Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga negara, tanpa adanya kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa negara. Oleh karena itu dalam setiap negara menginginkan adanya pembagian kekuasaan sehingga kesewenang-wenangan penguasa dapat diminimalisir dan ditiadakan.
Masalah pembagian kekuasaan adalah masalah yang selalu dihubungkan dengan ajaran Montesquieu yang terkenal dengan sebutan Trias Politica. Menurut Montesquieu kekuasaan (fungsi) di dalam negara itu dibagi ke dalam kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (mengadili atas pelanggaran-pelanggaran bagi Undang-undang).
Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legislatif adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, dan kekuasaan Yudikatif dipegang oleh badan-badan kehakiman. Selanjutnya bahwa di dalam ajaran Trias Politica itu terdapat suasana checks and balances di mana di dalam hubungan antarlembaga negara itu terdapat saling menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampui batas kekuasaan yang sudah ditentukan atau masing-masing lembaga tidak mau dicampuri kekuasaannya sehingga antar-lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan.
Negara Indonesia adalah negara yang menganut konsep welfare state atau negara kesejahteraan, yang mana tugas pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam dan tidak pasif tetapi harus berperan aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua rakyatnya tetap terjamin, dengan demikian pemerintah harus memberikan perlindungan bagi warga negara bukan hanya di bidang politik tetapi juga sosial, ekonomi, sehingga kesewenang-wenangan dengan golongan tertentu harus dicegah oleh pemerintah sehingga tugas pemerintah diperluas mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan maksud untuk menjamin kepentingan umum.
Namun hal tersebut tidak dapat tercapai karena sebelum reformasi bergulir kekuasaan lebih dominan dikendalikan oleh pihak eksekutif (presiden), sehingga peran legislatif dan yudikatif termarjinalkan. Peran legislatif dan yudikatif tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya karena banyaknya intervensi dan control dari eksekutif sehingga mau tidak mau menuruti kehendak eksekutif daripada kehendak rakyat. Akhirnya hal tersebut menjadikan Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional.
Krisis yang mendera Indonesia pada era 1990-an, telah menimbulkan banyak persoalan pada berbagai aspek kehidupan baik itu dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum. Masyarakat menilai berbagai produk hukum, penegakan dan penerapannya masih sangat jauh dari yang diharapkan. Penilaian demikian telah mendorong masyarakat bersikap tidak menghormati, tidak mempercayai bahkan mengabaikan hukum dan lembaga-lembaga hukum yang ada. Atau dengan kata lain, hukum sudah tidak berwibawa lagi.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum ini disebabkan antara lain karena masih banyaknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum tuntas penyelesaiannya secara hukum dan adanya pengabaian dan pelecehan terhadap hukum yang sekaligus diakibatkan dan mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap hukum. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa-masa terakhir ini sudah cukup menunjukkan bahwa hukum dianggap tidak eksis, baik oleh anggota masyarakat (misalnya dengan tingginya jumlah aksi peradilan rakyat terhadap penjahat kelas teri), maupun oleh lembaga hukum sendiri (yang membiarkan dan adakalanya justru melakukan pelanggaran hukum).
Akibat yang ditimbulkan dari banyaknya persoalan-persoalan yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan tersebut, timbul keinginan untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia, dalam penegakan supremasi hukum dibutuhkan kemauan yang kuat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terkait dengan hukum seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan ganguan keamanan.
Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut adalah melakukan perubahan-perubahan, bahkan pembaharuan terhadap berbagai aspek hukum. Program reformasi hukum, tidak bisa tidak harus digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat, dengan beban terbesar diletakkan pada pundak para penyelenggara negara. Hal ini dipandang sebagai konsekuensi logis prinsip negara hukum. Karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka reformasi hukum perlu direalisasikan sehingga semua kekuasaan tunduk pada hukum.
Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali.
Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (checks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.
Pasca amandemen UUD 1945 menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku meliputi jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan sistem perwakilannya. Sejalan dengan itu, muncul lembaga-lembaga dalam bentuk komisi, untuk menjawab tuntutan masyarakat. Pembentukan lembaga-lembaga yang berbentuk komisi ini sangat pesat perkembangannya sepanjang reformasi.
