang ternak yang dipergunakan pemiliknya untuk kepentingan pemiliknya, tidak dikenakan zakatnya, seperti untuk menggarap tanah pertanian, untuk angkutan, dan untuk mengambil air sebagai sarana irigasi.<br />Pendapat diatas berbeda dengan pendapatnya imam Malik yang mengatakan bahwa meskipun hewan ternak tersebut dalam kandang atau di lepas masih dikenakan zakatnya. <br />C. Binatang Yang Wajib Di Zakati<br />1. Unta<br /> 5 ekor zakatnya 1 ekor kambing berusia 1 tahun lebih<br /> 10 ekor zakatnya 2 ekor kambing berusia 1 tahun lebih. Seterusnya, setiap bertambah 5 ekor bertambah pula 1 ekor kambing.<br /> 25 ekor zakatnya 1 ekor anak unta betina umur 1-2 tahun atau anak unta jantan umur 2-3 tahun.<br /> 36 ekor zakatnya 1 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun<br /> 46 ekor zakatnya 1 ekor unta betina umur 3-4 tahun.<br /> 61 ekor zakatnya 1 ekor unta betina umur 4-5 tahun.<br /> 76 ekor zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun.<br /> 91 ekor,sampai 120 ekor zakatnya 2 ekor unta betiina umur 3-4 tahun<br />Jika jumlahnya lebih, maka setiap 40 ekor, zakatnya 1 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun, dan setiap 50 ekor, 1 ekor unta betina umur 3-4 tahun. <br />2. Zakat Sapi<br /> 40 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina berumur 2 tahun. Tidak ada tambahan lain hingga banyaknya mencapai 60 ekor.<br /> 70 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina berumur 2 tahun dan satu ekor sapi berumur 1 tahun.<br /> 80 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina berumur 2 tahun, serta 2 ekor sapi umur 1 tahun.<br /> 90 ekor, zakatnya 3 ekor sapi betina berumur 1 tahun.<br /> 100 ekor, 1 ekor sapi umur 2 tahun,dan 2 ekor sapi umur 1 tahun.<br /> 110 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun, dan 1 ekor sapi umur 1 tahun.<br /> 120 ekor, zakatnya 3 ekor sapi betina umur 2 tahun, atau 4 ekor sapi umur 1 tahun.<br />Demikian seterusnya jika banyaknya bertambah, maka setiap 30 ekor ialah 1 ekor sapi umur 1 tahun, dan setiap 40 ekor ialah 1 ekor sapi betina umur 2 tahun.<br />3. Zakat Kambing<br /> 40-120 ekor, zakatnya ialah 1 ekor kambing<br /> 121-200 ekor, zakatnya ialah 2 ekor kambing<br /> 200-300 ekor, zakatnya ialah 3 ekor kambing betina.<br />Selanjutnya jika lebih dari 300 ekor, maka setiap 100, dikeluarkan 1 ekor kambing betina. Dari domba dikeluarkan yang berumur 1 tahun, sedang dari kambing yang berumur 2 tahun.<br />4. yang tidak boleh diambil untuk zakat<br /> Sewaktu mengambil zakat dari harta para hartawan, hendaklah dijaga dijaga hak pemilik harta tersebut. Maka tidak boleh diambil barang-barang yang terpilih dan bernilai tinggi, kecuali jika diizinkan oleh yang bersangkutan.<br />Demikian juga sebaliknya, mestilah pula di jaga hak orang fakir. Maka tidak boleh memilih hewan yang cacat, cacat yang di anggap menjatuhkan harganya di mata orang yang ahli tentang hewan, kecualijika semuanya bercacat. Jadi zakat itu diambil dari pertengahan harta.<br />a. Dalam surat abu bakar tercantum: jangan diambilkan buat zakat itu yang telah tua, buta sebelah dan hewan bibit.<br />b. Jangan mengeluarkan zakat hewan yang dikebiri, binatang perahan, dan yang akan melahirkan.<br />c. Kurus, sakit, kecil dan tidak subur.<br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><a style="color: rgb(0, 0, 153);" href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Sayyid sabiq, Fikih sunnah 3, Bandung : PT. AL MA'ARIF,1986<br />Muhammad Ali hasan, Zakat Dan Infak, Jakarta : Prenada Media Group, 2006<br />Prof. Dr. Abd. Bin Muhammad al mutlaq. Fiqih Sunnah Kontemporer.<br /></a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-64931892500720676552010-04-28T13:19:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.444-07:00HUKUM AGRARIA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(0, 102, 0);"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/"><span style="font-size:180%;">SEJARAH HUKUM AGRARIA<br /></span></a></div>Dalam membicarakan sejarah hukum agraria,kita perlu meninjau dahulu sejarah kehidupan manusia dan dalam lintasan sejarah inipulalah hukum agraria itu lahir dan berkembang. Sejarah kehidupan manusia pada dasarnya dapat dijabarkan melalui tahap-tahap berikut ini.<br />Dalam tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif,baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula.Pada tahap ini oarang tentu saja masih secara nomaden atau mengembara tanpa tempat tinggal yang tetap dari hutan yang satu ke hutan yang lain dan dari daerah satu ke daerah yang lain.<br />Dalam tahap II, manusia telah menemukan mata pencaharian baru yakni berburu yang biasanya juga masih dilakukan oleh nomden yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada.<br /> Dalam tahap III manusia menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni berternak meskipun sistem pelaksanaannya pun masih primitif dan nomaden pula. Dalam tahap ini, mata pencaharian manusia masih tetap berternak namun pola hiup manusia kemudian berubah dari hidup mengembara menjadi pola hidup menetap. Tetapi dalam pola ternak yang menetap ini, manusia tidak mempersoalkan pengetahuannya dalam bidang pertanahan megingat sebagian besar pemikiran mereka masih berpusat pada bidang peternakan.<br />Dalam tahap IV yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap, barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata penchariannya. Pada tahap inilah baru manusia memikirkan an mempersoalkan keadaan tanah mengingat kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan tentang hal pertanahan manusia pada masa itu tentu saja masih sangat sederhana dan sepit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapnya saja. Disamping itu kehidupan manusia dalam tahap ini pun masih bersifat sangat pasif terhadap alam, artinya manusia hanya bias menerima saja segala akibat yang ditimbulkan oleh alam tanpa sedikitpun bisa berusaha mencegahnya, misalnya dalam hal terjadi bencana alam seperti banjir dan sebagainya.<br />Manusia pada masa itu paling-paling hanya dapat mengelakkannya saja dengan satu-satunya cara mengembara atauberpindah-pindah ke daerah yang lain dan memulaimata pencaharian mereka itu dari awal lagi. Jadi pada masa itu manusia memang telah mengenal hal-ihwal pertanahan, tetapi belum mampu mengubah alam yang tentunya disebabkan karena masih kurangnya atau sangat terbatasnya pengetahuan dan ketiadaan alat.<br />Dalam tahap V, pola hidup berkelompok sudah semakin umum mewarnai kehidupan manusia. Dalam tahap ini manusia telah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi tentu masih dalam taraf,pola dan system sederhana, yakni tukar-menukar barang. Dalam <a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">system</a> atau pola perdagangan ini, uang sebagai alat tukar umum belum dikenal orang karena pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan melalui pertukarannya dengan barang lain yang harganya dianggap sebanding.<br />Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari memadahi. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan warga masih belum serasi.<br />Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.<br />Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama “Agrariche Wet” dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama “Agrarisch Besluit” yang dikeluarkan tahun 1870.<br />Agrarisch Besluit ini dalam pasal 1 memuat suatu asas yang sangat penting yang merupakan asas dari semua peraturan Agraria Hindia Belanda. Asas ini disebut “Domein Verklaring” atau juga bisa disebut asas domein, yaitu asas bahwa “semua tanah yang tidak bisa dibuktikan pemiliknya adalah domein Negara” yaitu tanah milik negera<br />Setelah Proklamasi kemerdekaan Negara kita tahun 1945, undang-undang Agraria diatas dengan segala peraturan organiknya dan buku ke-2 KUHS tentang benda, kecuali peratuaran-peraturan mengenai hipotek, telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh undan-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang hanya berlaku satu undang-undang yang mengatur agraia, yaitu Undang-undang Pokok Agraria No.5/1960. Ini berarti bahwa dalam bidang hukum agraria telah tercapai keseragaman hukum, atau dengan istilah hukumnya telah terdapat unifikasi hukum agrarian yang berarti bahwa berlaku satu hukum agraria bagi semua warga Indonesia. Jadi dualisme dan pluralisme dalam bidang hukum agrarian telah dapat dihapuskan. <br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-37383606624322468462010-04-28T13:15:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.454-07:00ILMU WARIS<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(255, 204, 0);"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">RUKUN-RUKUN DAN SYARAT-SYARAT MEWARISI<br /><br />M A K A L A H<br />Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah<br />“Hukum Kewarisan Islam”<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Oleh<br /> Syihabuddin : C01208081<br /> Khusnul Abidin : C01208082 <br /><br />Dosen Pembimbing:<br />H. Darmawan, MHi<br /><br /><br />FAKULTAS SYARI’AH<br />JURUSAN AHWAL AS-SAHSYIYAH<br />INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL<br />SURABAYA<br />2009<br /><br /></a></div><br /><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">RUKUN DAN SYARAT-SYARAT MEWARISI</a><br /><br /> Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari'at yang ditunjuk oleh nash-nash yang shorih, meski dalam soal pembagian harta pusaka sekalipun, adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukka ketidak wajibannya.<br /> Dalam pembagian harta pusaka tidaklah dibagi dengan pembagian secara acak atau suka rela akan tetapi pembagian tersebut didasarkan pada dalil-dalil yang telah termaktub dalam sumber hukum Islam, dan dalam proses pembagian harta pusaka ada beberapa syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus terpenuhi. Dalam pembahasan pertama ini diterangkan tentang ahli waris, syarat-syarat serta rukun-rukun penerimaan harta pusaka.<br /><br />A. Rukun-Rukun Waris-Mewarisi<br />Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan tiga rukun (unsur), yaitu :<br /><br />1. ا لوارس: وهو الذى اءلى الميت بسبب من أ سباب الميراث<br />2. المورث: وهو الميت حقيقة أوحكما مثل المفقود الذى حكم بمو ته<br />3. الموروث: ويسمي تركه وميراثا, وهو المال أ والحق المنقول من المورث الي الوارث<br /><br />1. Warisan (Mauruts): harta benda yang ditinggalkan dari si pewaris kepada ahli waris. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun disebut juga dengan Tirkah atau Turats <br />2. Pewaris (Muwarrits): yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun mati hukmy. Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati.<br />3. Ahli Waris (Warits): yaitu orang yang di hubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab pewarisan, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (ketururnan), dan hubungan han perwalian dengan si muwarris.<br /> Ketiga rukun di atas berkaitan antara satu dengan yang lainnya, ketigannya harus ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain, perwarisan tidak mungkin terjadi manakalah salah satu di antara ketiga unsur di atas tidak ada. dan dalam pembahasan singkat kali ini adalah Harta Peninggalan (Mauruts (Tirkah).<br />Mauruts (tirkah)<br />Mauruts atau tirkah adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia kepada orang yang tinggal atau ahli warits dan di benarkan oleh syariat. Apa-apa yang dipusakai atau yang ditinggalkan oleh orng yang meninggal harus di artikan sedemikian luas agar dapat difahami dan hal tersebut mencakup kepada:<br />1. Kebendaan dan Sifat-sifat yang Mempunyai Nilai Kebendaan.<br />Misalnya: benda-benda tetap, benda bergerak, utang si mayit yang menjadi tanggungan orang lain, denda wajib, uang pengganti qishas lantara tindakannya di ampuni atau yang membunuh adalah ayahnya sendiridan lain sebagainya.