KONSTELASI POLITIK
DI AKHIR KEKUASAAN SOEKARNO

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Pemikiran Politik di Indonesia”

















Disusun oleh :
SYIFAUL QULUB

Dosen Pembimbing :
Drs. Achmad Yasin, M.Ag.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN SIYASAH JINAYAH
SURABAYA
2005
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam perpolitikan pemerintah Orde Lama banyak terjadi fenomena-fenomena yang mengarah kepada hubungan yang fluktuatif antara komponen masyarakat yang dimotori oleh beberapa kecil pemeran / pelaku politik dengan pemerintah Orde Lama, yang mana pada mulanya hubungan itu bersifat yang saling akomodatif dan berubah menjadi konfrontatif yang akhirnya dapat menggulingkan kekuasaan pemerintahan Orde Lama. Dari sinilah kami tertarik untuk mengkajinya lebih jauh. Oleh karena itu dalam makalah ini kami mencoba mengungkapkannya dalam judul “Konstelasi Politik di Akhir Kekuasaan Soekarno” seperti yang tercantum dalam cover makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian sedikit di atas, disebutkan bahwa terjadi pergeseran hubungan kekuatan politik antara kekuatan komponen masyarakaat dengan negara, yang semula akomodatif beralih menjadi konfrontatif atau oposan. Dari konteks tersebut kami menyimpulkanya menjadi dua permasalahan:
1. Apa yang menyebabkan terjadinya politik konfrontasi dan oposisi kekuatan politik di akhir kekuasaan Soekarno/ Orde Lama?
2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran berubahnya hubungan kekuatan politik akomodatif menjadi konfrontatif ?
3. Fenomena apa yang melingkupi kekuatan politik sehingga mengakibatkan kekuasaan Soekarno/ Orde Lama tumbang ?
4. Adakah intervensi asing dalam proses jatuhnya rezim Orde Lama ?
Empat pemasalahan inilah yang akan diangkat dan dibahas tuntas dalam makalah ini

C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah: Pertama, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang meyebabkan terjadinya perubahan hubungan komponen masyarakat dengan negara yang semula akomodatif menjadi konfrontatif. Kedua, untuk merekonstruksi dinamika perpolitikan Soekarno di akhir kekuasaannya. Karenanya, pembahasan ini berusaha merangkum isu sentral yang terjadi di akhir kekuasaan Soekarno. Ketiga, untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi di akhir kekuasaan Soekarno dan untuk mengetahui adakah intervensi asing dalam proses tersebut. Keempat, untuk menyumbangkan studi-studi yang berhubungan dengan perpolitikan negara sehingga pada giliranya akan melegkapi studi dalam wacana ilmu politik yang telah ada. Adapun tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah pemikiran politik di Indonesia.




BAB IV
Resume

Kedatangan pemerintah Orde Lama, yang berarti juga jatuhnya kekusaan Penjajah, disambut gembira oleh para pemimpin. Sebab, bersamaan dengan munculnya Orde Lama itu terkandung harapan akan pencerahan dalam panggung politik nasional. Terutama harapan tampilnya kembali partai politik yang telah dibekukan oleh penjajah. Namun kenyataannya tidaklah seperti yang diharapkan. Pemerintah ORLA yang struktur pemerintahanya didominasi oleh kelompok ”Pembaharuan” memiliki logika politik sendiri dalam menentukan arah pembangunan politik. Serangkaian kegagalan elite Islam untuk mengkonsolidasikan kekuatan parpolnya akibat berbagai larangan dan korporatisasi pemerintah menimbulkan kekecewaan yang mendalam di kalangan elite muslim. Sehingga, pada dua dasawarsa pertama ORBA hubungan antara negara dan umat Islam penuh ketegangan. Setelah itu, hubungan kaum muslimin dengan negara secara perlahan mulai membaik. Pemerintah ORBA menunjukkan tanda-tanda semakin intensif mendekati kelompok Islam. Dan bukti itu diwujudkan pada pentas politik nasional pasca SU MPR 1988 yang mana menunjukkan tanda-tanda terjadinya politik akomodasi antara negara ORBA dengan kelompok Islam. Sikap tanggap negara ORBA terhadap kebutuhan umat Islam mengalirkan dukungan kelompok Islam terhadap egara ORBA di bawah kepemimpinan Soeharto. Namun ada sebagaian kelompok yang tidak puas dengan distribusi politik tersebut yang hingga akhirnya menjadi pemicu sikap konfrontatif elite Islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya pada tahun 1998.

