Analisis Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama

BAB IV
ANALISIS DASAR HUKUM HAKIM, ANALISIS PROSEDUR DAN ANALISIS TERHADAP AKTA HAKIM TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARIS DI LUAR SENGKETA



A. Analisis Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam Menetapkan Akta Pembagian Harta Waris di luar sengketa nomor: 28/komp/2005/PA. Sby
Dalam memutuskan suatu perkara, baik perkara sengketa maupun perkara di luar sengketa, Hakim Pengadilan Agama Surabaya serta hakim-hakim di Pengadilan Agama manapun harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan sebagai dasar hukum untuk mengambil suatu keputusan, hal ini sangat diperlukan untuk dilakukan agar nantinya keputusan hakim tidak menjadikan keputusan yang cacat hukum dan merugikan salah satu pihak yang berperkara.
Seperti yang terdapat dalam akta pembagian waris di luar sengketa nomor: 28/Komp/2005/PA.Sby. ini, Pemohon I yang beragama Islam, Hj. Sholeha binti Abdul Hadi, adalah ahli waris yang sah menurut hukum dan agama dari pewaris yaitu almarhumah Hj. Sari binti Markum yang juga beragama Islam. Sedangkan Pemohon II, Atun binti Abdul Hadi, bukan sebagai ahli waris dikarenakan agamanya yang berbeda dengan orang tua serta saudara perempuannya, yaitu beragama Hindu, sehingga Pemohon II telah terhijab atau terhalang untuk menerima waris.
Agama yang berbeda atau yang berlainan Agama merupakan salah satu penghalang seseorang untuk menerima harta waris, seperti pada firman Allah SWT surat an-Nis>a’ ayat 141:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Artinya: “… dan Allah sekali-sekali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang-orang mukmin”

Serta pada h{adis| Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أُسَـامَهَ بْنِ زَيْدٍ رَضِى اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَيَرِثُ الْمُسْـلِمُ الْكَافِـرَ وَلاَ الْكاَفِـرُ الْمُسْـلِمَ {رواه البخارى مسلم}

Artinya :“Dari Usamah bin Zaid r.a menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda : Orang islam tidak menerima pusaka (warisan) dari orang kafir dan orang kafir pun tidak akan menerima pusaka (warisan) dari orang Islam.” (H.R. Bukh}a>ri dan Muslim)

Akan tetapi Pemohon I sebagai ahli waris, dalam persidangan dan di hadapan Hakim ingin membagi sebagian harta waris, serta telah menyatakan kerelaannya dan bersedia untuk memberikan seperdua atau setengah bagian atas harta peninggalan Pewaris, yakni almarhumah Hj. Sari binti Markum kepada Pemohon II, sehingga masing-masing memperoleh seperdua bagian dari harta peninggalan almarhumah Hj. Sari binti Markum .
Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara pembagian waris di luar sengketa atau waris damai ini, dengan alasan tersebut di atas, memutuskan berdasarkan pada :
Pasal 236a HIR :
“Atas permintaan sekalian ahli waris atau bekas isteri orang yang meninggal, maka di luar perselisihan pun pengadilan negeri memberi bantuan juga akan mengadakan pemisahan budel antara orang-orang bangsa Bumiputera yang beragama manapun juga, serta membuat aktenya”.

Pasal 107 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 :
“Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 236a Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama”.

Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam :
“Para ahli waris dapat sepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.

