hukum Islam di Indonesia dalam perspektif sosial politik



A. Latar Belakang
Dalam lintasan sejarah Indonesia, hukum Islam yang ada di Indonesia mengalami beberapa perkembangan seiring dengan perubahan zaman yang dilaluinya, mulai dari zaman para saudagar Arab yang membawa Islam pertama kali keJustify Full Indonesia sampai pada zaman sekarang. Indikator perkembangan tersebut dapat dilihat dari perkembangan pemikiran para tokoh-tokoh yang hidup pada era tersebut dan ada pula perkembangan itu dapat dilihat dan diindikasikan dengan adanya perubahan pola system dalam institusi negara yang dalam hal ini adalah peradilan agama.
Bertolak dari hal tersebut, maka uraian ini akan membahas lebih jauh bagaimana perkembangan hukum Islam di Indonesia dalam perspektif sosial politik yang lebih spesifik mengacu pada peradilan agama. Sebelum melangkah lebih jauh alangkah baiknya kita beri definisi apa itu peradilan, karena kebanyakan uraian-uraian itu dimulai tanpa memberi definisi atau pembatasan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksudkan dengan peradilan dan langsung membicarakan persoalannya sehingga menimbulkan kesan bahwa arti peradilan itu dianggap telah diketahui umum.
Menurut Mr. J. Van Kan “peradilan adalah pekerjaan hakim atau badan pengadilan”. Hakim dan pengadilan itu menurut beliau adalah badan yang oleh penguasa dengan tegas dibebani tugas untuk memeriksa pengaduan tentang gangguan hak (hukum) atau memeriksa gugatan dan badan itu memberi putusan hukum . Jadi pengertian peradilan dan pengadilan itu berbeda maknanya. Namun dalam hal ini akan dibahas peradilan dan pengadilan serta ruang lingkup sekitarnya sejalan dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Pokok bahasan peradilan dan pengadilan agama serta perubahan tata hukumnya mencakup beberapa aspek yang perlu dibicarakan tersendiri, namun aspek-aspek tersebut saling terkait satu sama lain. Aspek-aspek dimaksud antara lain mengenai sejarahnya, struktur organisasi kelembagaannya, substansi hukum yang diterapkan, pelaksanaan dan prosedurnya, prospek hukum, serta konteks politik dan sosio-kulturalnya dalam eksistensi terhadap hukum nasional. Di satu sisi pokok bahasan ini perlu menyoroti kondisi internal pengadilan agama, dan pada sisi lain membicarakan perubahan tata hukum Indonesia baik dalam konteks dipengaruhi maupun mempengaruhi mekanisme kerja pengadilan agama, karena tidak mungkin tidak sosial politik turut serta ambil bagian dalam mempengaruhi perkembangan hukum Islam itu sendiri. Adapun bekas dan pengaruhnya mungkin nampak di sana sini, namun terdapat proses yang mengharuskan penilaian ulang serta pengkajian yang mendalam kembali agar hukum Islam dapat berjalan dengan relevan dan signifikan terhadap perkembangan zaman, lebih-lebih dalam system hukum di Indonesia khususnya dalam lingkungan peradilan agama.



B. Rumusan Masalah
Dari uraian dan mengacu pada aspek-aspek di atas dapat disimpulkan menjadi beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perjalanan sejarah perjuangan politik hukum Islam di Indonesia?
2. Bagaimana sejarah dan eksistensi peradilan agama sebagai salah satu institusi pelaksana hukum Islam di Indonesia?
3. Sejauh mana prospek/ masa depan hukum Islam di Indonesia?

C. Manfaat dan Tujuan
Adapun manfaat dan tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan dan perjuangan politik hukum Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui sejarah dan eksistensi peradilan agama sebagai salah satu institusi pelaksana hukum Islam di Indonesia.