Daftar Pustaka

Afandi, Arief. 1996. Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anwar, M.Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Politik Islam Orde Baru. Jakarta: Paramadina.
Cahyono, Heru. 1992. Peranan Ulama’ dalam Golkar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Fatah, Eep Saifullah. 2000. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Rosdakarya.
Malik, Dedy Djamaluddin, dan Idi Subandi Ibrahim. 1998. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik. Bandung: Zaman Wacana Mulia.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2000. Di bawah Bayang-Bayang Soekarno Soeharto. Jakarta: Darul Falah.
















BAB III
Analisis

A. Periode Konfrontasi Kekuatan Politik Islam dengan Negara Orde Baru.
Untuk memperoleh gambaran mengenai konfrontasi negara ORBA dengan kekuatan politik Islam pada dua dekade pertama periode ORBA berikut faktor-faktor penyebabnya, pada poin ini, dengan cara pemaparan historis, akan dibicarakan tiga kelompok fenomena.
Pertama, Setting politik menjelang berakhirnya demokrasi terpimpin dan masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Dalam usaha menekan kekuatan politik PKI dan para simpatisannya, kekuatan politik Islam tampil sebagai partner utama ABRI. Peran umat Islam sebagai pelaku paling menentukan dalam grand coalition “Pengganyangan” PKI antara lain terlihat dari hampir keseluruhan kesatuan-kesatuan aksi seperti KAP Gestapu, KAMI dan KAPI yang pucuk pimpinannya dipegang oleh tokoh-tokoh organisasi Islam. Partnership militer dengan kekuatan politik Islam terus berlanjut setelah pembubaran PKI, karena lagi-lagi militer amat membutuhkan kekuatan umat Islam untuk menekan Soekarno turun dari kekuasaannya. Militer tidak bisa berharap banyak untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan politik non-Islam, apalagi PNI, untuk meng hadapi Soekarno. Kekuatan-kekuatan politik non-Islam yang anti komunis umumnya cukup senang melihat PKI lumpuh dan siap mengajak presiden Soekarno ke meja prundingan untuk melakukan kerangka perimbangan kekuasaan politik baru. Namun kekuatan-kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan unsur-unsur kekuatan politik Islam di partai-partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi akhirnya berhasil memaksa Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Besarnya pengaruh dan peranan umat Islam dalam “Pengganyangan “ PKI dan meruntuhkan Orde Lama bersama militer, yang berarti memiliki andil besar dalam proses kelahiran Orde Baru, telah mempengaruhi persepsi para pemimpin politik Islam dalam menentukan strategi selanjutnya. Bagi mereka, memasuki era ORBA merupakan momentum yang tepat untuk mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan politik Islam melalui pembangunan kembali partai-partai Islam, karena jasa kaum muslimin dalam melahirkan ORBA dan naiknya pamor politik Islam setelah lenyapnya PKI dari papan percaturan politik kepartaian tanah air. Namun, sementara kekuatan –kekuatan plitik Islam sangat bersemangat mengkonsolidasikan partai-partai Islam, kelompok koalisi ORBA justru memandang perlunya pembatasan ruang gerak partai politik secara ketat. Para anggota koalisi utama ORBA yang berkuasa, dalam menghadapi krisis politik dan ekonomi yang parah warisan ORLA, memutuskan untuk menerapkan strategi stabilitas politik yang ketat dengan “menghapuskan” politik kepartaian. Dengan demikian, teramat jelas antara strategi revitalitas partai Islam oleh para pemimpin Islam dengan strategi deparpolisasi negara ORBA berbanding terbalik. Kenyataan perbedaan logika strategi politik tersebut yang jatuh berimpit dengan latar belakang kultural para aktor koalisi inti ORBA di sekitar Jendral Soeharto yang didominasi oleh kalangan sekuler {abangan} dan primordial Kristen/Katolik secara potensial memiliki benih-benih permusuhan dengan kelompok Islam. Atas dasar itu, tak mengherankan bila partnership yang terbina antara umat Islam dengan militer yang merupakan pilar utama rezim ORBA pada masa transisi Orde Lama mulai berubah menjadi penuh pertentangan dan kecurigaan hingga menjelang penghujung dekade 1980-an.
Kedua, kasus-kasus konfrontasi atau pertentangan antara kekuatan politik Islam dan negara Orde Baru. Secara umum, konfrontasi dan pertentangan antara kekuatan pollitik Islam dan negara Orde Baru bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok: {1} Petentangan politik partisan dan; {2} Pertentangan terkait dengan isu-isu kebijakan publik. Konfrontasi yang masuk dalam klasifikasi pertama adalah ketegangan soal tidak diizinkan berdirinya partai-partai Islam oleh negara, seperti: rehabilitasi Masyumi, Kongres Umat Islam Indonesia {KUII}, berdirinya Partai Demokrasi Islam Indonesia {PDII}, dan sejenisnya. Termasuk juga, persaingan tajam antara Golkar dengan partai-partai Islam dalam pemilu 1971 sampai 1982, di mana dalam persaingan tersebut selama masa kampanye acapkali diwarnai bentrokan-bentrokan fisik. Sedangkan konfrontasi yang masuk kategori kedua, antra lain: masalah RUU Perkawinan 1973, Aliran Kepercayaan dalam GBHN {SU MPR1978}, masalah perjudian {Porkas, SDSB}, larangan libur sekolah di bulan romadhon, dan sebagainya.
Ketiga , upaya negara untuk menciptakan tatanan politik yang bisa menopang mekanisme minimalisasi konflik untuk memaksimalkan produktifitas ekonomi melalui rekayasa penyederhanaan partai-partai politik, terutama partai Islam, serta upaya korporatisasi politik umat Islam melalui Majelis Ulama’ Indonesia {MUI}.