Banyaknya tumbuh lembaga-lembaga dan komisi-komisi, ataupun korporasi-korporasi yang bersifat independen tersebut menurut Jimly Asshiddiqie merupakan gejala yang mendunia, dalam arti tidak hanya di Indonesia. Seperti dalam perkembangan di Inggris dan di Amerika Serikat, lembaga-lembaga atau komisi-komisi itu masih ada yang berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula yang bersifat independen dan berada di luar wilayah kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Pada umumnya, pembentukan lembaga-lembaga independen ini didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintah dinilai tidak dapat lagi memenuhi tuntutan kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu yang semakin meningkat dan diharapkan semakin efisien dan efektif.
Jika dalam UUD 1945 hanya menentukan satu lembaga yang termasuk auxiliary body, tetapi di luar UUD 1945 berkembang auxiliary body tanpa kendali. Berdasarkan pendapat Asimov, komisi Negara dapat dibedakan dalam dua kategori: pertama, komisi Negara independen, yaitu organ Negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudisial, namun justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya. Kedua, komisi Negara biasa (state commissions), yaitu komisi Negara yang merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.
Di Indonesia saat ini sudah lebih dari 50-an lembaga Negara bantu terbentuk. Jumlah ini di masa depan diprediksi akan semakin bertambah. Pembentukan lembaga Negara bantu itu dilakukan menurut dasar hukum yang berbeda. Ada yang berdasarkan UUD 1945, dan ada pula yang berdasarkan Undang-undang, maupun berdasarkan Keppres. Dengan rincian komisi Negara independen (independet regulatory agencies) sekitar 13 dan komisi Negara eksekutif (executive branch agencies) yang jumlahnya sekitar 40 komisi.
Kemunculan lembaga-lembaga semacam ini marak sejak jatuhnya pemerintah Orde Baru. Di zaman Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, khusus bidang hukum ada empat lembaga yang terbentuk, yakni Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN), dan Tim Gabungan PemberantasanTindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dua lembaga yang masih ada hingga kini yakni KON dan KHN, sedangkan KPKPN dan TGPTPK telah dibubarkan.
Keberadan lembaga-lembaga ini belakangan menjadi populer ketika banyak kalangan mulai mempertanyakan efektifitasnya khususnya dalam mendukung reformasi hukum. Sebagian kalangan memandang perlunya mengaudit komisi-komisi tersebut dan meniadakan komisi-komisi yang tidak efektif. Dalam kaitannya dengan upaya melakukan reformasi terhadap sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia yang berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dalam rangka upaya mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia yang berdasarkan keadilan dan kebenaran tersebut, perlu melakukan pengkajian masalah-masalah hukum dan penyusunan rencana pembaharuan di bidang hukum.
Dalam konteks demikian, maka pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dibentuklah Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk melalui keputusan Presiden No.15 tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional, Komisi Hukum Nasional (KHN) merupakan salah satu state auxiliary yang dibentuk pada tanggal 18 Februari 2000 melalui Keputusan Presiden No.15 tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional. KHN terdiri atas 6 (enam) orang anggota (termasuk seorang ketua dan seorang sekretaris) dan dilantik oleh Wakil Presiden RI pada tanggal 24 Februari 2000.
KHN dibentuk dengan tujuan mewujudkan sistem hukum nasional yang bercirikan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia, berdasarkan keadilan dan kebenaran, serta mengemban dua tugas. Pertama, memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau direncanakan oleh pemerintah dan tentang masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan nasional. Kedua, membantu Presiden dengan bertindak sebagai panitia pengarah (steering committee) dalam mendesain rencana umum pembaharuan di bidang hukum yang sesuai dengan cita-cita Negara hukum dan rasa keadilan, dalam upaya mempercepat penanggulangan krisis kepercayaan kepada hukum dan penegakan hukum, serta dalam menghadapi tantangan dinamika globalisasi terhadap sistem hukum di Indonesia. Jadi dalan hal ini KHN merupakan suatu lembaga yang berfungsi dalam hal kepenasehatan mengenai pelaksanaan hukum di Indonesia.