<br />2. Hak-hak Kebendaan, seperti hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu-lintas, sumberair minum, irrigasi pertanian, perkebunan dan lain sebagainya.<br />3. Hak-hak yang Bukan Kebendaan, seperti hak khiyar hak syuf'ah, hak memanfaatkan barang dan lainnya.<br />4. Benda-Benda yang Bersangkutan Dengan Orang Lain, misalnya benda-benda yang sedang di gadaikan oleh si mati, barang-barang yang sudah dibeli oleh si mati tetapi barangnya belum diterima dan lain sebagainnya. Hak milik seseorang yang bersangkutan dengan benda-benda tersebut disebut dengan hak ainiyah atau dain-ainy, duyunul mumtazah.<br /><br />B. Syarat-Syarat Waris-Mewarisi (pembagian harta pusaka)<br /> Pusaka-mempusakai berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya. Pengertian tersebut tidak sesekali bila orang yang bakal diganti kedudukannya masih ada dan berkuasa penuh terhadap harta miliknya atau orang yang bakal menggantinya tudak berwujud disaan penggantian terjadi. Apalagi diantara keduanya tredapat hal-hal yag menjadi sebuah penggalang.<br /> Oleh karena karena itu pusaka mempusakai itu memerlukan syarat-syarat tertentu. Seperti berikut:<br /><br />1. موت المورث حقيقة أوموته حكما كأن يحكم القاضي بموت المفقود<br />2. حياة الوارث بعد موت المورث ولو حكما كا لحمل<br />3. الاتو جد مانع من موانع الاءرث<br /><br />1) Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang).<br />2) Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun seperti anak dalam kandungan.<br />3) Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.<br /><br /> Dalam syarat-syarat mewaris para ulama' membedakannya kedalam pembagian yang lebih terperinci lagi. Diantaranya tentang<br /><br />pertama: matinya muwarris<br />Kematian muwarris itu, menurut ulama' dibedakan menjadi atau kepada 3 macam.<br />a. Mati Haqiqy (kematian yang sejati)<br />b. Mati Hukmy (menurut putusan hakim)<br />c. Mati Taqdiry (mati meurut dugaan).<br />a. Mati Haqiqy, ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh pancaindera dan dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari kematian seseoarang adalah bahwa seluruh harta yang ditinggalkannya setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak yang bersangkutan dengan hrta peninggalannya, beralih dengan sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup disaaat kematian muwarris, dengan syarat tidak terdapat salah satu dari halangan-halangan mempuskai.<br />b. Mati Hukmy, ialah satu kematian yang disebabkan karena adanyan vonnis hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan hidup atau mati. Sebagai contoh orang yang telah divonnis mati, padahal orang itu benar-benar masih hidup ialah vonis yang dijatuhkan kepada orang murtad yang melarikan diri da menggabungkan diri dengan musuh. Vonnis mengharuskan demikian karena dalam syari'at, selama tiga hari ia tiada bertaubat maka harus dibunuh. Contoh vonis seseorang, padahal ada kemungkinan ia masih hidup ialah vonnis yang dijatuhkan kepada si mafqud, yaitu orang yang tidak diketahui kabr beritanya, tak dikenal domisilinya dan tidak diketahui hidup dan matinya.<br />Jika hakim telah menjatuhkan vonnis mati terhadap dua jenis orang tersebut, maka berlakunya vonnis tersebut yakni sejak tanggal ditetapkan dan termuat dalam vonnis, biarpun larinya si murtad atau kepergian si mafqud sudah 15 tahun seelum vonis. Dan harta peninggalanya baru bisa diwarisi oleh ahlinya sejak tanggal itu juga. Oleh kerena itu ahli waris yang masih hidup sejak vonnis kematiannya berhak mempusakai, karena orang yang mewariskan seolah-olah telah mati sejati disaat vonnis itu dijatuhkan dan ahli waris yang telah mati mendahului vonnis maka sudah tidak berhak menerima warisan.<br />c. <a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Mati Taqdiry</a> ialah kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat tirjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan kepada ibunya untuk meminum racun. Kematian itu hanya semata-mata dugaan keras, sebab bisa juga disebabkan oleh yang lain, namun keras jugalah perkiraab atas akibat perbuatan samacam itu.<br /><br />Kedua: hidupnya warits di saat kematian muwarrita.<br /> Para ahli warits yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits, baik mati haqiqy maupun mati taqdiry, maka berhak mewarisi harata peninggalannya.<br /> Kedua syarat pusaka mempusakai sebagaimana telah diterangkan di atas menimbulkan masalah atau problema-problema. Antara lain pusaka mafqud, pusaka anak yang masih dalam kandungan, dan pusaka orang yang mati bebarengan. Dan selanjutnya problem iniperku dipecahkan karena menimbulkan keraguan tentang hidup mati mereka disaat kematian orang yang mewariskan.<br />a. Mafqud. Apabila sang mafqud telah mendapatkan vonnis hakim tentang kematiannya dan vonnis tersebut telah mendahului orang yang yang mewariskan, hal itu tidak mendahulukan sekalipun. Tetapi yang menimbulakn kesulitan dan menimbulakan beberapa ragam pendapat adalah dalam cara penyelesaiannya, yakni bila si mafqud sampai dengan saat kematian muwarris tidak mendapatkan vonnis yang tetap dari hakim tentang kematiannya. Masalahnya terletak apakah ia ditetapkan masih hidup, padahal tidak ada kabar beritannya dan apakah ditetapkan sudah mati padahal tidak ditemukan bukti yang otentik untuk membuktikannya. Hanya saja untuk menjaga barangkali dia masih hidup maka penerimaan pusakanya ditahan dulu sampai batas waktu yang telah ditentulkan. Bila dikemudian hari bila waktu yang ditentukan belum habis dan dia datang maka bagian yang ditahan dan yang disediakan untuknya diberikan untuknya. Akan tetapi bila dia sudah mati denagn didasari dengan bukti yang otentik maka harta yang ditahan dan disediakan untuknya dikembalikan kepada ahli waris menurut perbandingan furudh mereka masing-masing.<br />b. Orang Yang Mati Bebarengan. Dua orang atau lebih dari orang-orang yang saling berhak pusaka mempusakai yang mati berbarengan, misalnya seorang bapak bersama dengan anaknya tenggelam bersama-sama di lautan atau terbakar bersama-sama dalam sebuah kebakaran maka salah satu dari mereka tidak dapat mempusakai dari yang lain, lantaran tidak jelas hidupnya disaat kematian yang lain. Dengan kata lain tidak diketahui siapa yang mati dahuluan dan siapa yang kemudian, dan harta mereka diwarisi oleh ahli waris mereka yang masih hidup disaat kematian mereka.<br /><br />Ketiga : tidak adanya mani' atau penghalang.<br /> Meskipun dua syarat warits mewarisi itu telah ada pada muwarits dan warrits, namun salah seorang dari mereka tidak dapat mempusakakan harta peninggalannya kepada yang lain atau mempusakai harta peningalan dari yang lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam penghalang yang dapat menjadikan tidak mendapatkannya warisan, yakni; perbudakan, pembunuhan, murtad, perbedaan negara.<br /><br />KATA PENGANTAR<br /><br />Segala puji kami panjatkan kepada Tuhan yang telah mewariskan bumi dan seisinya ini kepada kita semua. Dan kami panjatkan do’a selawat dan salam sejahterah kepada jujungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga sahabat-sahabat serta pengikut beliau yang setia, yang telah mewariskan Syari’at Islam kepada kita seluruhnya.<br />Penulis sendiri sadar bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan yang penulis lakukan, oleh karena itu saran dan kritik membangun dari pembaca senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga makalah yang berjudul "Rukun Dan Syarat-Syarat Mewarisi" ini bermanfaat bagi bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><a style="color: rgb(0, 102, 0);" href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Rahman, Drs. Fatchur, Ilmu Waris, Al-Ma'arif Bandung. 1971.<br />Usman, Suparman, dkk, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama. Jakarta. 1997.<br />Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Yogyakarta, 1954<br />Umam, Drs. Dian Khairul, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia Bandung. 1999.<br />As-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Waris Dalam Syari'at Islam, Diponegoro Bandung. 1987.<br />Haffas, SH, Mustofa dan Prof. Dr. H. R. Odje Sulman S, SH, Hukum Waris Islam, Rafika Adi TamaBandung, 2001.<br /></a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-6078452203352208872010-04-28T13:12:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.467-07:00PEMINANGAN DAN KAFA'A DALAM PERNIKAHAN<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; color: rgb(255, 204, 0); font-weight: bold;"><span style="font-size:130%;">PEMINANGAN DAN KAFA'A DALAM PERNIKAHAN<br />MAKALAH<br />Di Ajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah<br />“Hukum Perkawinan Islam ”<br /><br /><br /><br />Oleh:<br /> Abdullah Muhdi Al-Wasiq : CO1208060<br /> Moh. Zainul wasbir : CO1208069<br /> Nur Hammas Falistina : CO1208075<br />Dosen Pembimbing:<br />Bapak Abdul Bashid<br /><br />FAKULTAS SYARI’AH<br />JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH<br />INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL<br />SURABAYA<br />2009<br /><br /><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0);">BAB I</span><br /></span></div><div style="text-align: center; color: rgb(0, 102, 0);">PENDAHULUAN<br /></div><br /> Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?<br /> Makalah singkat yang kami susun ini akan membahas tentang peminangan, yaitu sebuah prosesi awal sebelum menginjak kepada tangga pernikahan. Prosesi yang melibatkan calon mempelai beserta wali-walinya. Peristiwa yang bertujuan untuk saling mengenal agar lebih erat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk saling hidup bersama. Tentang ini, kami akan membahasnya pada bab III.<br /> Pada bab IV kami akan membahas tentang kafa’ah atau keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama yang menentang kafa’ah, sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama yang menganut empat mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hanabilah, sepakat dengan adanya kafa’ah walaupun dengan sudut pandang yang berbeda.<br /> Harapan kami, pembahasan tentang Peminangan Dan Kafa’ah ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah fiqh munakahat ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.<br /> Tidak lupa, ucapan terima kasih kami kepada bapak Abdul Bashid, yang telah membimbing dan membantu kami dalam mempelajari mata kuliah ini. Semoga apa yang telah beliau lakukan dibalas oleh Allah dengan Ridho dan Jannah-nya.<br /> Begitu pula dengan teman-teman AS-B yang telah mensupport kami dalam pembuatan makalah ini, baik materil maupun immateril sehingga dapat dibaca oleh seluruh teman-teman.<br /> Akhir kata, kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini kami harapkan. Semoga apa yang telah kita lakukan dan diskusikan nantinya, bermanfaat bagi kita semua. Amiiiin.......<br /> Wassalam. Surabaya, 06 Oktober 2009<br /><br />BAB II<br />MEMILIH JODOH<br /><br /> Dalam Pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai sengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup. Oleh karenaitu, seseorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnyaitu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.<br /> Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah: karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan anak keturunan; karena kekayaannya; karena kebangsawanannya, dan karena keberagamaannya. Di antara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama dijadikan motivadi adalah karena keberagamaannya. Hal ini dijelaskan nabi dalam haditsnya yang mutaffaq alaih berasal dari Abu Hurairah, ucapan Nabi yang bunyinya:<br />تنكح المراة لاربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها قاظفر بذات الدين تربت يداك<br />Perempuan itu dikawini karena empat perkara, karna hartanya, kedudukan atau kebangsawaannya, karena kecantikannya dan karena keberagamaannya. Pilihlah perempuan karena keberagamaannya, maka kamu akan mendapat keberuntungan.