B. Transisi Hubungan Kekuatan Politik Islam dengan Negara Orde Baru.
Dalam poin sebelumnya telah disebutkan mengenai faktor-faktor pendorong terjadinya konfrontasi kekuatan politik Islam dengan negara Orde Baru. Pada poin itu juga telah dinyatakan, peran penting kekuatan politik Islam dalam menumbangkan elemen-elemen Orde Lama, yang berarti memiliki saham besar dalam membidani lahirnya ORBA, mempengaruhi kondisi psikologis elite Islam untuk merehabilitasi instrumen politik partai Islam. Semangat umum strategi pengedepanan perjuangan umat melalui partai Islam semakin mengkristal di kalangan pemimpin Islam karena persepsi mereka terhadap konstelasi politik kepartaian pada periode transisi Orde Lama ke Orde Baru. Konfigurasi politik masa peralihan itu terlihat partai-partai Islam secara teoritik dalam struktur politik yang demokratis tidak akan menghadapi pesaing politik berarti, karena rival potensialnya, PKI, telah collaps dan PNI mengalami keretakan internal yang serius. Namun, strategi kaum muslimin yang memfokuskan artikulasi politiknya melalui partai Islam ternyata berbenturan dengan strategi stabilisasi politik negara yang secara ketat membatasi politik kepartaian. Perbedaan tajam logika strategi politik kekuatan Islam dengan negara ORBA diperuncing oleh dominasi kelompok abangan dan Kristen Katolik di berbagai sektor negara. Dominasi kelompok minoritas yang paling menonjol peranannya dalam membentuk visi negara, yang dalam beberapa hal menyudutkan kaum muslimin, banyak dilakukan oleh orang-orang di lingkaran Ali Moertopo dengan “Kelompok Tanah Abang” atau CSIS-nya.
Dari bahasan poin sebelumnya telah bisa diidentifikasi variabel-variabel penyebab pertentangan kekuatan politik Islam dengan negara pada dua setengah dasawarsa Orde Baru. Selanjutnya, untuk menjelaskan faktor-faktor pergeseran hubungan kekuatan politik Islam dengan negara Orde Baru, dari konfrontasi ke akomodasi, adapun faktor-faktor itu adalah Pertama, kebangkitan gerakan “pemikiran baru” yang mempengaruhi perubahan strtegi umat Islam. Kedua, merosotnya pamor politik partai Islam dan meningkatnya penetrasi gerakan Islam ke dalam tubuh negara. Ketiga, mulai menyurutnya secara linear power politik “Gerakan Tanah Abang” atau CSIS dari center power.
Terjadinya pergeseran pola hubungan dari konfrontasi ke akomodasi sangat terkait dengan ikhtiar gerakan pemikiran baru yang pada giliranya mempengarui perubahan strategi politik di kalangan pemimpin politik Islam. Gerakan pemikiran baru itu semakin mendapat ruang gerak lebih luas dalam menentukan agenda perpolitikan Islam setelah kepemimpinan “Partai Islam”{PPP} mengalami kemerosotan pengaruh terus-menerus dalam wacana politik nasional akibat kemelut internal yang parah di sekitar Pemilu 1982. Demikian halnya dengan pemberlakuan UU 3 dan 8 1985, terutama pemberlakuan azas tunggal, telah memberikan peluang penganut “pemikiran baru” untuk mengekspresikan gagasan-gagasan politiknya dengan melakukan konsiliasi secara intensif dengan negara Orde Baru.
Bersamaan dengan perkembangan di atas, dinamika internal faksi-faksi elite negara Orde Baru memperlihatkan semakin mulai menyusutnya power politik “Kelompok Tanah Abang” di DPP Golkar. Di dalam tubuh ABRI juga terjadi perubahan-perubahan penting yang mengarah pada terjadinya gap antara para pemimpin AD dengan Presiden Soeharto. Perselisihan yang timbul akibat perbedaan pilihan wakil presiden menjadi krusial karena persoalan itu akhirnya bermuara pada sepekulasi suksesi kepemimpinan nasional.