3. Untuk mengetahui seberapa jauh prospek hukum Islam di Indonesia.
4. Memperluas khazanah keilmuan sekitar perkembangan hukum Islam di Indonesia dalam perspektif sosial politik.
5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah politik hukum Islam di Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perjuangan Politik Hukum Islam di Indonesia
Pada mulanya Islam mengembangkan sayapnya melalui daerah pesisiran yakni abad ketigabelas. Ketika itu masyarakat Indonesia terdiri dari kelompok masyarakat yang terpisah dan berdiri sendiri. Kelompok terbesar dan mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi adalah di pulau jawa. Kedatangan Islam menyuguhkan konsep dan prinsip pemersatu, yang memungkinkan masyarakat Indonesia berfikir serba supra lokal. Contohnya gagasan tentang ummat, yakni “paguyuban orang-orang muslim”. Konsep-konsep yang disumbangkan Islam kepada masyarakat Indonesia adalah lebih ditonjolkan dalam bidang hukum. Dalam hal-hal tertentu, nilai-nilai agama lama bahkan tetap menjadi pegangan bagi sebagaian para penguasa. Adapun lembaga-lembaga Islam seperti Qada pada waktu itu hanya merupakan satu bagian dari kewenangannya. Memang pengembangan dan pemantapan hukum yang digerakkan oleh umat Islam merupakan problem universal dan dianggap mendesak untuk diperlukan terutama dalam masyarakat yang vacuum dengan prinsip dia mampu berjalan dalam lingkungannya.
Langkah-langkah umat Islam pada masa awalnya mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat. Penganutnya pun semakin bertambah dan pada akhirnya terbentuklah suatu komunitas umat Islam dalam masyarakat yang pada gilirannya memerlukan tatanan hukum yang menginterpretasikan aspirasinya.
1. Peran Umat Islam Dalam Bidang Hukum Pra Kemerdekaan
Dalam sejarah perjuangan umat Islam bahwa kalangan pejabat agama tidak pernah berada di garis depan perjuangan Islam, baik dikalangan reformisme-modernisme ataupun di kalangan konservatisme-tradisionalisme. Kesan negatif itu disebabkan karena memang belum banyak dunia ilmu pengetahuan menyoroti peranan kaum pejabat agama ini bagi perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Ormas muhammadiyah yang dengan ciri khasnya sebagai gerakan pembaharu dan NU sebagai organisasi yang mempertahankan tradisionalisme. Keduanya telah meyakinkan kepada kita bahwa tujuan gerakan mereka adalah sama yakni tegaknya hukum Islam di Indonesia. Ajaran yang dikembangkan kedua ormas tersebut terlihat dalam pendekatan istimbat hukum. Muhammadiyah langsung menggali sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunah), sedangkan NU tidak mau langsung melainkan berpegang kepada madzhab lewat kitab-kitab fiqih yang ada.
Karakteristik yang dicetuskan oleh ormas NU adalah sebagai manifestasi dari kebangkitan para ulama yang memimpin pesantren. Kebangkitan tersebut digambarkan sebagai upaya para ulama bersama-sama dengan kelompok lain mendorong munculnya kesadaran nasional dalam rangka perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Jadi ormas-ormas Islam itu lahir dengan tekad para ulama' untuk memberikan jawaban kepada berbagai masalah yang muncul di kalangan umat Islam, baik yang bersifat keagamaan, pendidikan, dan politik yang berlingkup nasional maupun antar bangsa. Sikap ini mendatangkan kesadaran-kesadaran baru, bahwa kekuasaan penjajah terus-menerus dihadapkan kepada Islam.
2. Eksistensi Hukum Islam Pasca Kemerdekaan
Bila disebut pengembangan, sudah jelas ada pokok yang dikembangkan. Benarkah hukum Islam telah ada dalam kehidupan hukum kita? Menengok jalannya sejarah, sesaat pemerintahan Hindia Belanda sebagai penguasa hukum, politik hukum dikenal devide et impera, salah satu upayanya adalah berlakunya hukum di tengah masyarakat sebagai hukum adat dan agama. Melalui cara yang halus hukum Islam telah dipreteli untuk tidak diterapkan secara formal.
Usaha untuk memiliki undang-undang atau hukum formil umat Islam sebenarnya telah lama terlintas, seperti hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan (perkawinan, waris, hibah, wasiat), dan hukum peradilan. Pada saat Indonesia merdeka, usaha tersebut dimulai dengan SP Menteri Agama RI tanggal 1 Oktober 1950 No.B/2/4299 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum.