<br /> Yang dimaksud keberagamaan disini adalah komitmen keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika akan lenyap dan kecantikan suatu ketika akan dapat pudar, demikian pula kedudukan, suatu ketika akan hilang.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;">BAB III<br />PEMINANGAN<br /></div><br />A. Arti <a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Peminangan</a><br /> Setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dikawini sesuai dengan kriteria sebagaimana disebutkan diatas, langkah selanjutnya adalah menyampaikan kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu disebut dengan khitbah atau yang dalam bahasa melayu disebut "Peminangan".<br /> Kata khitbah () adalah bahasa arab yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.<br /> Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih mendifinisikannya dengan, menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini.<br /> Peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.<br /> Lafadz merupakan bahasa arab standart yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari; tedapat dalam Al-Qur'an sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 235.<br /> • • • <br />235. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.<br /> Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam hadits dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:<br />ااذ خطب احدكم المراءة فان استطاع ان ينظر منها ما يدعو الى نكاحها فليفعل<br />Bila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah.<br /> Peminangan itu disyari"atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Diantaranya pihak laki-laki yang mengajukan pinangan kepada pihak perempuan dan adakalanya pihak perempuan yang mengajukan pinangan ke pihak laki-laki. Syari'at menetapkan aturan-aturan tertentu dalam peminangan ini, dalam tradisi islam sebagaimana tersebut dalam Hadits Nabi yang mengajukan pinangan itu dari pihak laki-laki itu sendiri yang datang ke pihak perempuan itu untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada dalam status orang yang menerima pinangan.<br /><br /> B. Hukum Peminangan.<br /> Dalam al-Qur'an dan hadits banyak Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al qur'an maupun dalam hadist nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.<br /><br /> C. Hikmah Disyari'atkan Peminangan<br /> Setiap hukum yang disari'atkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin al-Syu'bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:<br />اانه قال له وقد خطب امراءة انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينكما<br /> Bahwa nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag seseorang perempuan: "melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.<br /><br /> D. Syarat-Syarat Orang Yang Boleh Dipinang<br /> Pada dasarnya peminangan itu adalah sebuah proses awal dari perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang segara hukum syar' boleh dikawini oleh seorang laki-laki, boleh dipinang. Hal ini berarti tidak boleh meminang orang-orang yang secara syara' tidak boleh dikawini.<br />Perempuan yang dingikan untuk dikawini oleh seorang laki-laki dapat dipisahan dalam beberapa bentuk:<br />1. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan meskipun dalam kenyataannya telah ditinggalkan oleh suaminya.<br />2. Perempun yang ditinggal mati oleh suaminya, baik ia telah digauli suaminya atau belum dalam artian ia telah menjalani massa iddah** mati dari mantan suaminya.<br />3. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya secara tala' ra'ji dan dalam masa iddah raj'i<br />4. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya dalam bentuk talak bain dan sedang menunggu masa iddah tala' bain.<br />5. Perempuan yang belum kawin.<br /><br />Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan ada dua cara:<br />• Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam artian tidak mungkin difahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan: "saya berkeinginan untuk mengawinimu."<br />• Menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dalam istilah kinayah. Yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan: "tidak ada orang yang tidak suka kepadamu"<br /> Perempuan yang belum pernah kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddanya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh juga dengan ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seseorang yang masih punya suami meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia boleh dikawini,baik dengan menggunakan bahasa yang jelas seperti "bila kamu di cerai oleh suamimu maka maka saya akan mengawinimu" atau dengan bahasa sindiran seperti "jangan khawatir dicerai suamimu saya yang akan melindungimu".<br /> Perempuan-perempuan yang telah dicerai oleh suaminya dan telah menjalani iddah raj'i, sam kedudukannya dengan orang yang sedang mempunyai suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinanag baik dalam bahasa terus terang maupun dengan bahasa sindiran. Alasannya ialah: bahwa perempuan dalam iddah tala' raj'i kedudukannya sama dengan perempuan yang sedang dalam perkawinan.<br /> Perempuan yang sedang menjalani iddah* karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan terus terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran. Kebolehan meminang perempuan yang kematian suami dengan sindiran ini dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Baqorah ayat 235:<br /><br /> • • • <br />235. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf . dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.<br /> Perempuan yang menjalani iddah dari tala' bain dalam bentuk fasakh atau talak tiga, tidak boleh dipinang secara terus terang namun dapat dilakukan dengan sindiran, sebagaimana yang telah berlaku pada perempuan yang ditinggal mati suaminya. Kebolehan ini oleh karena itu dengan talak bain tersebut telah putus hibunagnnya dengan suaminya.<br /> Disamping perempuan yang bersuami atau yang telah putus perkawinannya sebagaimana disebutkan diatas, juga tidak boleh meminag perempuan yang sudah dipinang orang lain. Keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi menjadi tiga hal:<br /> Pertama: perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinanangan itu atau memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.<br /> Kedua: perempuan itu tudak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidak setujuannya baik dengan ucapan, tindakan, syarat.<br /> Ketiga: perempuan itu tidak memberika jawaban yang jelas namun ada isyarat kalau dia menyenangi peminangan itu.<br /> Perempuan dalam keadaan pertama di atas tidak boleh dipinang oleh seseorang karena pinangan pertama secar jelas telah diterima, sedangkan dalam keadaan yang kedua boleh dipinang karena pinangan yang pertama jelas di tolaknya. Dan adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama'di antaranya Ahmad bin Hambal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan dengan perempuan dalam keadaan pertama. Dan sebagian ulam' berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.<br />E. Melihat Perempuan Yang Dipinang.<br /> Waktu berlangsungnya peminangan laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perenpuan yang dipinangnya, meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada perempuan. Kebolehan itu didasarkan kepada hadits nabi dari jabir menurut riwayat ahmad dan abu daud yang berbunyi:<br />ااذ خطب احدكم المراءة فان استطاع ان ينظر منها ما يدعو الى نكاحها فليفعل<br />"Bila seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahinya,maka lakukanlah".<br /> Dalam ibarat lain hadits nabi mengatakan:<br />انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينهما<br />"memandanglah kepadanya, karena yang demikian itu akan lebih melanggengkan perkawinan."<br />F. Batas Yang Boleh Dilihat<br />Meskipun hadits nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama'.<br />• Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.<br />• Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.<br />• Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.<br />• Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.<br />• Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB IV <br />KAFA'AH<br /></div><br />A. Pengertian<br /> Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.<br /> Tidak diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding, akan merupakan faktor kebahagiaan hidup suami isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.<br />Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya.<br />Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.<br /> B. Hukum Kafa’ah<br />Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak membuat aturan tentang kafa’ah. Maka dari itulah pembicaraan mengenai kafa’ah menjadi pembicaraan dikalangan ulama, karena tidak ada dalil yang mengaturnya dengan jelas dan spesifik, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.<br />Bila demikian halnya, wajar bila beberapa ulama berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya. Ibnu Hazm pemuka madzhab Zahiriyah yang dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa’ah dalam perkawinan. Ia berkata bahwa setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh kawin dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan perempuan pezina.<br />Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya berefek domino pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa’ah dalam pernikahan sendiri, ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama’ terbagi menjadi 2 poros dalam menanggapi kedudukan kafa’ah dalam pernikahan.<br />Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat:<br />ان اكرمكم عندالله اتقاكم<br />Orang yang paling muliyah disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antaramu.<br />Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis itu berbunyi,<br />لا تنكح النساء الا من الاكفا ولا تزوجوهن الا من الاولياء<br />Janganlah kamu mengawinkan perempuan kecuali dari yang sekufu dan janganlah mereka dikawinkan kecuali dari walinya.<br />Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.<br />Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.<br />C. Dasar-Dasar Kafa’ah<br />Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah.<br />a. Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah<br />1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.<br />2. Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.<br />3. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.<br />4. Kemerdekaan dirinya.<br />5. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.<br />6. Kekayaan.<br />b. Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:<br />1. Diyanah<br />2. Terbebas dari cacat fisik.<br />c. Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:<br />1. Nasab<br />2. Diyanah<br />3. Kemerdekaan dirinya.<br />4. Hirfah.<br />d. Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:<br />1. Diyanah<br />2. Hirfah<br />3. Kekayaan<br />4. Kemerdekaan diri<br />5. Nasab<br />Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah (32):18<br />افمن كان مؤمنا كمن كان فاسقا لا يستوون<br />Orang-orang yang beriman tidaklah sama dengan orang-orang fasik, mereka tidaklah sama.<br />dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya<br />D. Siapa Yang Menentukan Ke-Kufu'an Dan Kapan Waktu Mengukur Kufu?<br />Yang menentukan ukuran kufu ialah laki-laki bukan perempuan. Laki-laki yang dikenai persyaratan itu hendaknya ia kufu dan setarafdengan perempuannya, dan bukan sebaliknya, yaitu perempuan yang harus kufu dengan laki-laki.