Relevansi Hukum Pidana Islam di Era Kontemporer (Studi Pemikiran Said Ramadhan al-Buthi)

Relevansi Hukum Pidana Islam di Era Kontemporer
(Studi Pemikiran Said Ramadhan al-Buthi)

A. Biografi Said Ramadhan al-Buthi
Muhammad Sa’id ibn Mula Ramadhan ibn Umar al-Buthi dilahirkan di wilayah Buthan (Turki) pada tahun 1929 dari sebuah keluarga yang cerdas dan taat beragama. Ayahnya, Syekh Mula Ramadhan adalah salah seorang tokoh ulama besar di Turki, termasuk di Syam. Sesaat setelah peristiwa kudeta yang dilancarkan oleh Kemal Attatruk, ia pindah ke Syria bersama ayahnya. Sa’id kecil saat itu baru berusia empat tahun.
Guru pertama baginya adalah ayahnya sendiri. Ayahnya pula yang memulai menanamkan pendidikan yang bermanfaat dan membesarkannya dengan wawasan keilmuan yang tinggi. Dengan segala kecerdasannya, Sa’id sendiri haus akan ilmu dan memiliki ingatan yang mengagumkan.
Setelah menamatkan pendidikan Ibtidaiyah, ayahnya mendaftarkan sang anak di Ma’had at-Taujih al-Islamy di daerah Meidan, Damaskus di bawah pengawasan seorang mahaguru al-‘Allamah Syekh Hasan Habannakeh –rahimahullah. Syekh Hasan mengetahui pada diri Sa’id terdapat kecerdasan yang menonjol, karena itulah ia amat memperhatikannya dan menjadikannya fokus pengawasan, hingga Sa’id dapat menamatkan pendidikan Ma’had-nya dan menggondol Ijazah Tsanawiyah Syar’iyyah.
Selanjutnya, Sa’id menuju Cairo dan meneruskan studinya dengan spesialisasi ilmu Syariah hingga memperoleh Ijazah Licence. Pendidikan Diploma-nya (setingkat S2) ia ikuti di Fakultas Bahasa Arab. Pada tahun 1965, Sa’id Ramadhan menyelesaikan program Doktornya di Univ. Al-Azhar dengan predikat Mumtaz Syaf ‘Ula. Disertasi yang ia tulis dan berjudul “Dlawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’at al-Islamiyyah,” mendapatkan rekomendasi Jami’ah al-Azhar sebagai “Karya Tulis yang Layak Dipublikasikan.”
Sa’id Ramadhan menguasai berbagai disiplin ilmu. Di samping secara khusus menekuni sastra, ia amat ‘menikmati’ keluhuran ajaran Islam, karena itulah ia mempelajari filsafat dan ilmu ‘debat’ untuk menghadapi pemikiran para atheis dan ahli bid’ah. Berbagai dialog yang menghadirkannya membuktikan bahwa Sa’id adalah tipikal ulama pemikir yang tenang, memiliki ketajaman analisis dan kedalaman pandangan.
Nampaknya, keikhlasannya berdakwah menyiarkan ajaran Islam adalah alasan yang paling utama dari kesuksesannya dan kecintaan orang-orang padanya. Ia menjadi tenaga pengajar di Fak. Syari’ah Univ. Damaskus semenjak 1961. Kemudian Ketua Jurusan Fiqh Islam pada Fak. Syariah dan pada gilirannya duduk sebagai Dekan Fakultas pada tahun 1977. Saat ini Sa’id Ramadhan bekerja sebagai Guru Besar di Fakultas Syariah Univ. Damaskus dalam bidang Fiqh Islam. Menghadiri berbagai muktamar penting dunia Islam; Aljazair, Saudi Arabia, Emirat, Bahrain, dan Turki serta belahan lain dunia Barat. Saat ini ia duduk sebagai anggota Lembaga Kajian Peradaban Islam milik kerajaan di Yordania.
Sa’id Ramadhan amat dikagumi oleh para ulama dan pemikir muslim dari berbagai penjuru, karena ketinggian ilmu dan kehebatan argumentasinya dalam berbagai diskusi. Sa’id aktif memberikan cermah/pengajian di beberapa masjid di Damaskus. Pengajian Mingu Malam (al-Hikam li Athoillah as-Sakandari) dan Kamis malam (Riyadlush-Shalihin li al-Imam an-Nawawi) di Masjid al-Iman Damaskus selalu dipenuhi oleh ribuan kaum muslimin .