Usaha yang lain adalah usaha-usaha diundangkannya UU perkawinan bagi umat Islam. Sesungguhnya usaha ini sudah dirintis sejak masa penjajahan, di mana masyarakat Islam menghendaki adanya hukum perkawinan yang tertulis. Dan akhirnya RUU tentang perkawinan yang pembicaraannya memakan waktu kurang lebih 3 bulan disahkan oleh DPR pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang No.1 tahun 1974.
3. Perjuangan Umat Islam dalam Melahirkan Kompilasi Hukum Islam (Khi)
Sekalipun dua undang-undang yang berwarna Islam (UU Perkawinan dan UUPA) telah dimiliki bangsa Indonesia, namun bukan berarti bahwa perjuangan politik umat Islam berhenti di situ juga. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu contoh hasil perjuangan umat Islam dalam rangka menegakkan hukum Islam dan sekaligus sebagai kontribusi terhadap hukum nasional.
KHI pada prinsipnya lahir karena ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, yaitu berdasarkan pengamatan dan pernyataan dari praktek kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi jauh lebih dari itu ada beberapa faktor yang penting adalah bahwa MA dan Depag ingin mewujudkan: Pertama, tata hukum Islam yang positif dan sistematis. Kedua, tata hukum Islam dimaksud minimal memuat hukum perkawinan, waris, hibah, wasiat, dan wakaf.
Selain itu juga ada faktor pendorongnya seperti:Pertama, keyakinan umat Islam, bahwa masalah hukum keluarga dan warisan erat sekali dengan masalah aqidah. Kedua, banyak putusan PA yang sangat fluktuatif dan disparitas. Ketiga, mempercepat taqrib baina umah, hal ini dimaksudkan agar di antara umat Islam Indonesia saling ada pendekatan paham, pengertian, dan pengalaman di bidang hukum Islam. Keempat, menyingkirkan faham frivat affair, hal ini dikarenakan selama ini ada kesalahpahaman umat Islam itu sendiri yang menganggap bahwa hukum Islam adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Padahal sesungguhnya syari’ah sebagai total sistem mempunyai sub sistem yaitu masalah ubudiyah dan muamalah, dalam masalah muamalah inilah tidak bisa dipisahkan antara pengaturan, penerapan, pengembangan, dan pelaksanaan dari campur tangan penguasa.
Kegigihan umat Islam dalam merumuskan KHI adalah merupakan terobosan ke jalur formal perundang-undangan. Metode yang diterapkan lebih cenderung kompromistis, penekanan obyeknya adalah nilai-nilai hukum adat yang berhadapan dengan syari’ah. Prinsip penerapan hukum dalam KHI ini diibaratkan spiral, yang pada suatu saat bisa dikembangkan dan bisa dipersempit, tetapi tetap mengacu kepada dalil asal (nash). Landasan berikutnya adalah penerapan hukum berorientasi maslahat.
B. Sejarah dan Eksistensi Peradilan Agama Sebagai Salah Satu Institusi Pelaksana Hukum Islam di Indonesia
Peradilan agama sebagai suatu badan yang terkait dengan sistem kenegaraan Indonesia sudah lahir sejak tanggal 1 Agustus 1882. namun demikian Peradilan Agama dalam jangka waktu yang panjang sejak kelahirannya belum mempunyai eksistensi sebagai institusi peradilan yang mandiri, karena selalu dikontrol dengan ketat oleh pemerintah Belanda. Baru pada tahun 1989, yakni pada usianya yang ke-107 tahun, dengan disahkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, eksistensi peradilan agama sebagai pelaksana hukum Islam di Indonesia memasuki era kemandirian dengan kedudukan yang lebih mantap dan posisi yang lebih sejajar dengan badan peradilan lainnya.

1. Peradilan Agama Pada Masa Kesultanan Islam/ Sebelum Penjajahan
Pada awalnya Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, yakni beberapa abad sebelum kedatangan kaum penjajah. Peradilan Agama, dalam bentuknya yang sederhana berupa tradisi tahkim kepada pemuka agama, telah lama ada dalam masyarakat Indonesia yakni sejak zaman kesultanan Islam. Perkembangan dan pertumbuhan peradilan agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk, kemajemukan itu bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama' bebas dari kalangan pesantren, dan bentuk-bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing. Selain itu terlihat dalam susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya.
Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum hindu, yang berwujud hukum Pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Pada masa sultan agung di Mataram (1613-1645), pengadilan Pradata dirubah menjadi pengadilan Surambi, yang dilaksanakan di serambi masjid. Ketika Amangkurat I menggantikan sultan agung pada tahun 1645. pengadilan Pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama' dalam pengadilan dan raja sendiri yang menjadi tampuk pimpinannya. Namun dalam perkembangan berikutnya pengadilan Surambi masih menunjukkan keberadaannya sampai dengan masa penjajahan belanda. Di aceh, pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Di beberapa tempat, menurut Lev, seperti di kalimantan selatan dan timur, sulawesi selatan dan tempat-tempat lain, para hakim agama biasanya diangkat oleh penguasa setempat. Dengan pelbagai ragam peradilan seeperti itu, menunjukkan posisinya yang sama yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan.
Adapun referensi yang dijadikan rujukan pada masa kesultanan Islam yakni pada waktu itu mengarah kepada beberapa kitab-kitab fiqih dan menurut Mohamad Atho Mudzhar, tidak hanya kitab fiqih saja tetapi ada sumber lainnya seperti yang diutarakannya.
“There are at least four types of Islamic legal literature: kutub al-fiqhiyyah (book of Islamic jurisprudence), decrees of the Islamic courts, law and regulation adopted by Muslim countries, and fatwas (legal pronouncement of jurisconsults). Each of these has its own characteristics and deserves proper attention”.

2. Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan

Untuk melegakan perasaan umat Islam dan supaya tidak terjadi pemberontakan, dalam statua Batavia tahun 1642 disebutkan bahwa dalam hukum kewarisan bagi bangsa Indonesia tetap diberlakukan hukum kewarisan Islam. VOC pada tahun 1760 menerbitkan Compendium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang diberlakukan di pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam. Terbit pula kitab Mugharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang yang memuat hukum-hukum Jawa, yang mencerminkan hukum Islam. Terbit pula kitab Pepakem Cirebon yang berisikan kumpulan hukum-hukum Jawa yang tua-tua. Dibuat pula peraturan untuk daerah Bone dan Goa atas prakarsa B.J.Clootwijk. Demikian keadaan hukum Islam pada masa VOC yang berlangsung dua abad lamanya, mulai tahun 1602 hingga 1800. hal ini menandakan bahwa hukum Islam tetap survive pada zaman VOC.
Setelah masa VOC berakhir, dan pemerintahan kolonial Belanda benar-benar menguasai seluruh nusantara, hukum Islam mengalami pergeseran. Secara berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah. Pada masa Daendels (1808-1811) kedudukan hukum Islam belum mengalami pergeseran. Thomas Raffles (1811-1816) bahkan masih mengukuhkan hukum Islam sebagai hukum rakyat di Jawa. Tetapi setelah Inggris, berdasarkan konvensi London tahun 1814, menyerahkan kembali kekuasaan pemerinahan kepada Belanda. Oleh pemerintah kolonial Belanda dikeluarkan peraturan perundang-undangan tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian, dan perdagangan di wilayah jajahanya di Asia. Hukum Islam mulai mengalami pergeseran dan tata hukum hindia Belanda yang sangat merugikan eksistensi hukum Islam.
Selama masa penjajahannya dan sebelum lahirnya Staatblad nomor.152, pemerintah Belanda sekurang-kurangnya telah mengakui keberadaan dan berjalannya peradilan agama di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Hal ini didasarkan pada bukti-bukti sejarah sebagai berikut:
a) Pada tahun 1808 dikeluarkan instruksi pemerintah Hindia Belanda kepada para Bupati, yang isinya bahwa terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan, dengan syarat tidak akan ada penyalahgunaan.
b) Pada tahun 1820 melalui Staatblad nomor 20 pasal 13 ditentukan bahwa bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka, dan yang sejenis.
c) Pada tahun 1823, dengan resolusi gubernur jendral tanggal 3 Juni 1823 nomor 12 diresmikan pengadilan agama di kota Palembang.