<br />Alasannya adalah isteri yang kedudukannya lebih tinggi biasanya ia merasa aib, baik secara pribadi maupun walinya bila mana ia dikawin dengan laki-laki yang tidak kufu. Tetapi laki-laki yang terpandang tidak aib jika isterinya itu berada dibawah derajadnya.<br /> Adapun kufu diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai aqad nikah terjadi kekurangan-kurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu dan tidak pula membatalkan apa yang sudah terjadi itu sedikitpun, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikahnya. Karena syarat-syarat perkawinan hanya di ukur ketika berlakunya aqad nikah. Jika pada waktu berlakunya aqad nikah, suami pekerjaanya mulia dan mampu memberi nafkah isterinya atau orang yang saleh, kemudian dibelakang hari terjadi perobahan, umpamanya pekerjaanya kasar atau tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada Allah naka aqad nikahnya tetap sah.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;">BAB V<br />KESIMPULAN<br /></div><br /><br /> Setelah membaca makalah tentang peminangan dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting yang dapat kita ambil. Setidaknya adalah sebagai berikut:<br />• Peminangan adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara langsung.<br />• Tidak ada dasar yang jelas dan spesifik tentang suruhan peminangan. Oleh karena itu kebanyakan dari ulama menyatakan hukumnya mubah, walaupun diantara mereka ada yang mewajibkannya dengan mengatakan bahwa pinangan adalah tradisi nabi.<br />• Hikmah dari pinangan adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan menikah.<br />• Peminangan ada dua macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang yang dipinang.<br />Ada banyak persoalan yang terjadi dalam ruang lingkup peminangan. Bahwa Peminangan tidak sama dengan pernikahan yang berarti ada norma yang harus tetap dijaga. Ketidakbolehan seseorang untuk meminang seseorang yang telah dipinang. Begitu pula tentang persyaratan yang membatasi orang-orang yang boleh dipinang. Bahwa orang yang dilarang dinikahi merekalah yang dilarang untuk dipinang. Begitu pula dengan perempuan yang masih dalam masa iddah. Tentang pembatasan penglihatan yang masih dalam perdebatan para ulama. Penulis berpendapat bahwa melihat wajah dan tangan saja dirasa cukup untuk mewakili seluruh diri perempuan sebagaimana disampaikan Syafi’i. Adapun tentang waktu penglihatan, apakah ketika hajah atau boleh kapan saja asal tidak syahwat atau hanya sebelum pinangan saja, penulis berpendapat bahwa melihat perempuan kapan saja tanpa syahwat lebih semangat dan lebih fleksibel dari pada yang lainnya.<br /><br /> Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.<br />Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah.<br />Hukum kafa'ah sendiri para ulama' tidak sama meskipun ada sedikit kemiripan seperti halnya yan kita lihad pada keempat imam madzhab.<br />Dalam penentuan kufu yang dijadikan ukuran adalah suamu atau laki-laki karena jika isteri yang kedudukannya lebih tinggi biasanya ia merasa aib, baik secara pribadi maupun walinya bila mana ia dikawin dengan laki-laki yang tidak kufu. Tetapi laki-laki yang terpandang tidak aib jika isterinya itu berada dibawah derajadnya.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Amir Syarifuddin, 2009.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta.<br />Sayyid Sabiq, 1993.Fikih Sunnah 7, Al-Ma'arif: Bandung<br />Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Trinity Optima Media<br />Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Cv-Asy Syifa' Semarang 1990<br />Dr. H. Amirul Nurudin. Ma, Drs. Azhari Akmal Tarigon, Mag, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Preneda Media 2004. Jakarta<br /></a><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-53857014683617145232010-04-28T13:10:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.483-07:00HUKUM PIDANA<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; color: rgb(204, 0, 0);"><span style="font-weight: bold;">PENGERTIAN HUKUM PIDANA</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">MAKALAH</span><br /><span style="font-weight: bold;">Di Ajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah</span><br /><span style="font-weight: bold;">“Hukum Pidana”</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;"> </span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Oleh</span><br /><span style="font-weight: bold;">syifaul qulub</span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dosen Pembimbing :</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">FAKULTAS SYARI’AH</span><br /><span style="font-weight: bold;">JURUSAN MU'AMALAH</span><br /><span style="font-weight: bold;">INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL</span><br /><span style="font-weight: bold;">SURABAYA</span><br /><span style="font-weight: bold;">2009</span><br /></div><br /><br /><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">PENGERTIAN HUKUM PIDANA</a><br /><br />Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara ,yang mengadakan dasar-dasar atau aturan untuk:<br />1. Menentukan mana yang tidak boleh dilanggar,yang dilarang, disertai dengan ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.<br />2. Menentukan kapan & dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan pidana sebagai mana yang telah di ancamkan.<br />3. menetukan dengan cara bagaimana penggenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ad orang yang disangkah telah melanggar larangan tersebut.<br /><br /> Rumusan di atas agak panjang dan memerlukan sekedar penjelasan, hal mana terdapat di bawah ini:<br />a) Hukum pidana adalah bagian dari keseluruan hukym yang berlaku di suatu negara, bagian lain-lain adalah hukum perdata, hukum tata negara, hukum agraria, hulum perbururhan dan lain sebagainya.biasanya bagian hukum tersebut terbagi dalam dua jenis yaitu hukum piblik dan hukum privat, dan hukukm pidana ini di golongkan dalam golongan hukim publik yaitu mangatur hubungan antar negara dan perseorangan atau mengatur harta peninggalan.sebaliknya hukum privat mengatir hubungan perseorangan/mengatur kepentingan perseorangan.<br />b) Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan di ancam hukum pidana.<br />c) Tentang penetuan-penetuan perbuatan yang dipandnag sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas. Yakni asas yang menetukan bahwa hukum bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus diteantukan sebagai demikian oleh Undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada.<br />d) Barang siapa melakukan hukum pidan adi ancam dengan pidana, akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana, sebaba untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbinyi "tidak ada pidan bila tidak ada kesahan".<br />e) kalau yang ditulis dalam ke-1 dari rumusan hukum pidana diatas adalah mengenai perbuatan pidana (criminal act), maka yang disebut dalam ke-2 adalah mengenai pertanggung jawaban hukum pidana, semua peraturan yang mengenai kedua bidang diatas merupakan apa yang dinamakan Hukum Pidana Material oleh karena mengenai isisnya hukum pidana sendiri.<br />Sebaliknya, yang disebut dalam ke-3 adalah mengenai bagaimana cara atau prosedurnya untuk menuntut kemuka pengadilan orang-orang yang disangkah melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu, bagian hukum pidana ini, dinamakan hukum pidana formal.<br />f) Rumusan makna hukum pidana yang disebut diatas adalah berbeda dengan rumusan-rumusan yang biasa dipakai, sebagai contoh misalnya : Prof.Mezger, Munchen Jerman dalam bukunya "Strafrecht Allgemeniner Tell", disini dikatakan bahwa hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan(menghubungkan) suatu pidana sebagai akibat hukum kepada suatu perbuatan yang telah dilakukan.<br /> Definisi ini, meskipun secara teoritis adalah benar, tetapi oleh karena tidak memberi gambaran tentang isinya hukum pidana hukum pidana itu tadi, bahkan hanya menyebut akibat hukumnya saja, maka tidak memuaskan.<br />g) Ada dua hal yang perlu ditegaskan yaitu :<br /> Pertama: Bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berdiri sendiri, dengan ini ditolak pendapat bahwa hukum pidana adalah bergantung pada bagian-bagian hukum lainnya dan hanya memberi sangsi saja pada perbuatan –perbuatan yang telah dilarang dalam bagian hukum lainnya itu. Dalam buku Prof.Van kan. Inleiding Rechtsetenshap 1931 pa; 84, pendapat seperti ini dinyatakan sebagai berikut:<br /> "Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban –kewajiban yang dulunya telah ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancman pidana dan pemidanaan.<br /> Hukum pidana memberikan sangsi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada,tetapimengadakan norma yang baru, ini tidak. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sangsi.<br /> Pandangan seperti ini, memang yang sesuai dengan anggapan bahwa pikiran primer mengenai straf-baar feit adalah: dapat dipidananya orang yang melakukan perbuatan.Hal mana sesuai pula dengan pandangan individual liberal, dimana pada pokoknya diajarkan, bahwa tiap-tiap orang adalah bebas dalam mengatur hidupnya menuju kepada kebahagiaan sendiri, pandangan ini jelas telah ditolak oleh rakyat kita yang memilih bukannya menuju kebahagiaan masing-masing orang tapi kebahagiaan seluruh masyarakat bersama, yaitu masyarakat yang adil dan makmur dengan keridlaan Tuhan YME, dan disini sifat yang primer dari hukum pidana adalah bahwa disitu dengan tegas ditentukan perbuatan mana yang dilarang, karena merugikan atau membahayakan keselamatan seluruh masyarakat.<br /> Jika dipikirkan, maka pandangan bahwa hukum pidana adalah hukum sangsi belaka, tapi tidak menentukan norma sendiri, sesungguhnya merupakan pandangan dilihat dari segi masyarakat dalam mana perbuatan itu terjadi.<br /> Pandangan ini akan nampak kebenarannya manakala ditentukan aturan pidana yang melarang perbuatan-perbuatan yang tertentu yang pada pertamanya tidak terasa sebagai perbuatan keliru.<br /> Kedua : Berhubungan dengan defnisi tersebut, maka yang penting dalam hukum pidana bukan saja hal memidana si terdakwa, akan tetapi sebelum sampai kepada itu terlebih dahulu harus ditetapkan apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana atau tidak, dan aspek atau segi dari hukum pidana itu, yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan pidana atau bukan, dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipertanggumg jawabkan karena perbuatanya atau tidak, hal itu jangan dicampur adukan, sebab masing-masing ini sifatnya berlainan.Adanya perbuatan pidana didasarkan atas azas, tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak ada azas dan ditentukan oleh undang-undang; dalam bahasa latin: Nullum Delictum, Nulla Poena Fine Praevia Lege. Sedangkan penanggung jawab dalam hukum pidana berdasarkan atas azas: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><a style="color: rgb(255, 204, 0);" href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Prof. Satochid Kartanegara, SH. 1990, Hukum Pidana bagian I, Balai lektur Mahasiswa.<br />Prof. Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bineka Cipta).<br />Drs. Kansil, 1989, Penghantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka).<br /> </a><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-81183570647712476562010-04-28T13:06:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.496-07:00ULUMUL QUR'AN<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-size:180%;"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/"><span style="color: rgb(153, 0, 0);"><span style="font-weight: bold;">ULUMUL QUR'AN</span></span></a></span><br /><br />BAB 1<br />SEPUTAR ULUMUL QUR'AN<br /></div><br />A. Pengertian Ulumul Qur'an<br />Ulumul Qur'an adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al Qur'an. Misalnya: Asbabun Nuzul, Makiyah dan Madaniyah, Nasakh dan Mansukh, I'jazul Qur'an dll.