ASAL PENCIPTAAN PEREMPUAN PERTAMA

A. Biografi Mufassir
1.1. Riwayat Hidup Wahbah Zuhaili
a) Kelahiran dan Asal
Ia dilahirkan di Dir Athiyah, satu daerah di wilayah Damaskus pada tahun 1932 M. Ayahnya adalah seorang hafidl Al-Qur'an (hafal Al-Quran) dan berakhlak Qur'ani, menyukai sunnah nabawiyah, dan berprofesi sebagai petani di samping sebagai pedagang.
Pendidikan dasar ditempuhnya di tanah kelahiran sendiri, kemudian ia melanjutkan ke sekolah lanjutan formal selama enam tahun di Damaskus. Ia lulus dengan peringkat terbaik pada tahun 1952 M. Selanjutnya ia melanjutkan aktifitas pendidikannya di Universitas Al-Azhar Kairo pada fakultas Syariah. Dan menyelesaikannya dengan peringkat terbaik pada tahun 1956 M., dan kemudian mendapatkan penghargaan untuk mengajar di jurusan bahasa Arab di Universitas tersebut. Di sela-sela aktifitasnya sebagai dosen, ia menyempatkan diri untuk belajar di Fakultas Hukum di Universitas Ain Syams. Pada tahun 1957 M. ia mendapatkan gelar Lc dari Universitas tersebut dengan prestasi terbaik .
Gelar Magister ia raih di Kairo pada tahun 1959 M., dan kemudian ia menyelesaikan program doktornya pada tahun 1963 M. Ia mendapatkan nilai prestasi tertinggi dengan disertasi berjudul: "Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy – Dirosah Muqaranah baina al-Madzahib al-Tsamaniyah wa al-Qanun al-Duwaliy al-Am".
Kemudian di tahun yang sama ia diangkat sebagai dosen di Universitas Damaskus. Ia mengajar sesuai konsentrasinya, yaitu kajian yurisprudensi hukum Islam dan filsafat hukum Islam (ushul fiqh), selain itu, juga mengajar Fikih Perbandingan di fakulatas Syariah, juga materi-materi keagamaan yang lain di Fakultas Hukum dan Pasca Sarjana di Universitas tersebut. Aktifitasnya sehari-hari selain sebagai dosen, juga menulis, dan mengisi di seminar-seminar. Ia beraktifitas selama 16 jam dalam sehari.
Adapun Guru-guru Wahabh Zuhaili di Damaskus dan konsentrasi kajiannya: Al-Syaikh Mahmud Yasin (ilmu Hadis), Al-Syaikh Mahmud Al-Rankusi (Teologi Islam), Al-Syaikh Hasan Al-Syatha (ilmu Faraidl), Al-Syaikh Hasyim Al-Khatib (Fikih Mazhab Syafi'i), Al-Syaikh Luthfi Al-Qayyumi (Ushul Fiqh dan Mushthalah al-Hadits), Al-Syaikh Ahmad Al-Simaq (ilmu Tajwid), Al-Syaikh Hamdi Juwaijati (ilmu Tilawah), Al-Syaikh Abu Al-Hasan Al- Qashshab (Garamatika Bahasa arab), Al-Syaikh Hasan Jenka Al-Midani dan Al-Syaikh Shadiq Jenka Al-Midani (ilmu Tafsir), Al-Syaikh Shalih Al-Furfur (Stilistika bahasa dan Sastra arab), Al-Syaikh Hasan Al-Khatib, Ali Sa'd Al-Din, Al-Syaikh Shubhi Al-Khaizran, dan Kamil Al-Qashshar (ilmu Hadis dan Akhlak), Prof. Jaudat Al-Mardini (Retorika), Prof. Rasyid Al-Sathi, dan Prof. Hakamt Al-Sathi (Sejarah dan Akhlak), DR. Nadhzim Mahmud Nasimi dan Mahir Hammadah (Tasyri'), juga guru-guru yang lain dalam kajian yang berbeda seperti ilmu Kimia, Fisika, Bahasa inggris dan berbagai disiplin ilmu kontemporer lainnya.
Sedangkan guru-guru Wahbah di Mesir dan konsentrasi kajiannya: Guru besar Universitas Al-Azhar Al-Syaikh Mahmud Syaltut, DR. Abd Al-Rahman Taj, dan Al-Syaikh Isa Munnun yang menjabat sebagai Dekan Fakulatas Syariah (Fikih Perbandingan), Al-Syaikh Jad Al-Rabb Ramadlan (Fikih Syafi'i), Al-Syaikh Mahmud Abd. Al-Daim (Fikih Syafi'i), Al-Syaikh Mushthafa Abd. Al-Khalik dan saudaranya Al-Syaikh Abd. Al-Ghani Abd. Al-Khailk (Ushul Fiqh), Al-Syaikh Ustman Al-Maraziqi dan Al-Syaikh Hasan Wahdan (Ushul Fiqh), Al-Syaikh Al-Dalzawahiri Al-Syafi'i (Ushul Fiqh), Al-Syaikh Mushthafa Mujahid (Fikih Syai'i), Al-Syaikh Muhammad Al-Za'biy (Fiqh al-Ibadat). Dan di pasca sarjana ada Al-Syaikh Muhammad Abu Zuhro, Al-Syaikh Ali Al-Khafif, Al-Syaikh Muhammad Al-Banna, Al-Syaikh Al-Zafzaf, DR. Muhammad Salam Madkur, dan Al-Syaikh Faraj Al-Sanhuri (Fikih Perbandingan dan Ushul fiqh).
Berikut Guru-gurunya di Fakultas Hukum di Universitas Ain Syams: Al-Syaikh Isawa Ahmad Isawi, Al-Syaikh Zaki Al-Din Sya'ban, DR. Abd. Al-Mun'im Al-Badrawi, DR. Utsman Khalil, DR. Sulaiman Al-Thamawi, DR. Ali Rasyid, DR. Hilmi Murad, DR. Yahya Al-Jamal, DR. Ali Yunus, DR. Muhammad Ali Imam, juga DR. Aktsam Al-Khuli dan lainnya.
Di antara murid-muridnya adalah; DR. Muhammad Zuhaili (saudara beliau sendiri), DR. Muhammad Faruq Hammadah, DR. Muhammad Naim Yasin, DR. Abd Al-Sattar Abu Ghadah, DR. Abd. Al-Lathif Furfur, DR. Muhammad Abu Lail, DR. Abd Al-Salam Abbadi, DR. Muhammad Al-Syarbiji, DR. Majid Abu Rakhiyyah, DR. Badi' Al-Sayyid Al-Liham, juga DR. Hamzah dan yang lainnya di antara para dosen Fakultas Syariah pada Universitas Al-Azhar, juga ratusan tenaga pengajar dalam pendidikan keagamaan di departemen pendidikan.
Selain itu, lebih dari empat puluh suku yang pernah belajar dari beliau di Suria, Libia, Sudan, dan wilayah-wilayah Arab. juga ribuan orang di Timur dan Barat, Amerika, Malaysia, Afganistan, dan Indonesia yang mengkaji karya-kaya beliau di bidang Yurisprudensi hukum Islam, Filsafat Hukum Islam, dan Tafsir.
Wahbah Zuhaili dalam kehidupannya banyak menghasilkan beberapa buku selain tafsir Al-Munir, diantaranya adalah: Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami, Takhrij wa Tahqiq Ahadits, Takhrij wa Tahqiq Ahadits wa Atsar, Al-Wasit fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Ushul Fiqh al-Islami, Fiqih Islam fi Uslub al-Jadid, Nadzriyah ad-Dlaruroh as-Syar'iyah, Dirasah Muqaranah, Fiqih Islam menurut Madzhab Maliki, Hakikat Manusia dalam Islam, Rukhsoh Syar'iyah, Dan lain-lain.
b) Metodologi Tafsir Al-Munir
Wahhbah Zuhaili merupakan mufassir periode modern (abad XII sampai sekarang), yang mana tafsir pada abad ini merupakan himpunan dan ikhtisar dari tafsir sebelumnya serta produk ijtihad para ulama'nya.