B. Pemikiran Said Ramadhan al-Buthi
Said Ramadhan berbeda dengan pemikir Islam pada umumnya yang berpandangan bahwa hukum Islam berupa potong tangan, qishash, rajam dan lain sebagainya sudah tidak relevan lagi untuk konteks saat ini. Menurut Said, hukum Islam berupa potong tangan, qishash, rajam dan lain sebagainya adalah hukum yang tetap relevan untuk konteks saat ini dan juga seterusnya. Pemikirannya ini, secara spesifik ia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul al-uqubat al-islamiyyah wa uqdat at-tanaqudz bainaha wa baina maa yusamma bi thabi’at al-‘asyri.
Dalam karyanya itu, Said Ramadhan mengklasifikasikan jenis hukuman (‘uqubat) menjadi dua macam, yaitu:
1. Hukuman pasti (‘uqubat muqaddarah), yaitu jenis hukuman yang bentuk serta ukurannya telah diatur secara mapan oleh syari’ (Allah) melalui nash al-Qur’an maupun hadits dan tak ada ruang lagi untuk mengubahnya. Hukuman ini tetap berlaku tanpa terikat oleh ruang dan waktu.
2. Hukuman yang belum pasti (‘uqubat ghair muqaddarah), yaitu jenis hukuman yang bentuk serta ukurannya tidak diatur secara spesifik (rigid) oleh syari’, akan tetapi ia diserahkan pada pertimbangan seorang hakim bagaimana memutuskannya secara tepat dan baik selama tidak melampaui batas-batas yang telah digariskan.
Untuk jenis pertama, hukuman tersebut erat kaitannya dengan tindak pidana berat yang beredar di masyarakat, adakalanya berupa pelanggaran terhadap hak asasi Allah, hak asasi manusia dan juga tindak pidana yang dianggap sangat mengancam serta membahayakan tegaknya sendi-sendi moral masyarakat. Hak asasi yang dimaksudkan oleh Said di sini ialah hak-hak pokok yang diberikan oleh Islam kepada setiap individu berupa perlindungan terhadap agama (hifdz ad-din), keselamatan jiwa (hifdz an-nafs), akal pikiran (hifdz al-‘aql), kelangsungan keturunan (hifdz an-nasl) serta perlindungan terhadap harta benda (hifdz al-mal) miliknya. Dalam nomenklatur kajian ushul fiqh hak-hak asasi di atas sering kali diistilahkan dengan ad-dharoriyat al-khams.
Untuk menjamin agar setiap individu memperoleh hak-hak tersebut di atas maka dalam pandangan Said Ramadhan, Islam mensyariatkan adanya hukuman-hukuman pasti yang tak seorang pun berhak untuk mengubahnya yaitu:
a. hukuman mati bagi orang murtad (keluar dari agama Islam). Hukuman ini di syariatkan sebagai upaya perlindungan terhadap agama (hifdz ad-din).
b. Hukuman qishas, di syariatkan untuk menjamin hak hidup seseorang.
c. Hukuman hadd bagi pemabuk, disyariatkan sebagai upaya perlindungan terhadap akal pikiran seseorang (hifdz al-‘aql).
d. Hukuman hadd bagi pelaku zina dan penuduh zina (qadzaf), dalam rangka menjamin dan melindungi hak reproduksi seseorang (hifdz an-nasl).
e. Hukuman hadd bagi pencuri dan pembegal (qathi’ at-thariq), dalam rangka menjamin dan melindungi hak kepemilikan seseoarang (hifdz al-mal).
Adapun untuk jenis hukuman yang kedua, menurut Said itu terkait dengan tindak pidana selain yang telah ditentukan di atas, yaitu tindak pidana yang tidak berdampak langsung pada hilangnya salah satu hak asasi seseorang (ad-dharoriyat al-khams), akan tetapi terbatas pada hal-hal yang dapat mengganggu kenyamanan hidup seseorang baik yang bersifat hajiyah (sekunder) ataupun tahsiniyah (tersier). Dalam hal ini hakim cukup menentukan hukuman (ta’zir) yang cocok dan sesuai dengan tingkat kejahatan atau beratnya pelanggaran yang ia lakukan.