<br />Secara lengkap Al Qur'an memuat lima unsur pengertian, yaitu :<br />1. Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad<br />2. Yang tertulis dalam mushaf<br />3. Yang dinukil (disalin) secara Mutawattir (diketahui oleh orang banyak)<br />4. Yang tercatat ibadah bagi orang yang membacanya<br />5. Yang dimulai dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas<br />Pengertian Al Qur'an menurut istilah menyebutkan dua unsur, yaitu :<br />1. Menurut Ahli Kalam Al Qur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad<br />2. Mmmanurut Ahli Ushul al qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang dimulai dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas<br />Menurut Etimologi Al Qur'an Disampaikan Oleh Lima Tokoh, Yaitu<br />1. Al Lihyani yang mengatakan bahwa Al Qur'an berasal dari kata Qoroa yang berarti bacaan<br />2. Az Zujaj mangatakan bahwa Al Qur'an berasal dari kata Al Qor'u yang berarti Al Jam'u yaitu kumpulan dari kebenaran<br />3. Abu Musa Al Asy'ari mengatakan bahwa Al Qur'an berasal dari kata Qorona yang berarti mengumpulkan kebenaran<br />4. Al farra' yang mengatakan bahwa Al Qur'an berasal dari kata Al Qorinah yang berarti bukti-bukti kebenaran<br />5. Asy Syafi'i yang mengatakan bahwa Al Qur'an tidak diambil dari kata apapun (isim murtajal) yang berarti Al Qur'an adalah nama kitab suci yang diturunkan kepada nabi muhamad) <br />B. Obyek Pembahasan Ulumul Qur'an<br />Berikut ini adalah tokoh-tokoh yang membagi obyek pembahasan Ulumul Qur'an<br />1. Al Jumhur; mengatakan bahwa obyek dari ulumul qur'an adalah membahas tentang ilmu pengetahuan islam dalam bahasa alam<br />2. Imam Suyuti; mengatakan bahwa obyek dari ulumul qur'an adalah pengetahuan umum<br />3. Imam Az Zarkoni membagi obyek pembahasan ulumul qur'an menjadi dua, yaitu :<br />a. Muaudli'i yaitu segala sesuat yang tertulis dalam Al Qur'an<br />b. Imami yaitu ilmu-ilmu mengenai kehidupan sehari-hari misalnya fisika, kimia dan lain-lain<br />4. Hasbi Ash Shiddiqi membagi obyek pembahasan Ulumul Qur'an menjadi delapan macam yaitu:<br />a. Nuzulul Qur'an<br />b. Tarkibul Qur'an<br />c. Pengumpulan Al Qur'an<br />d. Qiro'atul Qur'an<br />e. Kitabatul Qur'an<br />f. Tafsilul Qur'an<br />g. I'jazul Qur'an<br />h. Nasakh dan Mansukh<br />5. Muhammad Bin Ali Ash Shabuni membagi obyek pembahasan Ulumul Qur'an menjadi :<br />a. Asbabun Nuzul<br />b. Tarkibul Qur'an<br />c. Pengumpulan Al Qur'an<br />d. Qiro'ah<br />e. Kitabatul Qur'an<br />f. Tarkibul Qur'an<br />g. Makiyyah dan Madaniyyah<br />h. Nasakh dan Mansukh<br />i. Muhkamad dan Mutasyabihat<br /><br />C. Hikmah Mempelajari Ulumul Qur'an<br />1. Alatut Tafsir, yaitu Ulumul Qur'an dapat dipakai sebagi alat menunjang dalam penafsiran ayat<br />2. Alatul Hujjah, yaitu Ulumul Qur'an dapat dijadikan alat dalam menyampaikan dalil kebenaran Al Qur'an<br />3. Alatut Tafhim, yaitu Ulumul Qur'an dapat dijadikan alat untuk memahamkan dalam petunjuk, iman dan taqwa.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB II<br /><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">SEPUTAR SEJARAH PERKEMBANGAN<br />ULUMUL QUR'AN</a><br /></div><br />A. Pengertian Sejarah Ulumul Qur'an<br />Yang dimaksud sejarah Ulumul Qur'an adalah riwayat perkembangan ulumul Qur'an dari masa ke masa. Misalnya periodesasi perkembangan Ulumul Qur'an ditinjau dari zaman Rasulullah, zaman sahabat, tabi'in, tabi’ut tabi’in, dapat pula perkembangan ulumul Qur'an dilihat dari abad ke abad.<br /><br />B. Perkembangan Sejarah Ulumul Qur'an<br />Menurut Hasby ash-Shiddiqi perkembangan ulumul Qur'an dibedakan atas:<br />1. Zaman Rasulullah yaitu zaman Nabi Muhammad setelah diutus menjadi Rasul yaitu usia 40 tahun – 63 tahun. Yaitu di Mekah 13 tahun, di Madinah 10 tahun. Ulumul Qur'an lahir pada abad 3 hijriyah, ulumul Qur'an baru lahir karena munculnya seorang tokoh yaitu Muhammad bin Khalaf al Marzuban (bapak ulumul Qur'an) dengan kitabnya yang berjudul “al-Hawi fi Ulumul Qur'an” karena dianggap memuat disiplin ilmu.<br />a. Harus punya obyek pembahasan<br />b. Metodologi<br />c. Sistematika<br />Metode pembelajaran pada zaman Rasul:<br />a. Syafahi: penuturan secara lisan/dari mulut ke mulut.<br />b. Talqin: individual<br />Zaman Rasulullah ulumul Qur'an belum lahir karena:<br />a. Masalah-masalah dapat diatasi Rasul.<br />b. Tokoh-tokoh ulama masih bersifat parsial dalam menyampaikan gagasannya, misalnya hanya mengupas nuzulul Qur'an, Makiyah Madaniyah, nasakh mansukh.<br />2. Periode Sahabat<br />Sahabat adalah orang yang hidup zaman Rasulullah dan beriman misalnya Abdullah bin Abbas, Zaind bin Tsabit, Abu Musa al-Asyar.<br />a. Zaman khalifah Usman<br />- Beliau menyeragamkan bacaan.<br />- Tulisannya harus ditulis dengan model khalifah Usman<br />b. Zaman khalifah Ali <br />Al-Qur'an ditafsirkan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. tokoh zaman sahabat adalah 4 sahabat besar. Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit penulis wahyu Abdullah bin Asmi Abu Musa al-Asy'ari Abdullah bin Umar Ubay bin Ka’ab<br />3. Zaman Tabi’in<br />Tabi’in adalah murid-murid sahabat, mereka hidup pada zaman sahabat. Adapun para tabi’in, antara lain: Mujahid Qatadah Ato' binYasar Zaid bin Aslam Ikrimah<br />Adapun generasi selanjutnya namanya tabiut tabi'in, generasi-generasi selanjutnya adalah murid-murid mereka. dalam masa 100 tahun akan dimunculkan seorang tokoh, sehingga ada muncul pembagian periode yang lain menurut tinjauan abad ke abad.<br />Tabiut tabi'in yang terkenal adalah Anas bin Malik yang diikuti oleh iman Abu Hurairah.<br />Tokoh tabi’in yaitu Malik bin Anas, kemudian dari generasi ke generasi dipegang oleh para ulama:<br />اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الاَنْبِيَاءِ (الحديث)<br />اِنَّمَا يَخْشَ اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاءْ (الاية)<br /><br />C. ??????<br /><br />D. Tinjauan Sejarah dari Abad ke Abad<br />Pada abad ke-II yaitu mufassirin (مفسرين)<br />Diantara ulama' abad ke-II yang menyusun tafsir<br />1. Sufyan bin Ayainah<br />2. Syu’ban bin al-Hajjah<br />3. Waki’ bin al-Jarah<br />Tafsir dibagi menjadi 2, yaitu:<br />1. بالمأثور (نقلى) : dari Rasul dan sahabat<br />2. ياارأى (اجتهادى) : dari sahabat<br />Pada abad III H, para ulama mulai menyusun beberapa ilmu Qur'an adalah:<br />1. Muhammad bin Khalaf al-Marzuban menyusun kitab al-Hawi fi Ulumil Qur'an (bapak ulumul Qur'an yang pertama).<br />2. Ali bin al-Madini menyusun ilmu Asbabun Nuzul<br />3. Muhammad bin Ayyub al-Dhirris menyusun ilmu Makki wal Madani<br />4. Abu ubaid al-Qasim bin Salam, menyusun ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ilmu Qira'at.<br />Motivasi<br />1. Surat Hud ayat 120 hikmahnya menambah iman dan taqwa.<br />2. Surat Imron 164 Allah memberikan nikmat kepada orang mukmin<br />لقد منَّ الله على المو منين ادتَعَثَ فيهم رسولا<br />فى كُلِّ رَأَسِ مِاةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّ دُها<br />Dalam seratus tahun ada orang yang memperbaruhinya.<br /><br /><div style="text-align: center;"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">BAB III<br />NUZULUL QUR'AN<br /></a></div><br />A. Pengertian<br />Nuzul diambil dari kata نَزَلَ-يَنْزِلُ yang diartikan turun, jika dibedakan maka menjadi “turunnya” sehingga artinya turunnya al-Qur'an.<br />Sedangkan menurut istilah adalah:<br />1. Ar-Raghib al-AShfihani mengatakan bahwa نُزُوْل artinya meluncur dari atas ke bawah yaitu dari lauhul mahfud ke dunia melalui Nabi Muhammad dengan transit/singgah dari baitul izzah sebelum turun kepada Nabi. Jadi maksudnya Allah menurunkan wahyu berupa al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW.<br />2. Sedangkan menurut iman Zama’syar'i nuzul berarti<br />اِبْتَمَاعُ اَيَةٍ اَيَةً اُخْرَى<br />Menurut sebagai ulama Qur'an diturunkan secara تَدَرِجُ yaitu berangsur-angsur.<br /><br />B. Pentahapan Turunnya Al-Qur'an<br />Pentahapan turunnya ada 3 yaitu:<br />1. Al-Qur'an berada di lauh mahfud yaitu tempat yang terpelihara sebagai aslinya al-Qur'an (al-Buruj ayat 21-22).<br />2. Al-Qur'an di Bait al-Izzah, yakni rumah perkasa.<br />3. Al-Qur'an berada di dunia yaikni diterima oleh Rasulullah baik di Mekah dan Madinah.<br />Di Mekah diturunkan selama 13 tahun, 5 bulan, 13 hari.<br />Di Madinah diturunkan selama 9 tahun, 9 bulan, 9 hari.<br />Hadits riwayat hakim dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ra dari Nabi Muhammad SAW. bersabda.<br />فُصِّلَ الْقُرْانُ مِنْ الذِّكْرِ فَوُ ضِعَ فِى بَيْتِ الْعِزَّةِ مِنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَجَعَلَ جَبْرِيْلُ يُنَزَّلُ بِهِ عَلَى النَّبِىِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسِلَّمَ<br />Artinya:<br />“Al-Qur'an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di baitul izzah dari langit dunia, kemudian mulailah malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.”. (HR. Hakim dari ibnu Jubair dari ibnu Abbas ra).<br /><br />C. Khilafiyah Ulumul<br />Al-Baqarah: 185 al-Qur'an turun pada bulan Ramadhan tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan. Al-Qadar ayat 1: al-Qur'an diturunkan pada malam lailatur qodar adalah malam 10 akhir yang ganjil bulan Ramadhan, yaitu: 21, 23, 25, 27, 29. Diturunkannya ayat ini dimaksud untuk memberikan bonus kepada umat Nabi Muhammad yang usianya rendah/pendek 84 tahun 3 bulan yaitu malam 100 bulan.<br />1. Imam al-Hakim, hadits yang menentukan titik terang.<br />Al-Qur'an diturunkan dari lauh mahfud ke langit dunia yaitu baitul maqdis kemudian malaikat Jibril menurunkan ke Muhammad (al-Buruj, 21-22)<br />2. Hadits Ibnu Abbas, al-Qur'an diturunkan sekali pada malam lailatul qodar dan al-Qur'an bagian lain turun selama 20 tahun (20 lailatur qodar) kemudian diturunkan oleh malaikat Jibril secara berangsur-angsur.<br />3. Al-Qur'an turun sebagian pada malam lailatur qodar untuk yang pertama kali, yang lainnya tidak pada malam lailatul qodar, riwayat Imam Baihaqi.<br />Tiga tokoh berbeda pendapat.<br />1. Imam Sayuti<br />2. Imam Mawardi yang memegangi hadits riwayat Ibnu Abbas.<br />3. Imam Asy’ya’bi: al-Qur'an turun yang pertama paad malam lailatul qodar sedangkan yang lainnya tidak (bebas).<br /><br />D. Hikmah Mempelajari Nuzulul Qur'an<br />1. اِبْتِنَّص : memberikan wawasan yang baru tentang nuzulul Qur'an.<br />2. Nuzul Qur'an sebagai alat penunjang dalam menafsirkan ayat al-Qur'an.<br />3. Nuzulul Qur'an dapat mengetahui hal-hal yang gaib dan kebesaran dari al-Qur'an.<br />4. Menunjukkan berbagai data dan fakta serta argumentasi yang membuktikan kebesaran kekuasaan Allah SAW. dan keluasan ilmu-Nya serta kekuatan kehendak dan kebijaksanaan-Nya.<br />5. Menunjukkan kehebatan dan kemukjizatan al-Qur'an, yaitu turunnya secara bertahap-tahap berbeda dengan kitab suci yang lain.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB IV<br />ASBABUN NUZUL<br /></div><br />A. Pengertian Asbabun Nuzul<br />1. Menurut bahasa “asbabun” berasal dari kata sababun yang berarti sebab. Kalau dijamakkan menjadi “asabun” artinya beberapa sebab. Jadi adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Qur'an.<br />2. Asbabun nuzul menurut Hasbi as-Shiddiqi.<br />مَانَزَلَتْ....<br />Adapun peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat dan menjawab dari sesuatu itu.<br />1. Karena peristiwa.<br />2. Karena pertanyaan yang harus dijawab Rasulullah.<br />3. Karena ada penjelasan hukum.<br /><br />B. Pembagian Asbabun Nuzul<br />1. Peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa asbabun nuzul:<br />a. Peristiwa yang menimpa pada diri Abdillah bin Ubayyin seorang tokoh munafiq, kemudian turun surat al-Baqarah ayat 14).