Dalam tafsir Al-Munir ini membahas seluruh ayat Al-Qur'an dari awal surat Al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas. Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara corak tafsir bi al-Ma'tsur dengan tafsir bi al-ra'yi, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya.
Tentang tafsirnya ini, Wahbah Zuhaili menyatakan: "Tafsir Al-Munir ini bukan hanya sekedar kutipan dan kesimpulan dari beberapa tafsir, melainkan sebuah tafsir yang ditulis dengan dasar selektifitas yang lebih shahih, bermanfaat, dan mendekati ruh (inti sari) kandungan ayat Al-Qur'an, baik dari tafsir klasik maupun modern dan tafsir bi al-ma’tsur ataupun tafsir rasional. Di dalamnya juga diupayakan untuk menghindari perbedaan teori atau pandangan teologi yang tidak dibutuhkan dan tidak berfaedah.
Adapun corak tafsir Al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat simpulkan bahwa tafsir tersebut bercorak Adabi Al-Ijtima’i dan fiqhi, karena memang Wahbah Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat.
Tafsir Al-Munir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (Al-Fatihah), Wahbah Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu Al-Qur'an.
Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada Al-Qur'an secara ilmiah.
Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan tafsir Al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat Al-Quran dengan dalih pembaharuan. Oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.
Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu:
Pertama, aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Kedua, tafsir dan bayan, yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti terlihat dalam penafsirannya terhadap surat Al-Baqarah/2:97-98. Namun, jika ada permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam surat Al-Baqarah/2:106.
Ketiga, Fiqh Al-Hayat Wa Al-Ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia.
Wahbah sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir Al-Qur'an yang didasarkan pada Al-Qur'an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab al-Nuzul dan takhrij al-Hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.
Sedangkan dalam masalah teologis, beliau cenderung mengikuti faham ahl al-Sunnah, tetapi tidak terjebak pada sikap fanatis dan menghujat madzhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya tentang masalah "Melihat Tuhan" di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat Al-An'am/6:103.
1.2. Riwayat Hidup Al-Maraghi
a) Kelahiran dan Asal
Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthofa Ibn Musthafa Ibn Muhammad Ibn 'Abd Al-Mun'im Al-Qadhi Al-Maraghi. Ia lahir pada tahun 130 H/ 1833 M. di kota Al-Maraghah, propensi Sunhaj. Kira-kira 700 km arah selatan kota kairo. Kota Al-Maraghah adalah ibu kota kabupaten Al-Maraghah yang terletak di tepi barat sungai Nil, berpendidikan 10.000 orang dengan berpenghasilan gandum, kapas, dan padi.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi berasal dari kalangan keluarga ulama yang taat dan menguasai berbagai bidang ilmu agama, keluarga yang terpelajar dan hakim yang dipegangnya Secara turun-temurun, sehingga keluarga ini terkenal dengan nama keluarga hakim. Hal ini juga dapat dibuktikan, bahwa 5 dari 8 orang putra laki-laki Syekh Musthafa Ibn Muhammad Al-Maraghi (ayah Ahmad Musthafa Al-Maraghi) adalah ulama-ulama besar dan cukup terkenal, mereka adalah:
1. Syekh Muhammad Musthafa Al-Maraghi, yang pernah menjadi Syekh Al-Azhar dua periode, tahun 1928-1930 dan 1930-1945
2. Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, pengarang tafsir Al-Maraghi
3. Syekh Abdul Aziz Al-Maraghi, dekan fakultas Ushuluddin universitas Al-Azhar
4. Syekh Abdullah Musthafa Al-Maraghi, inspektur umum pada universitas Al-Azhar
5. Syekh Abdul Wafa Musthafa Al-Maraghi, sekretaris badan penelitian dan pengembangan universitas Al-Azhar.
Jadi dari keluarga Al-Maraghi merupakan keluarga yang senantiasa mengabdikan dirinya untuk masyarakat, bahkan mereka mendapat kedudukan penting sebagai hakim pada pemerintahan Mesir.
Ia waktu kecil diperintah orang tuanya belajar Al-Qur'an dan bahasa Arab di kota kelahirannya. Orang tuanya juga menyuruh Al-Maraghi melanjutkan studinya di Al-Azhar. Di sinilah ia mendalami bahasa arab, tafsir, hadits, fiqih, akhlak, dan ilmu falak. Diantara gurunya adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan Al-Adawi, Syekh Muhammad Bahis Al-Muti, dan Syekh Ahmad Rifa'I Al-Fayumi. Dalam studinya pada 1904, ia tercatat sebagai alumni terbaik dan termudah.
Selain memiliki kecenderungan dalam bidang bahasa Arab, ia juga memiliki kecenderungan pada ilmu Tafsir dan ilmu Fikih. Pandangannya tentang islam terkenal tajam menyangkut penafsiran Al-Qur'an dalam hubungannya dengan kehidupan sosial dan pentingnya kedudukan akal dalam menafsirkan Al-Qur'an.
Pandangan Al-Maraghi tentang posisi akal dalam memahami islam dilihat ketika memberi pengantar buku Hayah Muhammad (biografi Nabi Muhammad SAW), karya Muhammad Husain Haekal.
"Bagi Al-Qur'an rasio harus menjadi juru penengah, sedang yang harus menjadi dasar ilmu ialah buktinya. Al-Qur'an mencela sikap meniru-niru buta dan mereka-reka yang hanya didasarkan pada prasangka, dan prasangka itu tidak berguna sedikit pun terhadap kebenaran.