Dari klasifikasi jenis hukuman di atas, yang cukup menyita perhatian Said Ramadhan ialah diskursus mengenai penerapan jenis hukuman pertama yang beliau istilahkan dengan hudud (bentuk plural dari kata hadd). Banyak pemikir Islam kontemporer yang menolak diberlakukannya hukum hadd dengan alasan sudah tidak relevan lagi dengan konteks sosial saat ini. Menurut Said, alasan demikian itu tidaklah dapat dibenarkan. Dalam pandangannya alasan tersebut timbul karena dua faktor utama, yaitu :
a. Kondisi kejiwaan (psikologi) seseorang yang cenderung beranggapan bahwa segala sesuatu yang telah lampau itu kuno (kadaluarsa) dan tak patut di pertahankan.
b. Adanya anggapan bahwa hukum pidana Islam itu bengis, kejam, dan melanggar HAM, tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan abad 20.
Kedua faktor di atas, dalam pandangan Said Ramadhan sama sekali tidak dapat dijadikan pijakan untuk menilai apakah hukuman hadd itu relevan atau tidak untuk konteks sosial saat ini. Keduanya tidak lain merupakan ilusi (wahm) belaka dan bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan logis dan rasional. Penolakan sekelompok orang terhadap hukum hadd semata-mata timbul karena rasa bosan, jenuh pada hukum hadd yang ia anggap sebagai produk Islam masa lampau yang telah usang. Hal ini dapat ditelusuri melalui pendekatan psikologi, yang mana seseorang cenderung akan mengabaikan, membuang dan bahkan merusak segala sesuatu yang telah lama dimiliki manakala ia telah merasa jenuh dengannya, lalu menggantinya dengan sesuatu yang baru. Rasa jenuh inilah yang pada akhirnya melahirkan sebuah ilusi (wahm) bahwa segala sesuatu yang telah termakan usia itu membosankan.
Dalam pandangan Said Ramadhan, tidak semua hal yang modern itu lebih baik dari hal-hal yang berasal dari masa lampau. Lebih dari itu, justeru tidak sedikit yang modern itu menjadi sumber malapetaka dan sebaliknya yang kuno itu menjadi sumber kehidupan. Dunia menyaksikan bahwa matahari, air, bumi dan udara adalah produk masa lampau yang sampai saat ini menjadi sumber kehidupan. Matahari yang kita saksikan hari ini adalah matahari sebagaimana yang disaksikan oleh orang-orang yang hidup pada ribuan tahun yang lalu, ia terbit dari ufuk timur dan terbenam di ufuk barat, sama sekali tidak berubah.
Selanjutnya bila dikatakan bahwa hukum Islam itu kejam, bengis dan sama sekali tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan maka -menurut Said- apa tidak lebih baik jika hukuman itu sekalian saja dihapuskan dari masyarakat. Sehingga mereka memliki kebebasan dalam melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa merasa khawatir akan adanya hukuman. Hanya saja yang demikian itu tentu menyalahi kodrat yang berlaku di tengah masyarakat. Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Oleh karena itu butuh adanya suatu hukuman yang berat, menyakitkan dan menjerahkan demi mengendalikan sifat buas manusia itu. Hukuman tersebut adalah hukuman yang sesuai dan setimpal dengan tindak pidana yang dilakukan. Semakin besar tindak pidana yang diperbuat oleh seseorang , maka semakin besar pula bahaya yang akan ditimbulkan. Dan semakin besar bahaya yang ditimbulkan maka semakin berat pula hukuman yang akan ia tanggung.
Setiap bangsa tentu memiliki penilaian mengenai berat tidaknya tindak pidana serta hukuman yang dikenakan. Namun demikian, penilaian tersebut masih relatif, berbeda antara yang satu dengan yang lain. Apa yang dianggap sebagai masalah kecil oleh suatu bangsa terkadang ia merupakan masalah yang sangat besar menurut penilaian bangsa lain. Tindak pidana yang menurut suatu bangsa telah pantas mendapatkan hukuman mati, belum tentu pantas dalam pandangan bangsa lain. Karena itulah Islam sebagai agama wahyu yang universal, menggariskan ketentuan-ketentuan baku berupa hukuman-hukuman yang sesuai dengan prinsip keseimbangan, baik keseimbangan alam, keseimbangan manusia dan juga keseimbangan hidup . Jangan sampai hukuman yang diberikan itu melampaui batas hukuman yang semestinya diperoleh, atau sebaliknya hukuman itu kurang dari ketentuan yang sepantasnya ia peroleh.