d) Pada tahun 1835 melalui resolusi tanggal 7 Desember 1835 yang dimuat dalam Staatblad 1835 nomor 58, pemerintah pada masa itu mengeluarkan penjelasan tentang pasal 13 Staatblad 1820 nomor 20.
e) Pada tahun 1854, melalui pasal 78 Regeeringstreeglement (R.R) 1854 (Staatblad 1855 nomor 2) ditentukan batas kewenangan peradilan agama, yaitu: (a) pengadilan agama tidak berwenang dalam perkara pidana, (b) apabila menurut hukum-hukum agama atau adat lama perkara itu harus diputuskan oleh mereka (para penghulu/ peradilan agama).
Akhirnya pembaharuan tata hukum Hindia Belanda pun dilakukan, rakyat disadarkan agar menerima hukum Hindia Belanda yang lebih baik untuk menggantikan hukum asli mereka. Komisi yang diketuai Mr.Scholten van Oud melihat rakyat beragama itu sangat kuat kesadaran hukum mereka. Akhirnya secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dengan sistem kenegaraan lahir/ diresmikan untuk pertama kalinya di Indonesia yakni tepatnya di Jawa dan Madura pada tanggal 1 Agustus 1882 dengan sebutan priesterraad (pasal 1)yang bisa diartikan majelis pendeta, majelis padri, pengadilan pendeta atau pengadilan padri, berdasarkan keputusan raja Belanda, yakni Raja Willem III, tanggal 1 Januari 1882 nomor 24 yang dimuat dalam Staatblad nomor 152. mengenai wewenang pengadilan agama pada waktu itu mencakup hukum-hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Dengan didirikannya pengadilan agama tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa hukum Islam mendapat pengukuhan dari pemerintah Hindia Belanda.
Dengan keberadaan lembaga semisal peradilan agama ini, pemerintah Belanda merasa bahwa hukum Islam benar-benar telah berlaku di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia, sehingga berlaku teori Receptio in Complexu yang dikemukakan Van den Berg dengan teorinya bahwa orang-orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syari’at Islam secara keseluruhan.
Dalam perjalanan sejarahnya, kedudukan peradilan agama diperlemah oleh pemerintah Hindia Belanda dengan diberlakukannya teori Receptie yang dikemukakan oleh C. Snouck Hurgronje yang hanya memberlakukan hukum Islam apabila telah menjadi bagian hukum adat. Jadi hukum Islam baru berlaku jika sudah diterima oleh hukum adat
Menurut Aqib Suminto, Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai “kekuatan politik”. Dalam hal inidia membagi masalah Islam atas tiga pilihan. Pertama, bidang agama murni atau ibadah, kedua, bidang kemasyarakatan, dan ketiga, bidang politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda-beda. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam politiek,atau kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Dalam bidang ibadah, pemerintah kolonial memberikan kebebasan beribadah kepada umat Islam selama tidak menggangu kekuasaan Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat supaya mendekati Belanda. Tetapi dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan pan Islam.
Pendapat Prof. Snouck Hurgronje tersebut diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda sehingga pemerintah Belanda mulai melakukan perubahan undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia, misalnya Regeeringareglement (R.R) menjadi Indische Staatsregeling (I.S). hal ini tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam I.S yang diundangkan dalam Stbl (Staatblad).1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 itu berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.”
Pada pertengahan tahun 1937 pemerintah hindia Belanda mengumumkan gagasan untuk memindahkan wewenang mengatur waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri. Apa yang menjadi kompetensi pengadilan agama sejak tahun 1882 hendak dialihkan kepada pengadilan negeri. Dan dengan Stbl. 1937:116 dicabutlah wewenang pengadilan agama itu dengan alasan hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh teori resepsi Sejak waktu itu pengadilan agama hanyalah mengenai soal perkawinan dan perceraian saja.
Pengalihan wewenang tersebut dikritik oleh Hazairin dengan menyebut teori itu sebagai teori iblis, karena menurut beliau, pendapat atau teori itu “membujuk” orang Islam untuk tidak mentaati al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang memuat hukum kewarisan yang wajib dilaksanakan oleh orang Islam.