Selama pendidikannya, ia menjadi Guru dibeberapa sekolah menengah, dan kemudian diangkat menjadi Direktur sebuah sekolah di Fayun. Dia selain sebagai Intelektual muslim, juga sebagai birokrat. Ia menjadi Kadi (hakim) di Sudan sampai menjabat Qadi Al-Qudat hingga 1919 M. kemudian ia kembali ke mesir pada 1920 M., dan menduduki jabatan kepala Mahkamah Tinggi Syari'at. Pada Mei 1928 M ia diangkat menjadi Rektor Al-Azhar ketika berumur 47 tahun, sehingga ia tercatat sebagai Rektor temuda di Al-Azhar.
Al-Maraghi meniggal dunia pada tanggal 9 juli 1952 M/ 1371 H. di tempat kediamannya dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di kota Hilwan.
Diantara guru-gurunya yang juga mempengaruhi pemikirannya diantaranya, Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Al-'Adawi, Syekh Muhammad Bahis Al-Mut'i, dan Syekh Muhammad Rifa'I Al-Fayumi.
Berkat didikan dari Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, lahirlah ratusan, bahkan ribuan ulama atau sarjanah dan cendekiawan muslim yang bisa dibanggakan oleh berbagai lembaga pendidikan islam.
Mereka inilah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh aktifis bangsanya yang mampu mengemban dan meneruskan cita-cita bangsanya dibidang pendidikan. adapun salah satu muridnya di mesir adalah Dr. Fathi Ismail, kemudian murid-muridnya yang berasal dari Indonesia adalah Bustani Abdul Gani, guru besar dan dosen program pasca sarjanah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muchtar Yahya, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mastur Djauhari, dosen senior IAIN Antasari Banjarmasin, Ibrahim Abdul Halim, dosen senior Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdul Razaq Al-Amady, dosen senior IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa selain aktif mengajar Al-Maraghi juga giat menulis. Sejumlah kitab karangannya menjadi rujukan masyarakat pada masa ini, diantara karya monumentalnya adalah tafsir Al-Qur'an Tafsir tersebut terdiri dari 30 juz yang telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Kitab ini dikarangnya dalam masa 10 tahun, mulai pada tahun 1940. kitab ini mendapat sambutan luas dan positif para pembaca karena metode yang dipakainya dianggap baru dan belum pernah dipraktekkan orang-orang sebelumnya.
Bukunya dibidang fikih yang terkenal yaitu Al-Fath Al-Mubin Fi Tabaqat Al-Usuliyyin yang menguraikan tabaqat (tingkatan) ulama ushul.
Adapun karangan-karangan Al-Maraghi yang lain adalah:
1. Ulum Al-Balaghah, sebuah kitab yang menghubungkan antara metode Syekh Jurjan yang uraiannya panjang dan lebar dan metode Al-sakaki yang ringkas dan menggunakan teori-teori ilmiah
2. Hidayat Al-Thalib, ditulis dalam 2 juz. Juz 1 membahas nahwu, sharaf, dan juz 2 membahas balaghah. Kitab ini kemudian menjadi maqaran (buku wajib) di Madrasah Tsanawiyah Al-Azhar dan lembaga pendidikan lainnya
3. Buhus wa Ar'ai, buku sastra arab yang lebih menekankan pada teori-teori bahasa umum dengan mengkritisi para sastra sebelumnya
4. Tarikh Ulum Al-Balaghah wa Al-Ta'rif Birrijaliha (sejarah ilmu balaghah dan para tokonya)
5. Mursyid Al-Thullab
6. Al-Mu'jaz Fi Al-Arabi dan Al-Mu'jaz Fi Ilmi Al-Usul. Kedua buku ini dibahas dasar-dasar ilmu ushul dengan gaya bahasa yang mudah difahami disusul kemudian dengan praktek penerapan kaidah-kaidah.
Karena ada beberapa orang yang memakai nama Al-Maraghi, seperti yang tersebut di atas, maka disini perlu ditekankan bahwa yang menjadi obyek penelitian dalam skripsi ini adalah kitab tafsir yang ditulis oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi yang lengkap 30 juz, bukan kitab tafsir yang ditulis oleh Muhammad Musthafa Al-Maraghi (kakak), yang tafsirnya tidak sampai 30 juz.
Menurut 'Adil Nuwaihid, yang disebutkan terakhir ini hanya menulis tafsir Al-Hujurat, tafsir Al-Hadid, dan beberapa ayat dari surat Luqman dan Al-'Asr.
b) Metodologi tafsir Al-Maraghi
Tafsir Al-Maraghi merupakan suatu kitab tafsir dengan metode penulisan yang sistematis, bahasa yang simpel dan efektif serta mudah dipahami. Tafsir Al-Maraghi mempunyai metode penulisan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan tafsir-tafsir lain. Metode yang digunakan dalam penulisannya dapat ditinjau dari dua segi:
1) Dari segi urutan pembahasannya, maka memakai metode tahlili. Karena pada mulanya ia menurunkan ayat yang dianggap satu kelompok lalu menjelaskan pengertian kata (tafsir al-mufradat), maknanya secara ringkas, dan asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat), serta munasabah (kesesuaian atau kesamaan)nya. Pada bagian akhir ia memberikan penafsiran yang lebih rinci mengenai ayat tersebut.
2) Pada sisi lain, apabila ditinjau dari orientasi pembahasan dan model bahasa yang digunakan, dapat dikatakan memakai metode Adabi Al-Ijtima'I, karena diuraikan dengan bahasa yang indah dan menarik dengan berorientasi pada sastra, kehidupan budaya, dan kemasyarakatan, sebagai suatu pelajaran bahwa Al-Qur'an diturunkan sebagai petunjuk dalam kehidupan individu maupun masyarakat.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam metode penulisannya sebagai berikut:
1. Mengemukakan ayat-ayat di awal pembahasan
2. Menjelaskan kosa kata (Syarh al-Mufradat)
3. Menjelaskan pengertian ayat-ayat Secara global (al-Makna al-Jumali li al-Ayat)
4. Menjelaskan sebab-sebab turun ayat (Asbab al-Nuzul)
5. Meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
6. Gaya bahasa para mufassir
7. Seleksi terhadap kisah-kisah yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir
Quraish Shihab mengatakan bahwa antara Abduh, Rasyid Ridla, dan Al-maraghi, meskipun ada perbedaan, tetapi lebih menonjol persamaannya dalam menerapkan tafsir Adab Al-Ijtima'i.
Al-Maraghi juga termasuk mufassir modern yaitu pada abad XII sampai sekarang.