Jika ditinjau dari dasar hukum yang digunakan hakim, akta pembagian waris ditetapkan berdasarkan atas permintaan dari Pemohon I, untuk memberikan sebagian haknya kepada saudaranya yang non muslim, meskipun demikian hal ini tidak akan mempengaruhi kedudukan ahli waris karena ahli waris sendiri yang ingin memberikan sebagian haknya kepada saudaranya, serta berkaitan dengan pembagian harta waris di luar sengketa atau secara damai. Dalam hal perdamaian (tidak melakukan persengketaan) yang dilakukan seseorang untuk mengatasi dan menyelesaikan perkara, itu lebih baik daripada terjadi pertikaian yang akan menimbulkan kerugian, baik salah satu pihak atau keduannya. Hal ini sesuai dengan potongan surat an-Nisa>’ ayat 128, yang berbunyi :
.....وَالصـلحُ خَيـْرٌ...... {النساء : ۱۲۸}
Artinya : “………dan perdamaian itu lebih baik………”
Abu Zahrah juga berpendapat bahwa harta warisan bisa dibagi secara damai sesuai dengan kesepakatan pihak yang terkait, dengan adanya kesepakatan berarti adanya izin dari ahli waris lainnya, dengan adanya izin berarti pembagian seperti itu tetap bersifat islami. Dan karena perdamaian dalam pembagian harta waris lebih cenderung mementingkan dan menuruti keinginan ahli waris, maka hal tersebut dirasakan adil dan menciptakan rasa kasih sayang serta kerukunan, sebagaimana yang ingin dica pai oleh pensyariatan hukum waris Islam.
Serta diperkuat dengan bukti-bukti surat yang diajukan oleh para Pemohon, dan para saksi yang dihadiri oleh Pardi dan Suratmi yang memberi keterangan di bawah sumpah. Hal ini telah sesuai dengan pasal 169 HIR, yang menyatakan bahwa: keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada sesuatu alat bukti yang lain, tiada dapat dipercaya di dalam hukum.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan penetapan Hakim Pengadilan Agama Surabaya yang bernama M. Syafi’ie Thoyyib karena selain penyelesaian permohonan pembagian harta waris di luar sengketa atau waris damai dilakukan dengan prosedur yang benar, yakni dimulai dari proses pengajuan permohonan, proses pemeriksaan, proses dalam persidangan dari pembacaan permohonan, keterangan Pemohon I dan Pemohon II, pembuktian dengan surat-surat yang sah atau otentik, keterangan dari para saksi yang diajukan para Pemohon, penjelasan Hakim kepada para Pemohon mengenai kedudukan ahli waris serta bagian-bagian yang akan diperoleh ahli waris, pernyataan rela dari Pemohon I untuk memberikan seperdua atau setengah bagian untuk Pemohon II, hingga proses yang terakhir yaitu penetapan oleh hakim, selain itu hakim juga menetapkan berdasarkan pada pasal-pasal dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pembagian harta waris di luar sengketa atau perdamaian.
Dengan demikian, meskipun tidak ditetapkan oleh majelis hakim tetapi oleh hakim tunggal, penetapan hakim Pengadilan Agama Surabaya yang bernama M. Syafi’ie Thoyyib, Yang dibantu oleh Panitera Pengganti bernama Siti Aisyah dalam perkara permohonan pembagian harta waris di luar sengketa atau waris damai dengan akta nomor: 28/Komp/2005/PA.Sby. ini telah selaras dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.


B. Analisis Prosedur Pembagian Harta Waris di luar sengketa nomor: 28/komp/2005/PA. Sby
Seperti pada penjelasan analisis dasar hukum yang digunakan hakim untuk menetapkan pembagian harta waris di luar sengketa ini, bahwa pembagian harta waris dengan akta nomor: 28/komp/2005/PA. Sby yang mana ahli warisnya ingin membagikan sebagian hartanya untuk diberikan kepada saudaranya yang non muslim, mempunyai beberapa tahap penyelesaian, pertama proses pengajuan perkara, pengajuan permohonan pembagian harta waris di luar sengketa di pengadilan agama Surabaya diajukan ke Sub kepaniteraan permohonan waris damai dengan melengkapi syarat-syarat yang telah ditentukan, setelah itu pihak Pemohon akan dikenakan biaya persekot pendaftaran dan biaya penyelesaian perkara kemudian sub kepaniteraan permohonan akan menetapkan hari sidang. Mengenai proses pengajuan permohonan waris di luar sengketa yang diajukan ke pengadilan agama Surabaya terdapat meja khusus yang menangani dan menerima perkara waris damai, tidak seperti pada perkara lainnya yang seharusnya para pemohon dalam mengajukan surat permohonannya terlebih dahulu akan menghadap ke meja I kemudian ke kasir, selanjutnya ke meja II, dan seterusnya. Bahkan biaya pendaftaran dan penyelesaian perkarapun dibayar di meja ini, padahal menerima uang panjar dan membukukannya, menandatangani SKUM dan memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas adalah tugas kasir.
Tahap selanjutnya adalah proses pemeriksaan, pada proses pemeriksaan waris damai/di luar sengketa yang diajukan ke pengadilan agama Surabaya sebagaimana yang telah disebutkan dalam bab III, telah memenuhi syarat, dan dalam perkara pembagian waris di luar sengketa tidak ada upaya perdamaian karena waris damai bukan perkara melainkan permohonan.
Selanjutnya proses pembuktian, pada tahap ini yang perlu dibuktikan adalah menunjukkan surat kematian si pewaris, menyerahkan bukti-bukti barang milik dan menghadirkan dua orang saksi. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum acara menurut Syari’at Islam :
ليـس القـاض ان يقـبل الشهـادة او يحـكم بمحـرّدٍ خـظّ من غير بينةٍ
Artinya : “hakim tidak boleh menerima kesaksian atau memutuskan hukum dengan berpegang pada surat semata-mata tanpa bukti yang sah (otentik).”