<br />b. Peristiwa yang diangkat dari salinan al-Farisi adalah orang Ahli Kitab sebelum Muhammad lahir. Dia mengetahui adanya Rasulullah melalui kitab Injil dan dia menemui Rasulullah dengan mendukung Rasulullah, namun Nabi bingung karena biasanya Ahli Kitab memusuhi Nabi (surat al-Baqarah ayat 62) untuk membenarkan Salman al-Farisi adalah orang-orang beriman.<br />c. Abdullah bin Sabah adalah orang Ahli Kitab yang kontra dengan Rasul, sedangkan yang pro dipimpin Abdullah bin Salam (al-Baqarah ayat 79), menyatakan bahwa orang ahli kitab yang kontra Nabi berani mengubah kitab al-Qur'an maka mereka terancam neraka well/kesusahan yang besar.<br />2. Menjawab Pertanyaan<br />a. يَسْعَلُوْ نَكَ عَنِ الرُّوْحِ al-Isra’: 85 (tentang ruh)<br />قُلْ الرُّوْحِ مِنْ اَسْرِرَبِّى<br />b. يَسْعُلُوْنَكَ عِنِ الْمَحِيْضُ al-Baqarah: 222 (tentang darah haid)<br />قل هوادى فاعتر لو النساء<br />c. Al-Baqarah 219 (tentang khomer dan maisir)<br />عَنِ الْخَمرِ وَالْمَيْسِرْ قُلْ فِيْهِمَا اِثمُ كِبِيْرٍ و منا فع للناس<br />3. Menjelaskan hukum ada 3:<br />a. Hukum menuduh selingkuh, bila tidak ada saksi maka penuduh akan di hukum 80 kali dera. Contoh: Aisyah dituduh berselingkuh dengan Bisufyana maka turunlah (ayat 4 surat an-Nur).<br />b. Rofas Khumar adalah berkumpulnya suami dan istri pada malam bulan Ramadhan. Surah al-Baqarah: 187.<br />c. Salamah bin Saqar menuduh istrinya jelek seperti punggung ibunya. Kata Rasul maka Salamah bin Saqar terkena hukuman qifarat yaitu puasa 2 bulan/memberi makan 60 orang.<br /><br />C. Hikmah Asbabun Nuzul<br />1. للاِسْتِبُصَارْ memberikan wawasan yang luas tentang asbabun nuzul.<br />2. Asbabun nuzul merupakan alat penunjang ilmu tafsir, ilmu dzakiikil id asbabun nuzul merupakan suatu metode yang paling baik dari al-Qur'an.<br />طَرِيْقٍ قُوْى فِ فَهُمِ مَعَا فِ الْكِتَابُ<br />3. Asbabun nuzul dipelajari akan menambah Imtaq di kaum Muslimin.<br />4. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara' terhadap kepentingan umum dalam melengkapi segala peristiwa.<br />5. Mengethui seba nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna al-Qur'an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. (Hal. 110-112).<br /><br /><div style="text-align: center;"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">BAB V<br />IJAZUL QUR'AN<br />(Nilai-Nilai Kemukjizatan al-Qur'an)<br /></a></div><br />A. Pengertian I’jazul Qur'an<br />1. Menurut bahas i’jaz diambil dari kata اَعْجَزَ yang berarti melemahkan musuh. Dengan kata lain mengalahkan. I’jazul Qur'an berarti mengalahkan al-Qur'an terhadap musuh Nabi yaitu orang-orang kafir yang ada di Mekah. Karena orang kufar menganggap al-Qur'an buatan Muhammad pdahal tidak, maka turunlah wahyu yang meluruskan kejadian ini.<br />2. Menurut istilah i’jazul Qur'an adalah lemahnya manusia dalam menghadapi tantangan al-Qur'an dengan cara membuat karangannya yang seperti al-Qur'an. bisa menyingkap masa lalu.<br />Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang keluar dari para Nabi dan Rasul, yang tidak bisa dipelajari manusia.<br />Contoh:<br />a. نَقَتُ الله : untanya Nabi Sholeh yang lahir dari batu, jangan sekali-kali kamu meyakininya.<br />b. نَصَ مُوْسَ : tongkat Nabi Musa. Tongkat itu kalo dilemparkan menjadi ular.<br />c. Nabi Isa dapat menyembuhkan penyakit kusta dan belang.<br />d. Nabi Muhammad adalah al-Qur'an sebagai mukjizat terbesar.<br />1) Abu Bakar al-Banillani.<br />2) Abu Nauval<br />B. Pembagian Nilai-Nilai Pemukjizatan Qur'an<br />Ada 3 tokoh yang diangkat dalam pembahasan ini:<br />1. Abu Bakar al-Baqilani: Nilai i’jazul Qur'an ada 3 macam, yaitu:<br />a. Ikhbalul Hujuub artinya memberitakan barang-barang yang gaib. Membertakan/menginformasikan adanya hari bangkit, adanya surga-neraka.<br />b. Mukjizat Nabi Muhammad yang paling besar karena dapat mengalahkan kufar Mekah. Contoh: Isra’ mi’raj, ketika Nabi berdagang di syam dinaungi awan, mengalirnya air pada jari-jari Nabi ketika habis perang sahabat ingin minum beserta anaknya, kemudian tangannya dimasukkan ke ember dan keluar air dan diminum oleh prajurit perang, anak dan kembala-kembala.<br />2. Abdur Rozak an-Naufal: nila ijaz ada 4 macam, yaitu:<br />a) Al-Qur'an mengandung ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia. namanya المي;<br />b) تَسُرِحِيٌ (Pembinaan hukum Islam);<br />c) اَدَبِيٌ/بَلْ فِيٌ (bernilai balaqah);<br />d) mengandung nilai IPTEK/عَ دَ رِيَ sejumlah ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />3. Qodi Iyad قافى اِيَاذَ: nilai i’jaz Qur'an, memuat:<br />a. Nilai bagusnya lafalnya al-Qur'an.<br />b. Nilai bagusnya susunan kalimat al-Qur'an.<br />c. Benarnya ramalah al-Qur'an terhadap masa yang akan datang.<br />d. Benarnya ramalan al-Qur'an terhadap masa lampau.<br />e. Benarnya ramalah al-Qur'an terhadap masa yang lampau.<br />Abu Bakar al-Baqilani dalam menjelaskan segi-segi balihul Qur'an ada 10 macam. Diberi contoh:<br />1. I’jaz اِلجَازْ: ungkapan yang ringkas.<br />2. اسعلرة: pinjaman kata lain: مُسْتَعَرْلَهُ : وَسْعَلَ وَرَعَسُ شَيْدُ شَيْبَهُ مُسْتَعَرْ<br />3. تضشْبِةْ: perumpamaan/امسل ول قدمن<br />4. اَتْلَ عُمْ: kepantasan مُسْتَعَرَ مِنْهُ<br />5. اَلْفَلَسِلْ: pesajakan<br />6. اَتَّدَامُسْ : ungkapan sejenis<br />7. اَتَّشْ رِيْفِ : ungkapan variatif<br />8. اِتِبَسْ : memahami yang tersirat<br />9. شَهَدْ مُبَلَ هَةْ : bentuk yang menyangatkan<br />10. حُسُنَلُ بَيَانُ : penjelasannya bagus tidak seronok/tidak porno.<br /><br />C. Manfaat I’jazul Qur'an<br />1. Memberi wwasan yang luas tentang nilai-nilai kemukjizatan Qur'an.<br />2. Papa menjadi pembantu/alat pembantu dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an. الم: Allah menurunkan al-Qur'an pada Muhammad melalui Jibril.<br />3. Menambah mantabnya iman dan takwa seseorang. Hud ayat 120.<br /><br /><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/"><br /></a><div style="text-align: center;"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">BAB VI<br />FAWATIHUSH SHUWAR</a><br /></div><br />A. Pengertian Fawatihush Shuwar<br />Menurut bahasa fawatih adalah jamak dari kata fatihah, yang berarti pembukaan atau permulaan atau awalan. Sedangkan kata ash-shuwar adalah jamak dari kata ash-surah, sekumpulan ayat-ayat Al Qur'an yang mempunyai awalan dan akhiran. Fawatihush Shuwar disebur juga dengan Awailul Shuwar yang merupakan bentuk jamak dari kata Awwalun yang berarti pertama-pertamanya surat.<br />B. Pembagian Fawatihush Shuwar<br />1. Menurut jumlah hurufnya, Fawatihush Shuwar bisa terdiri atas satu huruf seperti ن, dua huruf sepertiحم , tiga huruf sepertiالر , empet huruf seperti المص, dan lima huruf seperti كهيعص<br />2. Menurut keadaan awal surat, Fawatihush Shuwar bisa terbentuk dari lafal Pujian, Amar, Syarat, Panggilan, Ta'lil, Qasam, Huruf Hijaiyah, Do'a, Tanya dan Berita.<br />C. Tinjauan-Tinjauan Fawatihush Shuwar<br />Menurut Mukhtar Yahya, manfaat awal surat ada lima yaitu :<br />1. Untuk menantang kuffar makkah .<br />2. Untuk pengenalan huruf hijaiyah<br />3. Untuk nama surat<br />4. Untuk menyinggung/mengenal isi surat<br />5. kependekan dari kata<br />D. Hikmah Mempelajari Fawatihush Shuwar<br />Manfaat mempelajari fawatihush shuwar paling tidak ada tiga manfaat yaitu :<br />1. Untuk memberikan wawasan yang luas tentang Fawatihush Shuwar<br />2. Untuk mengetahui nilai-nilai kemukjizatan Al Qur'an<br />3. Memahami nilai-nilai balaghoh dalam Al Qur'an<br /><br /><br /><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-59435298279269115962010-04-28T13:03:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.513-07:00LOGIKA DALAM FILSAFAT ISLAM<div style="text-align: justify; color: rgb(153, 0, 0);"><div style="text-align: center;"><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/"><span style="color: rgb(0, 0, 153);font-size:180%;" ><span style="font-weight: bold;">LOGIKA DALAM FILSAFAT ISLAM</span></span><br /></a></div><br />A. Selayang Pandang<br />Sejak berlakunya sistem SKS di lingkungan IAIN Walisongo Semarang dan sesuai dengan Kurikulum 1987 mata kuliah ilmu manyiq dalalm kurikulum 1976 diberi nama baru 'logika'. Perubahan nama ini membawa konsekuensi bahwa bahan yang harus dikuliahkan maliputi logika dalam arti luas, yaitu looogoka formal dan logika material.<br />Buku yang disusun oleh Dsr. H. Mundiri ini membahas kedua-duanya. Tentang Logika Formal yang meliputi pokok-pokok bahasan: pengertian logika, pembahasam kata, definisi, klasifikasi, oposisi, eduksi, silogisme dan dilema. Sedangkan untuk logika material meliputi pokok-pokok bahasan: generalisasi, analogi, hubungan, hipotesis dan teori, penjelasan dan probabilitas.<br />Ilmu Logika atau yang dalam islam lebih dikenal dengan istilah Ilmu Mantiq adalah ilmu yang mempelajari tentang metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari yang salah. Istilah 'logika' dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates, dan Plato dicatat sebagai perintis lahirnya Logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Tsoa.<br />Dalam ranah Islam Logika mulai diminati sejak abad II Hijriyah. Pada saat itu umat islam mulai melakukan penerjemahan kitab-kitab Yunani secara besar-besaran kedalam Bahasa Arab. Termasuk diantaranya adalah kitab-kitab buah karya filosof besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan lain lain.<br /><br />B. Asas-Asas Pemikiran<br />Dalam logika yang dicari sebenarnya adalah kebenaran. Kebenaran sendiri pada dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kita akan mengatakan bahwa proposisi ini benar bila antara kenyataan dan pikiran terjadi persesuaian. Misalkan, di Desa Tegalsari berdasarkan data kependudukan ternyata seluruh penduduknya adalah muslim, Dausat Al Baihaqi adalah penduduk desa tersebut. Maka, Dausat Al Baihaqi adalah muslim. Berbeda dengan pernyataan Ali adalah orang tunawicara yang pandai berdebad. Dari pernyataan kedua tersebut nanpak jelas suatu keganjilan, manamungkin ada seorang yang tunawicara mampu berdebat sedangkan untuk berbicara saja dia tidak bisa. Berbeda dengan pernyataan pertama yang memberikan kesimpulan bahwa Dausat Al Baihaqi adalah muslim, kesimpulan ini didasarkan pada validitas data kependudukan yang ada.<br />Disinilah pentingnya logika dalam kehidupan sehari-hari, dia mencari sebuah kebenaran umum yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan data-data yang vali﴾ilmu apriori﴿, dia tidak mendasarkan pikirannya pada hal yang bersifat empiris ﴾ilmu a posteriori﴿.<br />Dalam aktivitas berfikir untuk memperolth suatu kebenaran, kita tidak boleh melalaikan patokan pokok yang oleh logika disebut dengan Asas Berfikir. Asas–asas tersebut adalah sebagai berikut:<br />1. Asas Identitas ﴾principium identitatis﴿<br /><br />2. Asas Kontradiksi ﴾principium contradictoris﴿<br /><br />3. Asas Penolakan Kemungkinan Ketiga ﴾principium exclusi tertii﴿<br /><br /><br />C. Analisis <br />Ilmu logika atau ilmu mantiq secara global menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mandapatkan kebenaran, terlepas dari segalal kepentingan dan keinginan perorangan. Ia merumjuskan serta menerapkan hukum-hukum dan katokan-patokan yang harus ditaati agar manusia dapat berfikirbenar, efisiendan teratur. Dengan demikian ada dua obyek penyelidikan logika, pertama, obyek material dan kedua, obyek formal.