B. Penafsiran tentang Asal Penciptaan Perempuan Pertama dalam Al-Qur’an
1. Penafsiran Wahbah Zuhaili
a. Penafsiran surat An-Nisa ayat 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan yang telah menciptakan darinya pasangannya, serta yang telah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.
Surat An-Nisa' ini diturunkan di madinah, yang mana biasanya panggilan ditujukan kepada orang yang beriman (يا ايها الذين امنوا) , namun surat An-Nisa' ini mengajak agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang antar seluruh manusia demi persatuan dan kesatuan, baik untuk manusia yang beriman atau pun yang tidak beriman.
Dalam pandangan mayoritas ulama, yang dimaksud kalimat نَفْسٍ وَاحِدَة (diri yang satu) pada ayat tersebut adalah Adam as. yang merupakan bapak seluruh umat manusia. Begitu juga menurut Wahbah dalam tafsirnya, bahwa redaksi ayat tersebut menurutnya, juga menunjukkan bahwa diri yang satu (Adam) yang dimaksudkan adalah hanya satu orang. Jika ada yang menyatakan bahwa ada Adam-Adam yang lain sebelum Adam as. maka pernyataan ini bertentangan dengan dhahir ayat Al-Quran.
Selanjutnya dalam tafsirnya juga mengatakan, yang dimaksud dengan kata زَوْجَهَا (pasangannya) adalah Hawa. Hawa diciptakan dari tulang rusuk bagian kiri Adam saat ia tidur. Ketika Adam terjaga dari tidurnya, ia melihat sosok Hawa kemudian mengaguminya, dan sebagaimana Adam pun tertarik padanya, ia juga tertarik pada Adam. Pendapat ini didasarkan hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فإنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وإنَّ أعْوَجَ شَيْءٍ فِى الضِّلَعِ أعْلاهُ، فإنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمَه كَسَّرْتَه، وإنْ تَرَكْتَهُ لم يَزَلْ أَعْوَجَ.
Saling berwasiatlah agar berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sementara tulang rusuk yang bengkok adalah bagian atasnya, jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu mematahkannya, dan jika kamu membiarkan tulang itu, maka ia akan tetap bengkok.