Dalam pembuktian waris damai ini alat-alat bukti yang diserahkan ke pengadilan agama jika ditinjau dalam hukum acara perdata dapat diterima sebagai alat bukti, dan alat-alat bukti (dalam hukum acara perdata) yang dapat diterima adalah: pembuktian dengan surat, pembuktian dengan saksi, persangkaan, pengakuan dari para pihak, serta sumpah.
Tahap terakhir, setelah jelas bagi hakim tentang si pewaris, harta peninggalan, ahli waris dan permintaan para pemohon, serta hakim telah menjelaskan kedudukan masing-masing pemohon juga menerima pernyataan rela dari Pemohon I untuk memberikan seperdua atau setengah bagian kepada Pemohon II, maka hakim melakukan penetapan dalam bentuk akta komparisi.
Dengan demikian maka proses penyelesaian perkara permohonan pembagian harta waris di luar sengketa telah sesuai dan selaras dengan undang-undang yang ada di Indonesia.
Dalam perkara ini Pemohon II, yang berbeda agama dengan Pewaris, tidak disebut sebagai ahli waris. Maka dari itu menurut penulis Pemohon II hanya disebut sebagai penerima hibah dari ahli waris, yakni Pemohon I, hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam bab VI pasal 210-214 tentang hibah.
Pasal 210 :
Ayat 1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
2. Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211: Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212: Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Pasal 213: Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214: Warga Negara Indonesia yang berada di Negara asing dapat membuat surat hibah dihadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.

Berdasarkan pada pasal-pasal di atas maka menurut penulis sebaiknya Pemohon I tidak mengajukan permohonan pembagian harta waris, melainkan mengajukan permohonan pemberian hibah kepada Pemohon II, karena telah jelas bahwa Pemohon II beragama Hindu yang menjadi penghalang untuknya menjadi penerima harta waris dari orang tua para Pemohon.
Serta hibah tidak ada kaitannya dengan kewafatan seseorang, sebab hibah itu dibuat sewaktu pemberi hibah masih hidup dan sudah dilaksanakan penyerahannya kepada penerima hibah sewaktu pemberi hibah masih hidup, hibah tidak memerlukan izin kepada ahli waris dan tidak dibatasi jumlahnya, kecuali kalau hibah dibuat oleh seseorang yang sedang sakit berat yang mengakibatkan ia wafat setelah itu, maka yang demikian itu hanya diperkenankan dalam batas maksimal sepertiga dari harta peninggalan.

C. Analisis Terhadap Akta Hakim Tentang Pembagian Harta Waris di Luar sengketa nomor: 28/komp/2005/PA. Sby
Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mengajukan permohonan atau gugatan di pengadilan agama selama pengadilan agama tersebut berwenang untuk menyelesaikan perkara yang diajukan. Begitu pula sebaliknya umat Islam tidak diharuskan untuk meminta bantuan atau menyelesaikan setiap permasalahannya di pengadilan agama, tetapi jika pengadilan agama diminta oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan maka akan di laksanakan sesuai dengan kekuasaannya. Hal ini sesuai dengan undang-undang no.7 tahun 1989 pasal 2 yang berbunyi :
“Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang.”