<br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-13707968806341518672010-04-28T13:00:00.000-07:002010-04-28T14:28:40.528-07:00AT-TABI’ DAN ASY-SYAHID<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; color: rgb(153, 0, 0);"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">AT-TABI’ DAN ASY-SYAHID</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">MAKALAH</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Di Ajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah</span><br /><span style="font-weight: bold;">ULUMUL HADITS</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;"> </span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Oleh :</span><br /><span style="font-weight: bold;">SYIFAUL QULUB</span><span style="font-weight: bold;"></span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dosen Pembimbing :</span><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL</span><br /><span style="font-weight: bold;">JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH</span><br /><span style="font-weight: bold;">FAKULTAS SYARI’AH</span><br /><span style="font-weight: bold;">SURABAYA</span><br /><span style="font-weight: bold;">2009</span></span><br /></div><br />KATA PENGANTAR<br /><br />Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelrsaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tersanjungkan kepada beginda Rasul Muhammad SAW yang dengan jerih payahnya telah mempu nerubah peradaban yang tidak memhenal perikemanusiaan menuju peradaban yang penuh dengan kebaikan.<br />Dalam kesempatan ini, dengan penuh rasa suka cita penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada Bapak Dosen Mata Kuliah Ulumul Hadits yang telah memberikan kepercayaannya kepada kami untuk membuat makalah yang kami beri judul AT-TABI” DAN ASY-SYAHID ini.<br />Penulis menyadari bahwa dalam makalah yang telah dibuat ini masih banyak kesalahan yang harus diperbaiki, oleh karena itu penulis mangharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman agar dalam pembuatan makalah yang berikutnya tidak terjadi kesalahan serupa.<br /><br /><br />Surabaya, 03 Mei 2009<br /><br />Penulis<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /></div><br />A. Latar Belakang<br />Dalam ilmu hadits dikenal istilah Hadits Gharib yaitu Hadits yang di dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian sanad itu terjadi. Untuk menetapkan suatu Hadits itu Gharib perlu adanya pemeriksaan terhadap Hadits yang diperkirakan Gharib tersebut dengan maksud apakah Hadits tersebut mempunyai Muttabi’ atau Syahid. Pemeriksaan tersebut dalam ilmu Hadits diistilahkan I’tibar.<br />Jika Hadits yang diperkirakan Gharib tersebur, ternyata memiliki Muttabi’ atau Syahid, maka nilai keghariban hadits itu dengan sendirinya akan hilang. Dan akan berubah menjadi Hadits Aziz atau bisa manjadi Hadits Mutawattir jika Muttabi’ dan Syahidnya sampai pada standar minimal periwayatan dikatakan Hadits Mutawattir.<br /><br />B. Rumusan Masalah<br />Dalam makalah ini , penulis mangajukan beberapa rumusan masalah yang tersusun sebagai berikut :<br />1. Apakah Muttabi’ dan Syahid itu ?<br />2. Ada berapakah macam-macam Muttabi’ dan Syahid itu ?<br />3. Bagaimanakah aplikasinya dalam penerapan kuantitas dan kualitas Sanad dalam Hadits ?<br /><br />C. Tujuan<br />Tujuan yang ingin dicapai penulis atas penyusunan makalah ini adalah agar para pembaca mampu memahami istilah Muttabi’ dan Syahid, macam-macamnya serta pengaplikasiannya dalam penerapan kuntitas dan kualitas sanad dalam suatu Hadita.<br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br /><br />A. Pengertian Tabi’ dan Syahid<br />Yang dimaksud dengan Tabi’ atau Muttabi, adalah Hadits yang mengikuti periwayatan Rowi lain sejak pada guru (yang terdekat) atau gurunya guru (tang terdekat tersebut. Sedangkan Syahid Adalah Hadits yang periwayatannya diikuti oleh periwayat lain yang menerima dari sahbat lain dengan matan yang menyerupainya dalam lafal dan makna ata dalam maknanya saja.<br />Sebagian Ulama’ berpendapat, bahwa yang dikatakan denga Hadits Muttabi’ adlah Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang sesuai lafalnya. Dan yang dikatakan denga Syahid adalah Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang maknanya sesuai dengan Hadits Fardnya, baik Hadits tersebut bersumber dari seorang Sahabat, maupun dari beberapa orang Sahabat.<br /><br />B. Macam-macam Tabi’ dan Syahid<br />Hadits Tabi, terbagi menjadi dua bagian yaitu :<br />1. Tabi’ Tam, yaitu bila periwayatan Muttabi’ mengikuti periwayatan guru Muttaba’ dari yang terdekat sampai yang terjauh.<br />2. Tabi’ Qashir, yaitu bila periwayatan Muttabi’ mengikuti periwayatan guru Muttaba’ yang terdekat saja , tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sama sekali.<br />Begitu juga Hadits Syahid dibagi menjadi dua bagian yaitu :<br />1. Syahid Bil Lafdhi, yaitu bila matan Hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat yang lain sesuai renaksi dan maknanya dengan Hadits Fardnya.<br />2. Syahid Bil Ma’na, yaitu bila matan Hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat lain itu hanya sesuai maknanya saja.<br /><br />C. Contoh Hadits Tabi’ dan Hadits Syahid<br /><br />الحديث عن النبي صلعم<br />الشهر تسع و عشرون فلا تصوموا حتى ترو الهلال و لا تفطروا حتى تروه فان غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين يوما { وفى لفظ ابن خزيمة فكملوا ثلاثين وفى لفظ مسلم فاقدروا له ثلاثين وفى لفظ البخارى فاكملوا العدة شعبان ثلاثين }<br /><br /><br />ابو هريرة ابن عباس ابن عمر<br /><br />محمد بن زياد ابن حنين نافع ابن زيد ابن دينار<br /><br />شعبه عبيد الله عاصم مالك<br /><br />البخاري النسائى مسلم ابن خزيمة القعنبي الشافعي<br /> ٦ ٥ ٤ ٣ ٢ ١<br /><br />Dari Hadits di atas misalkan yang akan dicari Muttabi’ dan Syahidnya, maka kita dapatkan bahwa<br />1. Hadits Al Qo’nabi (Nomor II} menjadi Muttabi’ Tam dari Hadits Asy Syafi’i (Nomor I} karena Al Qo’nabi mengikuti periwayatan guru Asjy Syafi’i sejak dari guru yang terdekat sampai guru yang terjauh.<br />2. Hadits Ibnu Huzaimah (Nomor III} menjadi Muttabi’ Qashir terhadap Hadits Asy Syafi’I (Nomor I} karena Ibnu Huzaimah hanya mengikuti pada seorang guru saja, tidak semua guru Asy Syafi’i.<br />3. Hadits An Nasa’I (Nomor V} menjadi Syahid Bil Lafdhi dari Hadits Asy Syafi’I (Nomor I} karena sumber periwayatan dari masing-masing berbeda, walaupun renaksinya sam.<br />4. Hadits Al Bukhori (Nomor VI} menjadi Syahid Bil Ma’na dari Hadits Asy Syafi’I (Nomor I} karena sumber periwatannya berbeda, begitu juga redaksinya tidak sama, walaupun maknanya sama.<br /><br />D. Aplikasi Dalam Kuantitas dan Kualitas Sanad<br />Setelah dilakukan penelitian, maka akan nampak seluruh matarantai para perowi Hadits yang diduga Gharib itu, begitu juga seluruh Tabi’ dan Syahidnya (bila ditemukan). Bila Hadits yang diduga Gharib itu ternyata memiliki Tabi’ dan Syahid, maka Hadits itu bisa menjadi Hadits Aziz atau bahkan bisa menjadi Hadits Mutawattir kalau Tabi’ dan syahid yang ditemukan mencapai standar minimal Hadits dikatakan Mutawattir. Tapi, jika tidak ditemukan Tabi’ tau Syahidnya maka Hadits itu tetap dikatakan Hadits Gharib.<br />Selain itu, dari seluruh matarantai para rowi yang meriwayatkan Hadits itu kita dapat meneliti rowi-rowi yang memenuhi syarat agar hadits yang diriwayatkannya dikatakan Shahih, Hasan Atau Dha’ifnya. Sehingga Hadits yang diperkirakan Ghabib itu bisa menjadi Hadits Hasan atau Shahih, tergantung dari para rowi dan Hadits lain yang menjadi Tabi’ dan Syahidnya.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB III<br />PENUTUP<br /></div><br />Yang dimaksud dengan Tabi’ atau Muttabi, adalah Hadits yang mengikuti periwayatan Rowi lain sejak pada guru (yang terdekat) atau gurunya guru (tang terdekat tersebut. Sedangkan Syahid Adalah Hadits yang periwayatannya diikuti oleh periwayat lain yang menerima dari sahbat lain dengan matan yang menyerupainya dalam lafal dan makna ata dalam maknanya saja.<br />Hadits Tabi, terbagi menjadi dua bagian yaitu Tabi’ Tam dan Tabi’ Qashir. Begitu juga Hadits Syahid dibagi menjadi dua bagian yaitu :Syahid Bil Lafdhi. dan Syahid Bil Ma’na. <br />Bila Hadits yang diduga Gharib itu ternyata memiliki Tabi’ dan Syahid, maka Hadits itu bisa menjadi Hadits Aziz atau bahkan bisa menjadi Hadits Mutawattir kalau Tabi’ dan syahid yang ditemukan mencapai standar minimal Hadits dikatakan Mutawattir. Tapi, jika tidak ditemikan Tabi’ tau Syahidnya maka Hadits itu tetap dikatakan Hadits Gharib. Sehingga Hadits yang diperkirakan Ghabib itu bisa menjadi Hadits Hasan atau Shahih, tergantung dari para rowi dan Hadits lain yang menjadi Tabi’ dan Syahidnya.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><a href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/">Rahman, Fathur, 1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung, Alma’arif,<br />Zein, Muhammad Ma’sum, 2006, Ulumul Hadits dan Mushthalahul Hadits, Jombang: Al Syarifah Al Khodijah<br /></a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2781188936010201950.post-91536868644751228012010-04-28T12:57:00.001-07:002010-04-28T14:28:40.593-07:00KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; color: rgb(153, 0, 0); font-weight: bold;"><span style="font-size:180%;">KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM<br />MAKALAH<br />Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah<br />ILMU PENDIDIKAN ISLAM<br /><br /><br />Oleh :<br />SYIFAUL QULUB<br /><br />Dosen Pembimbing :<br />Drs. Tajuddin Thalabi, M. Ag.<br /><br />INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL<br />JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br />FAKULTAS TARBIYAH<br />SURABAYA<br />2009<br /></span></div><br />KATA PENGANTAR<br /><br />Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tersanjungkan kepada baginda Rasul Muhammad SAW yang dengan jerih payahnya telah mampu merubah peradaban yang tidak mengenal perikemanusiaan menuju peradaban yang penuh dengan kebaikan.<br />Dalam kesempatan ini, dengan penuh rasa suka cita penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada Bapak Dosen Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang telah memberikan kepercayaannya kepada kami untuk membuat makalah yang kami beri judul "KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM"<br />Penulis menyadari bahwa dalam makalah yang telah dibuat ini masih banyak kesalahan yang harus diperbaiki, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman agar dalam pembuatan makalah yang berikutnya tidak terjadi kesalahan serupa.<br /><br />Surabaya, 03 Mei 2009<br /><br /><br /><div style="text-align: center;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /></div><br />A. Latar Belakang<br />Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan. <br />Secara umum tujuan dari pendidikan islam adalah mencetak generasi penerus yang memiliki kemanpuan yang kafah yang mengejawantahkan nilai-nilai keislaman dengan tujuan akhir memperoleh kebahagian di dunia dan di akhirat.<br />Untuk mencapai tujuan Pendidikan Islam yang diharapkan sudah barang tentu kurikulum yang diformulasikannyapun harus mangacu pada dasar pemikiran yang islami pula, serta dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia (pandangan antropologi) serta diarahkan pada tujuan pendidikan yang dilandasi oleh kaidah-kaidah islami. <br /><br />B. Rumusan Masalah<br />Dalam makalah ini penulis nengajukan beberapa rumusan masalah yang tersusunn sebagai berikut:<br />1. Apakah kurikulum pendidikan islam itu ?<br />2. Bagaimana isi dari kurikulum pendidikan islam itu ?<br />3. Bagaimana prinsip-prinsip penyusunan kurikulum pendidikan islam itu ?<br /><br />C. Tujuan<br />Tujuan yang diharapkan dalam penulisan makalah ini setidaknya bisa memberikan gambaran tentang konsep, isi serta prinsip-prinsip dalam penyusunan kurikulum pendidikan islam.