Ada sebagian ulama seperti Abu Muslim Al-Ashfihani yang berpendapat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah Allah menciptakan pasangannya dari jenis yang sama. Dengan kata lain, Adam dan Hawa diciptakan dari jenis yang sama dan karakter yang sama pula. Mereka juga menyatakan bahwa Allah dapat menciptakan Hawa dari tanah, sebagaimana Dia juga dapat menciptakan Adam dari tanah. Mereka berargumentasi dengan beberapa ayat berikut:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia telah menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenteram kepada mereka. (Al-Rum : 21).
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummy seorang rasul dari golongan/jenis mereka sendiri. (Al-Jumu'ah: 2).
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari golongan/jenis kalian sendiri. (Al-Taubah: 128).
Pendapat Abu Muslim ini dapat ditolak karena berbeda dengan maksud hadis shahih di muka. Adapun tentang penciptaan Hawa dari Adam bertujuan untuk menunjukkan bahwa Allah berkuasa menciptakan makhluk hidup dari makhluk hidup yang lain tanpa proses perkembangbiakan, sebagaimana Dia berkuasa menciptakan makhluk hidup dari benda mati.
Perempuan merupakan bagian dari laki-laki. Ia diciptakan dari laki-laki, dan ia akan kembali bersandar kepada laki-laki. Mereka saling menyukai dan saling merindukan, baik perempuan itu berposisi sebagai ibu, saudara, anak, isteri, ataupun hubungan-hubungan yang lain yang mendorong adanya saling tolong menolong antara keduanya laki-laki dan perempuan dalam menjalani kehidupan. Adanya jenis laki-laki dan perempuanan menunjukkan sebuah kesempurnaan, sekaligus sebagai faktor pertama yang menyebabkan keberlangsungan hidup manusia, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً

Dan Dia (Allah) yang telah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.
b. Penafsiran surat Al-A’raf ayat 189
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Dialah yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan menjadikan darinya pasangannya, agar ia (diri yang satu) merasa tentram dengannya. (Al-A'raf: 189)
Ayat ini menjelaskan bahwa Dialah Allah yang telah menciptakan umat manusia berasal dari نَفْسٍ وَاحِدَةٍ (diri yang satu). Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud نَفْسٍ وَاحِدَةٍ (diri yang satu) di sini adalah Adam as. kemudian Dia menciptakan pasangannya yang populer dengan nama Hawa darinya, sehingga dari keduanya tersebar umat manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً

Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan yang telah menciptakan darinya pasangannya, serta yang telah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.
Sebagian ulama tafsir, ada yang berpendapat bahwa makna ayat ini adalah, Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari jenis yang sama dan karakter yang sama, dan telah menjadikan pasangannya juga dari jenis yang sama, agar ia merasa tentram dengannya. Seperti halnya Dia (Allah) menciptakan bermacam-macam makhluk berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kalian mengingat -akan kebesaran Allah.
c. Penafsiran surat Az-Zumar ayat 6
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا

Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari diri yang satu kemudian menjadikan darinya pasangannya. (al-Zumar: 6).
Dia (Allah) telah menciptakan kalian dengan segala perbedaan jenis kalian, bahasa, warna kulit, dari diri yang satu, yaitu Adam as., kemudian Dia menjadikan pasangannya yaitu Hawa dari jenis yang sama . Dan menjadikan dari keduanya manusia yang bersuku-suku, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً

Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan yang telah menciptakan darinya pasangannya, serta yang telah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak.
Sementara pendapat yang populer tentang makna lafadz مِنْهَا pada ayat ini yaitu Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, dan Allah tidak menciptakan seorang perempuan dari tulang rusuk laki-laki selain Hawa.
2. Penafsiran Al-Maraghi
a. Penafsiran surat An-Nisa’ ayat 1
 ••                 •       •    

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
Jumhur ulama sepakat bahwa makna nafsin wāhidah adalah Adam. Sehingga pemahaman ini, menurut Al-Maraghi pada hakikatnya hanya dipahami secara bulat, bahwa nabi Adam adalah bapak manusia.
Menurut Al-Qaffal, bahwa makna yang dimaksud dalam ayat ini adalah, sesungguhnya Allah telah menciptakan setiap diantara kalian berasal dari satu jiwa. Kemudian Dia jadikan istri untuknya yang Dia ciptakan dari dirinya, sama sebagai manusianya dan sejenis.
Atau kemungkinan pembicaraan ayat ini ditujukan pada kaum Quraish yang hidup pada masa Nabi SAW. Mereka adalah keluarga Qusay, dan yang dimaksud dengan nafsin wāhidah dalam ayat tersebut adalah Qusay sendiri.
Ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa sengaja Allah menggaibkan perihal satu jiwa, yang dari jiwa ini Dia menciptakan manusia. Oleh karena itu biarkanlah tetap kita diamkan saja tetap gaib.
Jika para penyelidik sudah membuktikan bahwa setiap jenis manusia memiliki asal tersendiri, maka apa yang telah ditemukannya tidaklah bertentangan dengan isi kitab taurat, yang Secara tegas menetapkan bahwa Nabi Adam adalah bapak manusia.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya mengatakan bahwa makna lahiriah nash bukan menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan satu jiwa itu adalah Nabi Adam, karena dua alasan berikut ini:
1) Penyelidikan ilmiah dan sejarah (arkeologi) yang bertentangan dengan pengertian tersebut
2) Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa rijālan katsīran wa nisā’an (laki-laki dan perempuan). Tetapi dalam Al-Qur'an tidak ada pengertian yang meniadakan dan mengiyakan keyakinan seperti itu secara pasti, dan tidak mengandung takwil lain.
Kemudian Al-Maraghi menjelaskan bahwa tentang ayat yang ditujukan pada umat manusia, yaitu (yā Banī Ādam) tidak cukup dijadikan alasan, bahwa semua umat manusia berasal dari keturunan Adam, karena pengertian itu cukup ditujukan kepada orang-orang yang dimaksud pada masa diturunkannya Al-Qur'an (Asrul Tanzil) dari kalangan anak-anak Adam. Selanjutnya Al-Maraghi menafsiri ayat وخلق منها زوجها, bahwa Allah lalu menciptakan untuk jiwa tersebut yang tergambarkan dalam bentuk Nabi Adam, seorang istri yang diciptakan dari dirinya sendiri, yang kemudian diberi nama Hawa. Para ahli kitab mengatakan bahwa Hawa diciptkan dari tulang rusuk sebelah kiri Adam sewaktu beliau sedang tidur. Keterangan ini diambil dari kitab kejadian pasal dua. Disebutkan juga pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam bukhari.
Al-Maraghi menyatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah Allah telah mengembangbiakkan manusia dari satu jiwa yang diciptakan dari tanah, dan dari tanah tersebut Dia ciptakan pula pasangannya yang bernama Hawa. Untuk menguatkan pendapatnya, Al-Maraghi juga memaparkan pendapat Abu Muslim Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa maksud dari kata "minhā" adalah dari jenis yang sama. Apabila Adam diciptakan dari tanah, maka Hawa pun diciptakan dari tanah juga. Pemahaman ini sama dengan pemahaman sebagaimana yang tertera dalam firman Allah surat Al-Rum/30: 21:
            ••   •     

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.