Menurut Hukum Tata Negara Islam, keberadaan lembaga penasehat sangatlah penting. Hal ini merujuk kepada perintah Allah SWT dalam al-Qur’an yang secara implisit mengamanatkan adanya lembaga penasehat, yaitu firman Allah SWT dalam surah A
  • n ayat 104:
      •             
    Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S, A
  • n: 104).

    Juga dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad

    حَدَّثَنَاعَبْدُالله حَدَّثني أَبِي حَدَّثَنَا خَلَفٌ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِىْ صَالِحٍ عَنْ أَبِِيْهِ عَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم, اِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا : اَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَاَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاَنْ تُنَاصِحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ اَمْرَكُمْ
    Artinya: sesungguhnya Allah rela atas kamu dalam tiga perkara: Hendaknya kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, hendaklah kamu sekalian berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan jangan berpecah belah, dan hendaklah kamu sekalian saling menasehati dengan orang yang diangkat Allah untuk memegang perkaramu (pemimpin).

    Di sini menunjukkan akan pentingnya sebuah lembaga atau dalam bahasa al-Qur’an “segolongan umat” yang menjalankan fungsi kepenasehatan, meskipun dalam al-Qur’an tidak menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana bentuk dari lembaga penasehat tersebut. Namun hal tersebut diperjelas dalam hadis\ Nabi SAW yang menyebutkan bahwa kita hendaklah saling menasehati dengan pemimpin. Hal tersebut menunjukkan pentingnya kedudukan suatu lembaga penasehat seperti Komisi Hukum Nasional dalam sebuah Negara hukum. Di dalam fiqh siyasah para ulama menyebut lembaga yang memberi nasihat dan pertimbangan kepada pemimpin sebagai Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi, Abul A’la al-Maududi menyebutkan Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa, juga menyebut sebgai lembaga legislatif.
    Dalam prinsip Hukum Tata Negara Islam fungsi penasehat dan pertimbangan pemerintah diemban oleh Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi. Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi selain berwenang mengangkat pemimpin pemerintah juga berwenang untuk memberi nasihat kepada pemerintah demi kemaslahatan umat. Fungsi pertimbangan dan penasehat terhadap pemerintahan dalam Islam dikemas dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar. Selain prinsip amar ma’ruf nahi munkar juga terdapat prinsip musyawarah untuk kemaslahatan sebagaimana surah asy-Syu>ra> ayat 38:
               
    Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S, asy-Syu>ra>: 38)

    Obyek pertimbangan dari Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi adalah tindakan dan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan Islam maupun kemaslahatan umat, karena Islam juga mengatur kebijakan pemerintah yang baik adalah yang sesuai dengan kemaslahatan umat yang dipimpinnya.
    Dengan keberadaan Komisi Hukum Nasional yang mempunyai landasan hukum Keppres nomor 15 tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional, yang memiliki tugas dan wewenang dalam hal kepenasehatan, apakah sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu penulis ingin meneliti lebih jauh kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional dalam memberikan nasehat ditinjau menurut Fiqh Siyasah, yaitu Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi dalam ketatanegaraan Islam, yang mempunyai salah satu tugas dalam memberikan nasehat kepada pemimpin dalam pemerintahannya. Untuk itu penulis memilih judul “Tinjauan Fiqh Siyasah Terhadap Kedudukan dan Kewenangan Komisi Hukum Nasional (studi Analisis Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2000 Tentang Komisi Hukum Nasional).
    B. Rumusan Masalah
    Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
    1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional dalam supremasi hukum di Indonesia?
    2. Bagaimana analisis fiqh siyasah terhadap kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional?
    C. Kajian Pustaka
    Kajian pustaka ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis, yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga tidak ada pengulangan. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian atau tulisan yang membahas mengenai analisis keputusan Presiden nomor 15 tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.
    Kajian tentang Komisi Hukum Nasional sebenarnya sudah pernah dibahas dalam buku yang berjudul “kilas balik 6 tahun Komisi Hukum Nasional, menguak misi KHN dan kinerjanya” oleh Komisi Hukum Nasional. Pembahasan dalam buku tersebut lebih menekankan kepada kinerja KHN dalam masa 6 tahun yang diantaranya menghasilkan beberapa rekomendasi-rekomendasi yang cukup signifikan terhadap reformasi hukum di Indonesia. Adapun rekomendasi-rekomendasi tersebut terbagi dalam beberapa sektor antara lain rekomendasi sektor eksekutif, sektor legislatif, sektor peradilan, dan sektor profesi hukum.