Demikian halnya, penataan peradilan agama pada masa peralihan dari pemerintah Belanda ke jepang, sejalan dengan politik Islam yang ditetapkan. Jepang yang sedang menghadapi perang dengan sekutu, menerapkan politik yang simpatik terhadap umat Islam Indonesia.
Berkenaan dengan penerapan politik itu tinngkat campur tangan terhadap peradilan agama amat rendah, sehingga memungkinkan adanya usaha memulihkan kekuasaan pengadilan, khususnya mengenai masalah kewarisan dan perwakafan melalui Sanyo Kaigi (dewan pertimbangan). Usaha tersebut mengalami kegagalan karena ditentang oleh golongan nasionalis. Konflik antara golongan Islam dengan nasionalis itu secara makro berpangkal kepada konsep hubungan antara agama dengan negara, yang berpangkal pada orientasi kebudayaan mereka. Di satu pihak golongan Islam menghendaki terbentuknya “negara Islam”, sedangkan di pihak lain golongan nasionalis menghendaki “negara netral” dari agama.
Pertentangan di antara kedua golongan tersebut tercermin dalam pandangan dua tokoh nasional di dalam Dewan Sanyo, sebagaimana digambarkan oleh Lev. Abikusno, golongan Islam, berpandangan bahwa pengadilan agama harus tetap ada dan kewenangannya di bidang kewarisan harus dipulihkan. Di samping itu, pengadilan harus diperkuat oleh tenaga yang terdidik dan digaji oleh pemerintah. Sebaliknya, Supomo, golongan nasionalis, berpandangan bahwa negara yang sekuler harus bersifat modern dan tidak perlu berdasarkan Islam. Apabila pengadilan agama tidak dapat dihapuskan, maka jabatan penghulu dalam instansi-instansi sipil dihapuskan.
4. Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan
Sesudah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, langkah pemerintah Indonesia adalah mengalihkan pembinaan peradilan agama dari departemen kehakiman ke departemen agama melalui PP nomor 5/SD/1946. Pada tahun 1948 keluar UU No.190 tahun 1948 yang masa berlakunya ditentukan oleh menteri kehakiman. UU ini memasukkan pengadilan agama ke dalam pengadilan umum. Namun penetapan menteri kehakiman tentang berlakunya UU tersebut tidak pernah keluar dan pengadilan agama berjalan sebagaimana biasa. Pada tahun 1957 pemerintah mengatur pembentukan pengadilan agama di luar jawa dan kalimantan selatan melalui peraturan pemerintah No. 45 tahun 1957. wewenang pengadilan agama di luar jawa, madura, dan kalimantan selatan itu meliputi perkara-perkara (1) nikah, (2) talak (3)rujuk (4)fasakh (5)nafkah (6)maskawin (7)tempat kediaman (8)mut’ah (9)hadanah (10)perkara waris-mewaris (11)wakaf (12)hibbah (13)sedekah, dan (14)bayt al-mal.
Sejak tahun 1958 pemerintah membentuk pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di berbagai tempat yang memerlukan. Pada tahun 1964 pemerintah mengeluarkan UU nomor 19 tahun 1964 tentang pokok keuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 UUD 1945. UU ini menyatakan bahwa di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di samping pengadilan umum adalah pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara. Pada tahun 1970 UU nomor 19 tahun 1964 tersebut diganti dengan UU nomor 14 tahun 1970 yang berisi ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman di mana eksistensi peradilan agama tetap dipertahankan seperti semula.
Pada tahun 1974 keluarlah UU nomor 1 tentang perkawinan. Pasal 63 ayat (1) UU ini memberi wewenang yang lebih besar kepada pengadilan agama untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan. Pada tahun 1974 mahkamah agung mengeluarkan peraturan yang memperkuat kedudukan pengadilan agama, yaitu dengan diberikannya hak untuk mengajukan kasasi ke mahkamah agung. Kenyataannya, seluruh keputusan pengadilan agama masih memerlukan pengukuhan eksekusi dari pengadilan umum, dan pengadilan umum bahkan dapat meninjau keputusan pengadilan agama tersebut. Pada tahun 1989, dengan dikeluarkannya UU nomor 7 tahun 1989 tentang pengadilan agama (UUPA) kedudukan dan kekuasaan pengadilan agama benar-benar sama dan setingkat dengan tiga pengadilan lainnya. Tujuan utama diundangkannya UUPA ini adalah penataan organisasi dan tata kerja pengadilan agama agar menjadi pengadilan yang sejajar atau setingkat dengan pengadilan-pengadilan lainnya.