Juga pada surat At-Taubah/9: 128:
             


Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Serta surat Ali Imran/3: 164:

                        

Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Menurutnya, dari ketiga ayat di atas tidak ada perbedaan dalam hal uslubnya, bahkan makna semuanya sama. Jadi orang yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka tidak berdasarkan pada ayat ini, jika tidak demikian, penafsirannya merupakan pengecualian dari ayat-ayat lain yang sejenis, yang mempunyai pengertian sama.
Selanjutnya Al-Maraghi menafsirkan ayat وبث منهما رجالا كثيرا ونساء (wabatstsa minhumā rijālan katsīran wanisā’a), bahwa Allah mengembangbiakkan dua jenis manusia pria dan wanita, melalui Adam dan Hawa . Allah menjadikan keturunan itu dari dua sejoli suami istri. Maka semua keturunan manusia dikembangbiakkan melalui satu pasangan yang terdiri dari laki-laki dan wanita.
b. Penafsiran surat Al-A’raf ayat 189
                      •      •  

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur.
من نفس واحدة (min nafsin wāhidah) yaitu dari jenis yang sama. Pada pembukaan surat Al-A’raf ini, Allah SWT menyerukan kepada ketauhidan dan menganut apa yang Allah turunkan lewat Rasulnya.
Kemudian disambung dengan mengingatkan manusia tentang kejadian yang mula-mula ketika diciptakan dan dibentuk serta permusuhannya dengan setan. Kemudian Allah juga mengakhiri surat ini dengan pengertian-pengertian yang sama, yaitu diingatkan-Nya sekali lagi tentang kejadian manusia mula pertama dan dilarangnya ia menyekutukan Allah dan mengikuti godaan setan, Dia perintah manusia untuk men-Esakan dan mengikuti isi Al-Qur'an.
          
Al-Maraghi menafsirkan ayat ini, bahwa Allah-lah yang telah menciptakan kalian dari satu jenis, lalu Dia jadikan istrinya dari jenisnya juga, sehingga jadilah mereka berjodoh, laki-laki dan perempuan. sebagaimana dijelaskan
 ••     
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Allah juga menciptakan jenis dari makhluk lainnya, dan segala makhluk hidup, semuanya adalah berjodoh-jodoh atau berpasang-pasangan, sebagaimana difirmankan Allah SWT:
      
Maka Sesungguhnya untuk orang-orang dzalim ada bagian (siksa) seperti bahagian teman mereka (dahulu), Maka janganlah mereka meminta kepada-Ku untuk menyegerakannya.
c. Penafsiran surat Az-Zumar ayat 6
                  •                     

Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian dia jadikan daripadanya isterinya dan dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain Dia, maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?.

Pada ayat sebelumnya juga menerangkan tema yang sama, yakni tentang sesuatu yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya, dengan menyatakan ayat-ayatnya yang dia adakan pada seluruh alam semesta kemudian dilanjutkan pada ayat berikutnya tentang penciptaan manusia pertama dan menjadikan pula jodoh untuknya dari jenisnya sendiri. Dia juga menciptakan 8 binatang ternak yang berpasangan jantan dan betina, yang mana benih keturunan berasal dari jenis-jenis binatang ini.
Hal ini menjadi bukti keagungan dan kekuasaan-Nya yang tidak bisa dielakkan dan harus diakui. Dalam firman Allah SWT:
       
Dalam tafsirnya, Al-Maraghi mengatakan bahwa Allah SWT telah menciptakan kalian, walaupun dari bahasa dan warna kulitmu berbeda-beda, namun berasal dari satu jiwa, yakni Adam. Kemudian Allah SWT juga menjadikan istrinya dari jenis jiwa yang sama yaitu Hawa.
Setelah itu Allah melanjutkan dengan menyebutkan dalil lain, yaitu penciptaan binatang, yakni:
      
Allah telah menciptakan untukmu dari punggung binatang ternak, delapan binatang ternak yang berpasangan, yaitu binatang-binatang ternak yang disebutkan pada surat Al-An'am/6:143-144. Dan menurut Al-Maraghi bahwa ayat yang dimaksud adalah jantan dan betina untuk setiap jenisnya.
Selanjutnya Allah menyebutkan jalan peciptaan, baik dari manusia maupun binatang ternak, firman-Nya:
    •    
Dalam lanjutan ayat yang disebut di atas adalah menerangkan mengenai penciptaan, yang dalam hal ini dimaksud penciptaan lanjutan bukan awal penciptaan manusia. Yaitu dimulai dari perut sang ibu, sebagai kejadian demi kejadian. Pertama-tama menjadi nutfah (sperma), setelah itu menjadi 'alaqah (segumpal darah) kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging). Sesudah itu menjadi daging, tulang dan syaraf. Lalu dihidupkanlah padanya ruh sehingga menjadi kejadian yang lain. Maha suci-lah Allah sebagai pencipta yang terbaik.



C. Hikmah Adanya Proses Penciptaan Perempuan Pertama dalam Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an yang dimaksud hikmah adalah bagaimana kita dapat mengambil pelajaran yang berharga atau apa yang dapat ditangkap dibalik makna dari suatu peristiwa-peristiwa yang diceritkan dalam Al-Qur'an.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur'an:

                 
Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan Al-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