    Penelitian yang pernah dilakukan adalah tentang lembaga-lembaga Negara pasca amandemen UUD 1945. Misalnya skripsi saudara Muhammad Qanit Amrullah yang berjudul “Komisi Yudisial dan penegakan hukum di Indonesia (analisis yuridis terhadap pelaksanaan pasal 24 a dan b perubahan ketiga UUD 1945)”. Skripsi ini membahas tentang Komisi Yudisial menurut konstitusi, latar belakang dan tujuan Komisi Yudisial menurut UU No. 22 tahun 2004, serta peranan Komisi Yudisial dalam menciptakan good governance. Penelitian ini menyebutkan bahwa Komisi Yudisial merupakan sebuah lembaga yang mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan martabat serta perilaku hakim.
    Penelitian selanjutnya tentang lembaga Negara adalah skripsi saudara Achmad Junaidi yang berjudul tinjauan terhadap Mahkamah Konstitusi serta implikasinya terhadap proses demokratisasi di Indonesia menurut politik Islam dan politik ketatanegaraan di Indonesia. Skripsi tersebut membahas tentang konstitusi UUD 1945 sebelum amandemen yang mengandung banyak kelemahan, salah satunya adalah tidak adanya mekanisme checks and balances. Hal ini berakibat melumpuhkan kontrol yudisial terhadap pelaksanaan kekuasaan yang berujung pada pelaksanaan yang otoriter. Kehadiran Mahkamah Konstitusi setelah amandemen UUD 1945 dapat memberi fungsi kontrol pemerintah terhadap konstitusi dasar Negara.
    Penelitian ini merupakan penelitian yang baru karena belum pernah diteliti. Adapun buku yang diterbitkan oleh KHN tersebut lebih banyak mengupas rekomendasi-rekomendasi yang diberikan KHN terhadap pemerintah. Sedangkan skripsi-skripsi di atas lebih menekankan kepada fungsi lembaga-lembaga tersebut dalam supremasi hukum di indonesia. Adapun aspek persamaanya yaitu sama-sama sebagai lembaga negara yang dibentuk pasca amandemen UUD 1945 dan berfungsi dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Jadi skripsi yang akan diteliti oleh penulis lebih spesifik dan belum pernah diteliti oleh orang lain.
    D. Tujuan Penelitian
    1. Untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional dalam supremasi hukum di Indonesia.
    2. Untuk mengetahui analisis fiqh siyasah terhadap kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional.
    E. Kegunaan Hasil Penelitian
    Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik untuk kepentingan teoritis maupun praktis.
    1. Secara teoritis penelitian ini dapat berguna untuk menambah pengetahuan serta memperkaya khazanah keilmuan hukum politik Islam. Disamping itu diharapkan juga dapat berguna sebagai acuan kajian ilmiah atau sebagai hipotesis bagi penelitian selanjutnya.
    2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan masyarakat serta dijadikan sebagai kontribusi positif bagi pemerintah, untuk kemudian dijadikan pedoman pertimbangan masyarakat terutama orang muslim di Indonesia mengenai Komisi Hukum Nasional.
    F. Definisi Operasional
    Untuk memahami judul penelitian ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung maka peneliti menguraikan tentang definisi operasional sebagai berikut:
    1. Fiqh siyasah : Merupakan salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri, yang didalamnya mencakup hukum Tata Negara Islam.
    2. Kedudukan : Posisi suatu lembaga negara yang didasarkan pada fungsi utamanya.
    3. Kewenangan : Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk bertindak atau melakukan sesuatu.
    4. Komisi Hukum Nasional : Lembaga non struktural yang bertanggung jawab kepada Presiden, yang dibentuk dalam rangka memberikan masukan yang obyektif mengenai pelaksanaan hukum di Indonesia, serta untuk memberikan saran-saran umum kepada Presiden mengenai usaha menegakkan kembali supremasi hukum.