Seperti yang terdapat pada bab III bahwa penetapan oleh hakim tunggal yang bernama M. Syafi’ie Thoyyib berbentuk akta komparisi yaitu akta pembagian harta waris yang dibuat oleh pengadilan agama atas permintaan atau permohonan dari para pihak yang berkepentingan tanpa adanya sengketa.
Mengenai bentuk akta pembagian waris di luar sengketa secara singkat memuat nomor penetapan yakni nomor: 28/Komp/2005/PA. Sby. Serta kepala putusan yang berisi kalimat “bismillahirrahmanirrahim” tetapi tidak diikuti dengan kalimat “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti perkara pada umumnya, melainkan menjelaskan tentang identitas para pemohon, dan isi pokok permohonan.
Ditinjau dari penetapan pengadilan agama Surabaya yang berupa akta komparisi ini, tidak ada kata “memutuskan” ataupun “menetapkan” melainkan menyatakan:
- Bahwa, kemudian Hakim pengadilan agama Surabaya menyelenggarakan sidang dengan memeriksa bukti-bukti serta menjelaskan tentang kedudukan Pemohon I dan Pemohon II dalam keahliwarisan dari almarhumah Hj. Sari binti Markum menurut hukum Islam, akan tetapi untuk selanjutnya Pemohon I (Hj. Sholeha binti Abdul Hadi) sebagai ahli waris dari almarhumah Hj. Sari binti Markum dihadapan Hakim menyatakan kerelaannya untuk memberikan seperdua bagian atas harta peninggalan Pewaris, yakni almarhumah Hj. Sari binti Markum kepada Pemohon II (Atun binti Abdul Hadi), sehingga masing-masing memperoleh seperdua bagian dari harta peninggalan almarhumah tersebut; -------------------------------
- Bahwa, dengan diadakannya pembagian ini, maka telah terselesaikanlah pembagian harta warisan almarhumah Hj. Sari binti Markum tersebut; ---------------------------------------------------------------
Karena telah diterangkan secara jelas bahwa seseorang yang beragama Islam tidak boleh (dilarang) menerima waris ataupun mewariskan hartanya kepada seseorang yang bukan muslim, meskipun mereka mempunyai hubungan darah atau nasab. Begitu pula sebaliknya, orang yang kafir tidak diperbolehkan mewariskan hartanya kepada seseorang yang beragama Islam ataupun menerima waris dari keluarganya yang beragama Islam. maka Pemohon I sebagai ahli waris yang sah secara hukum, atas permintaan sendiri dan tanpa adanya paksaan bersedia membagi setengah bagiannya untuk diberikan kepada Pemohon II yang terhijab secara suka rela, mengingat bahwa Pemohon II adalah saudara kandung bahkan saudara kembar dari Pemohon I, sehingga keduanya memperoleh setengah-setengah bagian dari harta peninggalan, maka hakim menetapkan akta pembagian waris di luar sengketa, hal ini dilakukan karena Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin dan bertujuan untuk memperkokoh atau mempererat hubungan kekeluargaan diantara keduanya. Hal ini sesuai dengan h{adis| Nabi Muh{ammad saw yang berbunyi :
عَنْ ﺃَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ ا للهُ عَنْهُ. يَقُوْلُ الرَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَهَا دُوْا تَحَابُّوْا
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. Bersabda; “saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling menyayangi.” (H.R. Bukhori)

Adapun dasar hukum yang digunakan Hakim dalam mempertimbangkan dan menetapkan berdasarkan fakta di atas, dinyatakan sebagai berikut:
- Bahwa akta pembagian warisan di luar sengketa ini dibuat berdasarkan ketentuan pasal 236 a HIR yis pasal 107 ayat (2) undang-undang nomor 7 tahun 1989 dan pasal 183 Kompilasi Hukum Islam;------------
- Demikian dibuat akta pembagian warisan di luar sengketa yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera Pengganti serta para Pemohon dan kedua saksi tersebut; ------------------------------------------------------
Dan karena perdamaian dalam perkara pembagian harta waris lebih cenderung mementingkan dan menuruti keinginan ahli waris, maka hal tersebut dirasakan adil dan menciptakan rasa kasih saying serta kerukunan, sebagaimana yang ingin dicapai oleh pensyariatan hukum waris Islam.
Dengan demikian, pertimbangan hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam memeriksa dan menetapkan perkara pembagian waris di luar sengketa, berdasarkan keterangan-keterangan para Pemohon, keterangan para saksi dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

0 Response to "Analisis Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama"

Posting Komentar