C. Dataran Baru Perpolitikan Islam Era Orde Baru.
Dalam poin sebelumnya telah dipaparkan tentang faktor- faktor yang mendorong pergeseran hubungan kekuatan politik Islam dengan negara Orde Baru dari konfrontasi ke akomodasi. Telah diketengahkan, bangkitnya gerakan “pemikiran baru” pada perinsipnya menghendaki dilakukanya reorentasi strategi perjuangan umat Islam. Dalam dimensi vertikal, kalangan penggagas gerakan pemikiran baru menghendaki ditanggalkannya “strategi politik lama” yang terlalu mengedepankan gaya politik partisan dan konfrontatif. Sebagai alternatifnya, mereka menyerukan para tokoh Islam untuk menerapkan pendekatan politik baru: “strategi akomodasi berprinsip”. Suatu artikulsi politik yang lebih menekankan pada lobbying dan bekerja “dari dalam negara”.
Dalam perkembangannya, ternyata dinamika kekuatan Islam pasca pemberlakuan azas tunggal memasuki paruh kedua dekade 1980-an semakin memberikan ruang gerak lebih luas bagi kalangan elite Islam baik penganut “strategi akomodasi berprinsip” maupun yang bersimpati dengan garis pemikiran itu. Pemekaran wilayah berekspresi kelomnpok pro-pemikiran baru ditunjukan oleh keberhasilan kelompok-kelompok yang lebih akomodasionis mengambilalih kepemimpinan organisasi-organisasi Islam yang berpengaruh seperti NU dan HMI. Dalam merealisasikan strategi akomodasi berprinsip tersebut para tokoh-tokoh Islam yang semula organisasinya dalam tiga pemilu pertama Orde Baru merupakan penopang kuat “partai Islam” kini mereka banyak mengalihkan dukungannya secara demonstratif kepada Golkar. Lebih dari itu, kalangan elite Islam malahan banyak bersedia menjadi anggota Fraksi Karya Pembangunan di MPR dan memberikan persetujuan terhadap beberapa materi GBHN yang dalam SU MPR sebelumnya ditentang keras kalangan Islam.
Berbagai terobosan tokoh-tokoh Islam di atas memberi sinyal bagi pemerintahan Soeharto, bahwa mereka pada dasarnya bersedia mengambil sikap lebih moderat dan mau diajak bekerja sama seraya berharap agar semakin dilibatkan dalam sharing power dan pengambilan kebijakan. Tawaran aliansi kalangan pemimpin Islam tersebut, direspon oleh Soeharto melalui akomodasi lebih luas terhadap kepentingan politik umat Islam Indonesia. Respon akomodasi pemerintahan Soeharto tersebut terkait erat dengan kepentingan strategisnya utuk memperluas basis kekuatan sumber daya dukungan politiknya akibat munculnya ketidakpuasan faksi-faksi dalam lingkaran koalisi inti Orde Baru, terutama para perwira militer dalam menyikapi isu suksesi kepemimpinan nasional yang mulai menyeruak ke permukaan pada SU MPR 1988.
Perluasan sumber daya dukugan di luar Angkatan Bersenjata sangat diperlukan untuk menggantikan dukungan yang hilang dari sebagean perwira tinggi militer. Pemekaran basis dukungan di luar militer juga berguna bagi presiden Soeharto untuk dijadikan sebagai “pemukul awal” {pre emptive strike} buat mereka yang mencoba menentangnya. Untuk keperluan itu, komunitas politik muslim adalah pilihan yang dibutuhkan bagi perluasan sumber daya politik baru Soeharto, karena dalam dua setengah dekade pertama Orde Baru proses santrisasi masyarakat Islam Indonesia telah meningkat pesat, ini berbeda sekali dengan kelompok nasionalis {PNI/PDI} yang justru semakin mengalami krisis identifikasi ideologisnya. Dengan demikian, masyarakat politik Islam merupakan sumber legitimasi baru yang penting bagi Soeharto,sebab komunitas ini memiliki sumber daya politik massa yang besar. Perluasan dukungan politiknya terhadap masyarakat politik Islam diperlukan untuk mengimbangi move politik para perwira militer yang semakin meningkat pasca SU MPR 1988.
Dari faktor tersebut, langkah politik yang diperlukan Soeharto adalah mengakomodasi aspirasi riil kaum politik muslim, sekalipun tanpa demikian barang kali Soeharto bisa tetap bertahan di kursi kepresidenan. Namun persoalannya adalah, jika Soeharto tetap mengabaikan harapan atau aspirasi politik substansif kaum muslimin, dapat saja membalikkan kembali pendulum politik kekuatan Islam ke arah gaya politik oposisi seperti yang diperlihatkan pada dua dekade pertama ORBA. Itu berarti, rezim Soeharto perlu menerapkan kembali tindakan repression, padahal penindasan seperti itu, selain membuat pemerintahan Soeharto semakin tidak populer di masyarakat, juga akan beresiko tinggi di tengah kurang solidnya elit yang berada dalam lingkaran koalisi inti Orde Baru. Dengan demikian, selain merajut kembali jaringan komando militer ke tangan “perwira-perwira Istana”, maka dengan mengakomodasi aspirasi umat Islam setidaknya bisa memperkecil front yang dihadapi untuk menjabat presiden menjelang dan sesudah SU MPR 1993.