    G. Metode Penelitian
    Penelitian ini dilakukan secara bertahap dengan cara mengakomodasi segala data yang terkait, diantaranya:
    1. Data yang Dikumpulkan
    Dalam penelitian ini data yang dihimpun adalah:
    a. Data yang berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional.
    b. Data yang berkaitan dengan ketentuan Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi mengenai kedudukan dan fungsinya dalam ketatanegaraan Islam.
    2. Sumber Data
    Data yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini dihimpun dari sumbernya yaitu:
    a. Data primer yaitu:
    1. Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.
    b. Data sekunder
    1. Imam al-Ma>wardi>, Al-Ah{ka>m As-Sult{a>niyyah, Diterjemhkan Oleh Fadli Bahri dengan Judul Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syar’iat Islam,, Jakarta, Darul Falah, 2007
    2. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001
    3. Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press, 2007
    4. KHN, Kilas Balik 6 Tahun Komisi Hukum Nasional, Menguak Misi KHN dan Kinerjanya, Jakarta, Komisi Hukum Nasional RI, 2006
    5. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Cerdas Pustaka, 2008
    6. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet. Ke-2, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
    7. Bagir Manan, dkk, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
    8. Ahm. Djazuli, Fiqih Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’at, Bandung, Prenada Media, 2007
    9. Abu> al-A’la> al-Maudu>di>, The Islamic Law and Constitution, Diterjemhkan Oleh Asep Hidayat dengan Judul Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung, Mizan, 1995
    10. Abdul Qodir Jailani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1995
    11. Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993
    12. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, PT Raja Gravindo, 1994
    3. Teknik Pengumpulan Data
    a. Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka yaitu meneliti sumber-sumber pustaka yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode dokumenter yang sumber datanya terdiri dari bahan-bahan primer dan sekunder yang telah dipublikasikan baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun dalam bentuk lainnya yang representatif dan relevan dengan penelitian ini.


    4. Teknik Pengolahan Data
    a. Pengorganisasian data dengan cara menyusun dengan sistematis sesuai dengan paparan yang sesuai dengan rencana sebelumnya dengan melakukan perumusan deskripsi.
    b. Editing, yaitu pemeriksaan data secara cermat dari kelengkapan referensi, arti dan makna, istilah-istilah atau ungkapan dan semua catatan data yang telah dihimpun.
    c. Melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian dan editing dengan cara menggunakan kaidah-kaidah dan dalil sehingga diperoleh suatu deskripsi terkait dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.
    5. Teknik Analisis Data
    Metode yang digunakan dalam menganalisa data adalah metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang dipergunakan dengan jalan memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan menyusun fakta-fakta sedemikian rupa sehingga membentuk konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan jelas.
    Dalam menganalisis data tersebut pola pikir yang digunakan adalah pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif yaitu data yang diperoleh yang bersifat umum yang dianalisis untuk disimpulkan pada keadaan yang lebih khusus dan konkrit. Dalam skripsi ini dimulai dengan mengemukakan gambaran umum Komisi Hukum Nasional, kemudian memperhatikan permasalahan yang khusus tentang kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional, selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat khusus menurut fiqh siyasah.
    H. Sistematika Pembahasan
    Sistematika pembahasan dibagi menjadi lima bab. Masing-masing bab akan diuraikan dalam beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam menyusun dan mempelajarinya. Pada akhirnya dapat dicapai sasaran yang sesuai dengan tujuan pembahasan dalam penelitian ini. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
    Bab I : Bab ini adalah bagian pendahuluan yang membahas secara garis besar tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
    Bab II : Pada bab ini dibahas tentang Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan lembaga kepenasehatan dalam Islam serta urgensinya dalam ketatanegaraan Islam.
    Bab III : Pembahasan mengenai gambaran umum tentang Komisi Hukum Nasional meliputi latar belakang dan dasar hukum dibentuknya Komisi Hukum Nasional, serta kedudukan dan kewenangannya dalam supremasi hukum di Indonesia menurut Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.
    Bab IV : Merupakan analisis terhadap kedudukan dan kewenangan Komisi Hukum Nasional melalui pendekatan analisis Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.
    Bab V : Bab ini memuat kesimpulan yang merupakan rumusan singkat sebagai jawaban atas permasalahan yang ada dalam penelitian. Serta saran-saran yang berkaitan dengan topik pembahasan skripsi ini.

  • 0 Response to "Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif"

    Posting Komentar