Setiap ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT pasti mengandung aspek penting dibalik apa yang diceritakan, misalnya dalam hal ini mengenai kisah Adam dan Hawa sebagai fragmen kehidupan sepasang anak manusia yang hidup penuh dengan pergumulan. Dalam Al-Qur'an menyebut kata ganti manusia dengan anak Adam, yang asal usul kehidupannya tidak disebut Secara jelas.
Jika fragmen sejarah Adam dan Hawa dicermati, maka maksud pengungkapannya adalah lebih sebagai gambaran sebuah kemelut nilai-nilai dan harkat kemanusiaan, dari pada apresiasi terhadap nilai sejarah itu sendiri.
Kata نفس واحدة jiwa yang satu, memberi kesan bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, arah dan tujuan, sehingga mereka benar-benar sehidup dan "semati" bersama. Karena jiwa suami adalah juga jiwa istrinya.
Seandainya manusia menyadari hakikat penciptaan ini, maka akan hilang dalam benak manusia semua tentang perbedaan yang muncul dalam kehidupan manusia, yang mencerai-beraikan antar diri yang satu dan merusak dari asal rahim yang satu tersebut. Dengan adanya penetapan hakikat ini maka akan menjamin terjauhnya pertikaian antar unsur dan golongan manusia. Pada zaman jahiliah modern yang memecah belah manusia karena warna kulit dan kebangsaan serta unsur-unsur lainnya. Dan juga orang yang memegang prinsip perpecahan yang selalu menyebut-nyebut penisbatan manusia kepada kebangsaan dan nasionalisme, dengan melupakan penisbatan kepada satu kemanusiaan dan satu rububiyyah. Penetapan hakikat ini juga akan menjamin terhindarnya dari perbudakan manusia oleh kasta yang lebih tinggi.
Manusia diciptakan Allah adalah untuk mengemban tugas sebagai khalifah di bumi ini yang merupakan tugas yang sangat berat. Dan manusia pertama yang diciptakan-Nya untuk memikul tugas itu adalah Adam as. Maka dapat dipahami mengenai hikmah dibalik penciptaan manusia pertama. Manusia pertama adalah Adam as., baru kemudian Hawa. Maka beban terberat sebagai pemimpin umat, yang dititipkan padanya alam beserta isinya terletak pada pundak kaum laki-laki. Namun bukan berarti kaum perempuan tidak mempunyai peran besar dalam memimpin alam semesta ini. Sesuai dengan tujuan awal penciptaan Hawa adalah untuk menemani Adam as., maka peran penting wanita adalah menemani kaum laki-laki memimpin alam semesta ini. Bukan berarti peran mereka kecil, karena kehadiran mereka adalah salah satu faktor yang bisa membuat kita bertahan memikul tugas yang sangat besar itu. Sebagaimana firman Allah:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. Al-Baqarah/2: 30)
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Ad-Dzariyat/51: 56)
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran/3: 104)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl/16: 125)

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya'/21: 107)

Jadi manusia adalah sebagai pemimpin di muka bumi, sebagai penyeru, sebagai pengabdi-Nya dan semuanya terangkum dalam tugas sebagai ’rahmat bagi semesta alam.
Dalam sejarah penciptaan Adam dan Hawa, dapat kita petik hikmah yang cukup mendalam, bahwasanya Hawa (kaum perempuan), tidaklah di ciptakan dari tulang kepala Adam ( kaum pria ) sehingga kita ingin menguasai secara berlebihan pasangan kita ( suami ), tidaklah Hawa di ciptakan dari tulang kaki Adam supaya kita menjadi budak dengan pengabdian yang sedemikian rupa, Akan tetapi Hawa di ciptakan dari tulang rusuk Adam, dekat di hati untuk di sayangi, dekat dengan jantung supaya memberi motivasi, dekat dengan paru paru supaya mampu menjadi penyegar dan memberikan hiburan baginya, dekat dengan tangan supaya kita dapat bersama bergandengan menata kehidupan dengan kearifan.
Sebagaimana dalam tafsir Al-Munir karya Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa hikmah dari penciptaan Hawa dari Adam adalah untuk menunjukkan bahwa Allah berkuasa menciptakan makhluk hidup dari makhluk hidup yang lain tanpa proses perkembangbiakan, sebagaimana Dia berkuasa menciptakan makhluk hidup dari benda mati. Dengan demikian maka Adam dan Hawa adalah salah satu tanda bukti kemukjizatan penciptaan pertama.
Namun demikian, sebagian ulama lain memaknai penciptaan dari tulang rusuk tersebut sebagai kiasan. Menurut mereka, jika melihat konteksnya, sebab penyebutan hadis di atas atau yang menjadi landasannya adalah pendidikan terhadap wanita dan penataan rumah tangga. Yakni, jika ingin memperbaiki wanita dengan cepat dan tergesa-gesa, niscaya akan mematahkannya. Namun, jika dibiarkan, ia tetap sebagaimana adanya. Dengan demikian, yang hendak dijelaskan oleh hadis di atas bukan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Akan tetapi, untuk menunjukkan bahwa wanita jika dibiarkan dalam kondisinya, ia akan tetap bengkok. Namun, jika berusaha untuk diluruskan dengan cepat, ia akan patah.
Selain itu, menurut Mutawali Sya’rawi, penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam yang bengkok menunjukkan watak, tugas, dan fungsi wanita. Sebagaimana tulang rusuk melindungi isi dada yang lemah dan jika diluruskan bisa patah, maka wanita juga memiliki perasaan yang sensitif, lemah lembut.

0 Response to "ASAL PENCIPTAAN PEREMPUAN PERTAMA"

Posting Komentar