Apalagi kondisi subyektif dan obyektif yang melingkupi akomodasi kekuatan politik Islam dalam negara itu tidak mengkhawatirkan kelangsungan pembangunan ekonomi yang dirancang Soeharto. Dua kondisi yang dimaksud adalah: Pertama, semakin banyaknaya jumlah kaum terpelajar, kelompok profesional dan teknokrat masyarakat santri akibat kebijakan pendidikan “pintu terbuka” Orde Baru serta kecenderungan segmen generasi baru ini yang bersikap lebih pragmatik {substansialistik} dibandingkan generasi sebelumnya yang cenderung bersifat ideolog. Kedua, semakin terintegrasikannya Indonesia ke dalam jaring-jaring “kapitalisme dunia Islam” memasuki dekade 1990-an yang ditandai dengan:{1} Semakin besarnya bantuan keuangan Islamic Development Bank {IDB} ke pemerintah ORBA; {2} Melemahnya sumber bantuan asing yang merupakan jalur lobby utama kelompok Sumarlin dan menguatnya arus bantuan dari negara-negara yag dikenal sebagai akses kelompok Habibie post pembubaran IGGI serta terbentuknya CGI. Demikian halnya dengan kiblat investasi asing di Indonesia banyak bergeser ke Jepang dan Jerman serta negara Asia lainnya, yang akses ke negara itu bukan monopoli elite Kristen di Indonesia; {3} Semakin agresifnya diplomasi ekonomi pemerintahan Soeharto ke negara-negara muslim serta keterlibatan Indonesia dalam ikut mempelopori “blok ekonomi dunia Islam” melalui forum Developing Eight {negara D-8}.
Akomodasi negara terhadap kaum muslimin memiliki spektrum luas, ada yang bersifat struktural, infrastruktural, dan kultural. Yang pertama, berkaitan dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para tokoh Islam untuk terintegrasikan ke dalam negara, baik melalui saluran eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kasus menyolok akomodasi bersifat struktural ini adalah berkibarnya kelompok Islam di DPR/MPR-RI pada SU MPR 1993 yang terkenal dengan istilah DPR/MPR “ijo-royo-royo”. Demikian halnya dalam penyusunan kabinet VI ditandai dengan semakin meningkatnya menteri berlatar belakang Islam. Dan masih ada beberapa contoh yang lain. Kedua, berhubungan dengan telah disahkannya sejumlah undang-undang yang mengakomodasi agenda aspirasi kaum muslimin. Termasuk dalam klasifikasi akomodasi legislatif itu adalah disahkannya undang-undang pendidikan nasional {UU PN} pada1989; disahkannya Undang-undang peradilan agama {UU PA} pada 1989; kompilasi hukum Islam pada 1991;kebijakan baru jilbab pada 1991, dan kebijakan ditutupnya peredaran SDSB 1993. Ketiga, bantuan negara untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan kaum muslimin untuk menjalankan perintah agama. Di samping bantuan-bantuan yang dianggarkan resmi negara {budgetting} untuk membantu sarana dan prasarana ibadah kaum muslimin, Presiden Soeharto secara pribadi memprakarsai pendirian Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila {YABMP}. YABMP yang kegiatannya utamanya untuk mendirikan tempat-tempat ibadah bagi kaum muslim hingga tahun 1994 sudah mendirikan 634 masjid tersebar di 206 kabupaten dan kotamadya. Dana yang telah dikeluarkan YABMP hingga tahun itu sekitar 82 milyar rupiah. Perkembangan masjid selama pemerintahan ORBA secara umum tumbuh dengan pesat, hingga akhir Repelita IV {1988/1989} saja berjumlah 548.959 buah. Pada 1992/1993 melonjak menjadi 587.435 buah. Presiden Soeharto, dengan YABMP, pada awal 1990-an juga mensponsori pengiriman 1000 da’i ke daerah-daerah transmigrasi atau tempat-empat terpencil.
Akomodasi infrastruktur negara terhadap kaum muslimin yang lebih fenomenal lagi adalah keterlibatannya membantu secara penuh berdirinya bank yang mendsarkan operasinya pada Syari’at Islam, yang dinamakan Bank Muamalat Indonesia {BMI}, pada 1991.
Yang terakhir, menyangkut akomodasi kultural negara terhadap umat Islam. Digunakannya idiom-idiom Islam dalam pertemuan resmi negara seperti “Assalamu’alaikum” merupakan bentuk awal dari akomodasi kultural itu. Akomodasi kultural yang kolosal bisa kita saksikan dari digelarnya Festival Istiqlal. Festival Istiqlal yang merupakan arena perhelatan budaya Islam bernilai milyaran rupiah itu panitianya langsung dikelola Menteri-menteri kabinet atas persetujuan Presiden Soeharto.