Wewenang pengadilan agama di seluruh Indonesia diatur dalam bab III pasal 49-53 UUPA, yakni memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara umat Islam yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, wasiat, wakaf, dan sadaqah.
C. Prospek/ Masa Depan Hukum Islam di Indonesia
Sistem hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangan sejarah bersifat pluralis (majemuk), karena Indonesia merupakan negara yang plural baik dari sisi ras, suku, budaya, maupun agama. Di samping itu, Indonesia memiliki sejarah pernah dijajah oleh bangsa lain yaitu Belanda, Jepang, Portugis, dan Inggris. Dari keempat negara penjajah tersebut yang paling banyak pengaruhnya dalam hal hukum yang berlaku di Indonesia adalah belanda. Dari realitas yang demikian, ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum barat. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Dan dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia di kemudian hari, ketiga sistem hukum itu menjadi bahan baku hukum nasional.
Berbicara mengenai masa depan hukum Islam di Indonesia, paling tidak perlu mengadakan pengamatan terhadap tiga hal, yaitu: karakter hukum Islam, politik hukum era reformasi, dan kesadaran hukum masyarakat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya. Ketiga hal tersebut menjadi variabel penting dalam membahas tentang masa depan hukum Islam di Indonesia. Oleh karenanya tiga hal itu perlu dibahas satu persatu secara agak rinci.
1. Karakter Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum Allah yang diturunkan melalui wahyu kepada nabi Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia, sebagai pedoman hidup demi kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Oleh karenanya hukum Islam bersifat kekal dan universal, disamping elastis. Elastis di sini berarti bahwa hukum Islam dapat mengakomodasi perkembangan zaman. Institusi yang menjadikan hukum Islam sangat dinamis tersebut adalah ijtihad. Ijtihad merupakan bagian ajaran Islam yang sangat penting, bahkan ia merupakan salah satu sumber hukum Islam.
Ijtihad merupakan jaminan pasti bahwa hukum Islam akan senantiasa bersikap antisipatif dan akomodatif terhadap perkembangan zaman. Bisa dibilang ijtihad merupakan principle of movement dalam Islam. Pemberdayaan terhadap ijtihad harus dilakukan, antara lain dengan pengembangan ijtihad kolektif untuk memperoleh pendekatan yang multisektoral dengan tanpa mengabaikan azas-azas utama hukum Islam.
Lebih dari semua itu, suatu hal yang harus dipertimbangkan yaitu sifat hukum Islam yang memang senantiasa sesuai dengan fitrah dan akal sehat manusia. Ini merupakan keistimewaan tersendiri yang menjadikan hukum Islam senantiasa relevan dengan masyarakat manusia di manapun dan kapan pun.
2. Politik Hukum Era Reformasi
Setelah rezim orde baru jatuh, bangkitlah era reformasi. Secara teoritis kondisi Indonesia memasuki era demokratisasi, meskipun kini masaih dalam masa transisi dan sering tampak masih dalam batas retorika. Kondisi sosial politik Indonesia masa ini memang masih belum stabil. Indonesia sedang memasuki masa transisi menuju cita-cita reformasi yang sedang diperjuangkan.
Dalam pemerintahan sekarang ini, posisi-posisi dan jabatan-jabatan penting dan strategis diduduki oleh orang yang beragama Islam. Kendatipun realitas ini bukan berarti jaminan dan menjanjikan bagi terakmodasinya seluruh hasrat umat Islam, namun paling tidak realitas sosial politik semacam ini memberikan peluang dan harapan yang besar bagi umat Islam untuk didengarnya suara, aspirasi, dan hasrat sosialnya sebagai pengejawantahan dari ajaran agamanya. Kesempatan dan peluang yang sedemikian menjanjikan akan sia-sia bila tidak direspon secara maksimal oleh umat Islam.