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB II<br />PEMBAHASAN<br /></div><br />A. Pengertian<br />Secara harfiah kurikulum berasal dari bahasa latin, curriculum yang berarti bahan pengajaran. Adajuga yang mengatakan bahwa kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti pelari dan curere yang berarti tempat berpacu. Dalam Bahasa Arab, kata kurikulum biasa diungkapkan dengan manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia dalam berbagai bidang kehidupan. . kurikulum selanjtnya menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah<br />Sedangkan definisi kurikulum berdasarkan istilah ada begitu banyak pendapat. Diantaranya definisi yang dikemukakan oleh Prof. H. M. Arifin, M.Ed. yang memndang kurikulum sebagai seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses pendidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Ada juga yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu. Selain definisi-definisi tersebut ada juga yang mengartikan kurikulum sebagai 'sejumlah pengalaman pedidikan, kebudayaa, sosial, olah raga dan kesenian baik yang berada di dalam maupun di luar kelas yang dikelola oleh sekolah'.<br />Dari definisi diatas, nampaknya definisi yang paling luas maknanya adalah definisi terakhir yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung. Jika sebelumnya (pendidikan) hanya terbatas pada kegiatan pengajaran yang dilakukan di ruang kelas, maka pada perkembangan berikutnya pendidikan dapat pula memanfaatkan berbagai sumber pengajaran yang terdapat li luar kelas, se[erti perpustakaa, musium, pameran, majalah,surat kabar, siaran televisi, radio, pabrik dan sebagainya. Dengan cara ini para mahasiswa dapat terus mengikuti perkembangan kemajuan Ilmu pengetahuan, teknologi kebudayaan dan lainnya yang terjadi diluar sekolah.<br />Karena tujuan pembentukan kurikulum adalah pencapaian sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu, maka secara otomatis materi kurikulum yang diberikan akan selalu mengalami perubahan dari masa kemasa. Bahkan untuk setiap bangsa yang mempunyai tujuan pendidikan yang berbeda, akan memiliki kurikulum yang berbeda pula. Kurikulum juga merupakan ringkasan berbagai materi, pengetahuan dan problematic yang harus kita selenggarakan sebagai upaya mempengaruhi siswa dalam tingkah laku dan aktivitasnya.<br />Untuk Pendidikan Islam kurikulum yang diformulasikannyapun harus mangacu pada dasar pemikiran yang islami, serta diarahkan pada tujuan pendidikan yang dilandasi oleh kaidah-kaidah yang berbasis islam.<br /><br /><br />B. Komponen Kurikulum<br />Kurikulum suatu sekolah mangandung tiga komponen, yaitu tujuan, isi, dan organisasi/strategi <br />1. Tujuan Kurikulum<br />Kurikulum merupakan suautu program untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu. Oleh karena itu, dalam kurikulum suatu sekolah telah terkandung tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui sekolah yang bersangkutan. Ada jenis tujuan yang terkandung di dalam kurikulum suatu sekolah.<br />a. Tujuan yang ingin dicapai sekolah secara keseluruhan<br />Tujuan ini biasanya digambarkan dalam bentuk pengetahuan, keterampilann dan sikap yang diharapkan dapat dimiliki murid-siswa setelah mereka menyelesaikan seluruh program pendidikan dari sekolah tersebut.<br />b. Tujuan yang ingin dicapapi dalam setiap bidang studi<br />Tujuan ini biasanya digambarkan dalam bentuk pengetahuan, keterampilann dan sikap yang diharapkan dapat dimiliki murid-siswa setelah mempelajari suatu bidang studi pada suatu sekolah tertentu.<br />2. Isi Kurikulum<br />Isi program kurikulum dari suatu sekolah dapat dibedakan atas dua hal, yaitu:<br /><br />a. Jenis-jenis bidang studi yang diajarkan<br />Jenis-jenis tersebut dapat digolongkan ke dalam isi kurikulum dan ditetapkan atas dasar tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah yang bersangkutan, yaitu tujuan institusional<br />b. Isi program setiap bidang studi<br />Bahan pengajaran dari setiap bidang studi termasuk ke dalam pengertian isi kurikulum, yang biasanya diuraikan dalam bentuk pokok bahasan (topik) yang dilengkapi dengan sup pokok bahasan<br />Bahan pengajaran ini ditetapkan atas dasar tujuan-tujuan kulikuler dan tujuan instruksional<br />3. Organisasi/Strategi<br />Struktur (susunan) program suatu kurikulum mengenal apa yang disebut Stuktur horizontal dan struktur vertikal. Struktur horizontal suatu kurikulum berkenaan dengan apakah kurikulum itu diorganisasikan dalam bentuk :<br />a. Mata-mata pelajaran secara terpisah (separate subject); atau<br />b. Kelompok-kelompok suatu pelajaran yang disebut dengan bidang study (broadfields); atau<br />c. Kesatuan program tanpa mengenal mata pelajaran maupun bidang study (integrated program).<br />Selanjutnya, dalam struktur horizontal ini tercakup pula jenis-jenis program, yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut. Sedangkan struktur vertikal suatu kuirikulum berkeanaan apakah kurikulum tersebut dilaksanakan melalui :<br />a. Sistem kelas, di mana kenaikan kelas diadakan di setiap tahun secara serempak; atau<br />b. Sistem tanpa kelas, di mana perpindahan dari suatu tingkat program ke tingkat program yang berikutnya dapat dilakukan pada setiap waktu tanpa menunggu teman-teman yang lain; atau<br />c. Kombinasi antara sistem kelas dan tanpa kelas<br />Selanjutnya, dalam struktur program ini tercakup pula sistem unit waktu yang digunakan, misalnya apakah sistem semester ataukah catur wulan. Akhirnya, struktur program ini menyangkut pula masalah penjadwalan dan pembagian waktu untuk masing-masing bidang study atau isi kurikulum pada setiap tingkat atau kelas.<br />Strategi pelaksanaan suatu kurikulum tergambar dari cara yng ditempuh dalam melaksanakan pemgajaran, cara di dalam mengadakan penilaian, cara di dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan dan cara di dalam mengatur kegiatan sekolah secara keseluruan.<br />Cara dalam melasksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku secara umum maupun cara yang berlaku dalam menyajikan setiap bidang study, termasuk metoda mangajar dan alat pelajaran yang digunakan.<br /><br /><br /><br />C. Prinsip-Prinsip Yang Melandasi Kurikulum <br />Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : <br />1. Prinsip Fleksibilitas Program<br />Dalam prinsip ini metode-metode yang dipakai harus sesuai dengan bahan pelajaran dan kematangan siswa, misalnya seorang guru mengajar melalui contoh tertentu, maka contoh itu hendaknya pernah diketahui, dialami, dirasakan oleh siswa, dengan kata lain contoh yang terdapat dalam kehidupan anak sehari-hari. Fleksibel di sisni juga berarti fleksibel dalam memilih dalam memilih program pendidikan, fleksibel dalam mengembangkan program pengajaran dan pengembangan kurikulum <br />2. Prinsip Berorientasi Pada Tujuan<br />Prinsip ini menghendaki bahwa dalam pembentukan kurikulum harus berorientasi pada tujuan, dalam hal ini adalah mencetak akan didik menjadi pribadi atau individu yang memiliki wawasan yang luas baik yang berbasis umum maupun yang berbasis agama. <br />3. Prinsip Efisien dan Efektivitas<br />Dalam prinsip ini, pembentukan kurikulum didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan atas kemampuan dan daya tahan siswa dalam menerima pelajaran, waktu yang digunakan untuk mendidk harus dimanfaatkan seoptimal mungkin berdasarkan efesiensi waktu dan efektifitas pembelajaran <br />4. Prinsip Kontinuitas<br />Dalam GBHN telah dinyatakan pendidkan itu berlangsung seumur hidup, oleh karena itu penyusunan kurikulum harus kontinu dan selalu diingat hubungan yang bersifat hierarkis yang fungsional harus mendapatkan perhatiian untuk ketiga tingkatan sekolah (ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah) lebih-lebih bidang study yang menganut pendekatan spiritual seperti agama dan pengetahuan sosial, perluasan serta pengalaman dari suatu pokok bahasan disusun dalam satu rencana dan sistematis.<br />Menurut Zakiah Darajat dalam bukunya yang lain, selain keempat prinsip tersebut masih ada dua prinsip lainnya yaitu :<br />1. Prinsip Relevansi<br />Istilah relevansi dalam pendidikan dapat diartikan sebagai kesesuaian dan keserasian pendidikan dengan tuntutan kehidupan. Yang dimaksud dengan tuntutan kehidupan di sini adalah relevansi pendidikan dalam lingkungan hidup murid, relevansi dengan perkembangan kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang, dan relevansi dengan tuntutan dalam dunia pekerjaan.<br />2. Prinsip Kesinambungan <br />Yang dimaksud dengan kesinambungan adalah saling hubungan atau jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan. Yaitu kesinambungan antara berbagai tingkat sekolah dan kesinambungan antara berbagai bidang study<br />D. Ciri-Ciri Kurikulum Pendidikan Islam<br />Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan nasional. Kurikulum berfungsi sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai kemampuan dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Kurikulum dalam pendidikan islam sendiri, memilki corak yang berbeda yang membedakannya dengan kurikulum pendidikan yang lain menjadi cirinya sendiri.<br />Omar Muhammad At-toumy as-Syaibani menyebutkan bahwa ada lima ciri pendidikan islam. Kelima ciri tersebut secara ringkas sebagai berikut:<br />1. menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat dan tekniknya bercorak agama.<br />2. meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya, yaitu kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran yang menyeluruh.<br />3. bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung didalam kurikulum yang digunakan<br />4. bersikap meyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak didik.<br /><br /><div style="text-align: center;">BAB III<br />PENUTUP<br /></div><br />Dari beberapa pengertian di atas, maka secara umum yang namakan dengan kurikulum adalah kegiatan yang mencakup berbagai rencana strategi belajar mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat diterapkan, dan ha-hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan. Kurikulum sendiri terbagi atas tiga komponen yaitu :<br />1. Tujuan Kurikulum yang mencakup tujuan yang ingin dicapai sekolah secara keseluruhan serta tujuan yang ingin dicapai dalam setiap bidang studi<br />2. Isi Kurikulum yang mencakup jenis-jenis bidang studi yang diajarkan dan isi program setiap bidang studi<br />3. Organisasi/Strategi yang mencakup Struktur (susunan) program suatu kurikulum mengenal apa yang disebut Stuktur horizontal dan struktur vertikal<br />Dalam pembuatan kurikulum ada bebrapa prinsip yang harus dipertimbangkan yaitu: Prinsip fleksibilitas Program, prinsip berorientasi pada tujuan, prinsip efisien dan efektivitas, prinsip kontinuitas, prinsip relevansi dan prinsip kesinambungan<br />Ada bebrapa ciri yang membedakan kurikulum pendidikan islam denagn kurikulum pendidikan yang lain yaitu<br />1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat dan tekniknya bercorak agama.<br />2. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya, yaitu kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran yang menyeluruh.<br />3. Bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung didalam kurikulum yang digunakan<br />4. Bersikap meyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan anak didik.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />-<a style="color: rgb(153, 0, 0);" href="http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/"> An-Nahlawi, Abdurrahman, 1989 Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Darul Fikr Pustaka,<br />- Daradjat, Zakiah, dkk. 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,<br />- Daradjat, Zakiah, dkk.1983, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,<br />- Jalaluddin dan Usman Said, 1999, Filsafat Pendidikakn Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada.<br />- Nata, Abuddin, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.<br />- Ramayulis, 2004, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Muli.<br />- Shaleh, Abdul Rachman, 2006 Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Rajagrafindo Persada.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></a><br /></div>ARTIKELhttp://www.blogger.com/profile/02890927015092201234noreply@blogger.com0