D. Perubahan Posisi dan Ekspresi Kekuatan Politik Islam.
Menjelang kejatuhan Soeharto dari jabatan kepresidenan terdapat perubahan yang cukup fundamental menyangkut posisi dan ekspresi kekuatan-kekuatan politik Islam di tanah air. Dua perubahan penting itu antara lain: {1} Mainstream para pemimpin kekuatan Islam yang memasuki dekade 1990-an menerapkan strategi akomodasi dengan pemerintah “menolak” melanjutkan politik akomodasi dengan presiden Soeharto. Menjelang kejatuhan Soeharto, nampak sekali para pemimpin Islam dari “sayap modernis” menerapkan kembali “strategi oposisi” terhadap pemerintah; {2} Seiring dengan berhembusnya angin kencang reformsi untuk menggulingkan Soeharto, kekuatan-kekuatan Islam terlihat berusaha merevitalisasi perjuangan Islam melalui gelanggang poltik partisan.
Adalah menarik disimak bahwa menjelang lengsernya Soeharto dari puncak piramida politik Indonesia pada Mei 1998, dia sesunggguhnya berusaha mempertahankan gripnya terhadap kekuatan Islam melalui politik akomodasinya. Beberapa indikasi kuat political will Soeharto untuk merangkul kekuatan Islam itu antara lain:
Pertama, masih banyaknya pemimpin Islam yang terepresentasikan dalam fraksi-fraksi yang mewakili kelompok koalisi pemerintah di DPR/MPR-RI dalam Sidang Umum 1998.
Kedua, kelompok koalisi pemerintah di MPR-RI dalam Sidang Umumnya 1998 melakukan terobosan akomodasi baru terhadap tuntutan umat Islam menyangkut status aliran kepercayaan dalam GBHN.
Ketiga, terepresentasikan elite muslim ke dalam struktur kabinet pembangunan VII.
Kendati Soeharto waktu itu masih terlihat berupaya menjalankan poltik akomodasi dengan kekuatan Islam, dari kalangan kekuatan Islam sebagean besar nampaknya menolak melanjutkan proyek politik “simbolis mutualisme “dengan rezim Orde Baru. Gejala awal mengayunnya bandul poltik konfrontasi elite Islam pada tahun 1995 ketika Dr.Sri Bintang Pamungkas, salah satu pendiri ICMI, melakukan serangkaian kritikan keras terhadap pemerintah yang berujung pada penangkapan dirinya oleh pihak keamanan karena dituduh mempermalukan presiden Soeharto saat kunjungan kenegaraannya ke Dresden, Jerman. Beberapa bulan kemudian Dr. M. Amien Rais semakin lantang menyerukan suksesi kepemimpinan nasional pada tahun 1998. Dalam berbagai kesempatan, intelektual muslim dari Yogya itu semakin tajam menyorot korupsi, kolusi,dan nepotisme dalam pemerintahan Orde Baru.Rangkaian kritikan Amien Rais tersebut kabarnya membuat berang Soeharto yang menemukan bentuknya lebih jelas pada kritikan intelektual itu terhdap skandal tambang emas busang awal tahun 1997. Presiden Soeharto selaku dewan pembina ICMI waktu itu melalui BJ. Habibie menekannya untuk mundur dari jabatan sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI pada Maret 1997. Reaksi dari Soeharto semacam itu tidak melunakkan sikap para pemimpin muslim dalam menyerang pemerintahan Soeharto. Dalam perjalanan selanjutnya malahan Amien Rais nyaris menjadi simbol determinasi dalam gerakan “penggusuran” Soeharto dari panggung kekuasaaan pada Mei 1998. Munculnya radikalisasi beberapa tokoh kunci elite Islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya wktu itu merupakan persoalan yang layak untuk dikaji. Karena rezim ORBA itu hingga hari-hari terakhir turunnya dari papan atas percaturan politik Indonesia terlihat semakin memperjelas identifikasi kedekatannya dengan kekuatan Islam melalui komite reformasi yang hendak dibentuknya. Dalam proses perencanaan pembentukan komite reformasi dan kabinet reformasi Presiden Soeharto pada 19 Mei 1998 mengundang para tokoh-tokoh masyarakat terkemuka. Menariknya, para pemimpim-pemimpin masyarakat yang diajak berembuk Soeharto itu seluruhnya berasal dari kekuatan-kekuatan besar sayap Islam, dari kelompok radikal hingga yang moderat. Unsur-unsur penting faksi muslim tersebut antara lain, dari unsur NU KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ma’aruf Amin, Ahmad Bagja, KH. Ali Yafie. Dari kalangan Masyumi terdapat Anwar Haryono, Yusril Ihza Mahendra. Dari kalangan Muhammadiyah terdapat nama Malik Fajar, Sutrino Muhdam serta dari tokoh muslim populer lain adalah Emha Ainun Nadjib dan Nurcholis Madjid serta beberapa nama lainnya. Dalam team yang diundang Soeharto itu yang kemudian di media massa disebut team “sembilan wali” tak ada satupun dari elemen kekuatan non-islam. Dari sini sebenarnya terlihat sekali Soeharto ingin mempertegas kedekatannya dengan kalangan Islam. Dengan predisposisi politik Soeharto seperti itu lantas mengapa beberapa tokoh sentral Islam tetap mengambil sikap konfrontasi dengan pemerintahan Soeharto? Ada beberapa penjelasan untuk menjawab teka-teki itu:
Pertama, adanya sumber ketegangan menyangkut visi masa depan pemerintah Soeharto dengan para pemimpin Islam menyangkut persoalan pertaruhan prinsip kekuasaan yang demokratis dan hampir tidak lagi masalah perselisihan pure agama.
Kedua, Soeharto dianggap telah melakukan politicking terhadap kelompok ICMI dalam proses rekruitmen di parlemen dan penyusunan kabinet setelah SU MPR Maret 1998.
Tak disangkal lagi bahwa ketidakpuasan masalah disribusi politik itu menjadi salah satu pendorong sikap konfrontatif elite islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya.
Demikianlah hubungan Islam dan negara dalam politik di Indonesia pada zaman kekuasaan ORBA yang akhirnya dapat menjadi salah satu faktor tumbangnya pemerintahan ORBA.



0 Response to " "

Posting Komentar