Dalam era reformasi ini telah diberlakukan beberapa peraturan yang mengakomodir kepentingan umat Islam, seperti diundangkannya UU zakat dan haji pada tahun 1999. diberlakukannya syari’at Islam di Aceh. Dimasukkannya materi sebagai sistem ekonomi Islam dalam UU perbankkan, dan lain-lain. Ini semua menunjukkan bahwa pemerintah bersikap akomodatif terhadap kepentingan umat Islam, sebagai realitas politik hukum yang digariskan dalam GBHN 1999, karena kekuatan sosial politik umat Islam dan potensi kontribusinya bagi masa depan Indonesia memang nyata.
3. Kesadaran Hukum Umat Islam Mengamalkan Ajaran Agamanya
Kesadaran umat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya, khususnya dalamkaitannya dengan hukum Islam sangat berbeda-beda, tergantung penerimaan dan penghayatan terhadapa ajaran Islam. Di Indonesia terdapat golongan yang dikenal kelompok abangan yaitu golongan umat Islam yang penghayatan dan pengamalannya serta kesadarannya terhadap hukum Islam sangat mengambang.
Di sisi lain ada kelompok taat, yaitu kelompok yang sadar sebagai pengikut suatu agama, mereka berusaha untuk mengetahui dan mendalami ajaran agamanya, dan berusaha pula semaksimal mungkin mengamalkannya. Dengan kata lain kesadaran beragama kelompok ini sangat baik. Bahkan akhir-akhir ini terdapat fenomena yang sangat menggembirakan yaitu semakin kentaranya antusiasme umat Islam termasuk para cendekiawan, pengusaha, para artis, dan para birokrat untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Melihat beberapa aspek yang telah dikemukakan di atas, cukup beralasanlah kalau dikatakan bahwa umat Islam akan berpeluang semakin besar dalam mengegolkan berbagai cita-cita hukum yang diyakininya. Apalagi di era reformasi saaat ini, dalam kerangka kebebasan dan demokratisasi, perjuangan membumikan hukum Islam di Indonesia adalah suatu usaha yang sah. Bahkan optimisme akan prospek penerapan hukum Islam di Indonesia akan semakin tinggi, bila mencermati faktor-faktor berikut:
a) Umat Islam adalah penduduk mayoritas.
b) Semakin meningkatnya tingkat pendidikan umat Islam, dengan indikasinya banyak anak muslim yang telah menyelesaikan studi S1, S2, dan bahkan S3 dan tidak sedikit dari mereka memiliki concern yang tinggi terhadap Islam.
c) Sudah semakin menurunnya sikap Islam phobia dari orang-orang non-muslim.
d) Secara yuridis, upaya penerapan hukum Islam di Indonesia dijamin oleh konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA

ahmad, Amrullah. 1996.Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press.
Ali, Muhammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah
Azizy, A.Qadri. 2002. Eklektisisme Hukum Nasional. Yogyakarta: Gama Media
Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia Sejak 1942. Yogyakarta: Liberty
Noeh, H. Zaini Ahmad. Sejarah Peradilan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: PT Intermasa
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama'. 1985. Khitthah NU, Jakarta: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr, Slamet Efendi Yusup dkk, 1993. “Dinamika Kaum Santri Menelusuri Jejak Pergolakan Intern NU” dalam 70 tahun H.A.Mukti Ali. Yogyakarta: IAIN Press
Halim, A. 2000. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta:PT.Raja GrafindoPersada.
Bisri, Drs.Cik Hasan Msi. 1998. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mudzhar, M. Atho. 2003. Islam and Islamic Law in Indonesia. Jakarta:Religious Research and Development, and Training.
Basyir, A. Azhar dkk. 1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.Yogyakarta: UII Press
Usman, Prof.Dr. H. Suparman, S.H. 2001.Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press
Syadzali, Munawir. 1991 “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Tjun Surjaman (ed) Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya
Suny, Ismail. 1994. “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Tjun Surjaman (ed) Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Daud Ali, Prof. H. Mohammad S.H. 1997. Hukum Islam dan Peradilan Agama Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Suratmaputra, Ahmad Munif. 2002. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus


0 Response to "hukum Islam di Indonesia dalam perspektif sosial politik"

Posting Komentar