Menurut Said penilaian bahwa hukum pidana Islam adalah hukum yang kejam dan bengis merupakan penilaian yang bersumber dari kesimpulan yang terlalu gegabah. Mereka yang memiliki pandangan demikian itu hanya melihat hukum pidana Islam dari satu sisi saja, yaitu dari sisi potong tangannya atau dari sisi rajamnya, ia tidak melihatnya secara utuh dari sisi-sisi yang lain. Misalnya kapan hukuman tersebut dapat dilaksanakan, proses apa saja yang harus dilalui dan apakah hukuman tersebut satu-satunya hukuman yang harus dijalankan tanpa ada alternatif hukuman pengganti manakala tindak pidana itu terkait dengan hak adami.
Hukum rajam atau potong tangan misalnya, keduanya dapat gugur ketika terdapat syubhat (alasan-alasan pemaaf). Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa khalifah Umar pernah membebaskan seorang perempuan yang telah melakukan zina dengan alasan demi menyelamatkan jiwanya yang waktu itu dalam keadaan haus dan hampir mati. Jiwanya hanya akan selamat manakala ia bersedia melakukan zina bersama rekannya yang waktu itu memiliki cukup persediaan air susu domba, namun sebagai imbalannya si perempuan tersebut harus mau berzina dengannya. Dalam kesempatan lain khalifah Umar juga pernah membebaskan seorang pencuri dari hukuman potong tangan dengan alasan waktu itu tengah terjadi musim paceklik (kelaparan), sehingga memaksa orang itu untuk melakukan pencurian. Hukuman bebas yang diberikan oleh Umar kepada dua pelaku tindak pidana tersebut tidak lain dikarenakan adanya syubhat yang dapat menghalangi diterapkannya suatu hukuman.
Namun demikian, Said sangat tidak setuju jika apa yang dilakukan oleh khalifah Umar tersebut dikatakan sebagai suatu tindakan yang telah keluar dari ketentuan nash karena lebih mempertimbangan faktor kemaslahatan atau maqasid syariah¬-nya. Dan inilah yang seringkali disalahpahami oleh sebagian pemikir muslim kontemporer dengan menjadikan ijtihad Umar tersebut sebagai legitimasi pembenar upaya keluar dari kungkungan teks. Dalam pandangan Said, kemaslahatan itu baru dapat dibenarkan jika tidak bertentangan secara langsung dengan nash sharih ataupun nash dhahir al-Qur’an dan Hadits. Apa yang dilakukan oleh khalifah Umar tersebut merupakan salah satu bentuk ijtihad beliau terhadap hadits Rasulullah -sallallahu ‘alaih wasallam- yang berbunyi idra’ al-hudud ‘an al-muslimin bi as-syubuhat , hindarilah hukuman hadd terhadap umat Islam karena adanya syubhat. Keputusan Umar untuk memberikan kebebasan tersebut adalah bentuk ijtihad yang beliau lakukan dalam menafsirkan maksud syubhat pada teks hadits di atas. Jadi, dalam hal ini ijtihad yang Umar lakukan sama sekali tidak keluar dari nash, akan tetapi masih dalam koridor nash (dhimna dilalat al-alfadhz). Khalifah Umar memahami bahwa hadits di atas adalah menempati posisi sebagai mukhossis (membatasi) dari keumuman surat al-Maidah: 38 yang berkenaan dengan hukuman potong tangan serta surat an-Nur: 2 yang berkenaan dengan hadd pelaku zina.
Selain gugurnya hukuman karena adanya syubhat, yang juga luput dari perhatian para penentang diterapkannya hukum pidana Islam pada umumnya ialah mengenai hukuman qishas (mati) bagi pembunuh dan hadd bagi pelaku qadzaf (menuduh zina). Hukuman tersebut hanya bisa diterapkan apabila ada tuntutan dari keluarga korban yang dibunuh dan juga dari maqdzuf (orang yang dituduh telah melakukan zina). Yang demikian ini adalah pendapat ulama syafiiyyah, hanabilah, Abi Tasur dan sejumlah ulama lainnya. Dan seandainya keluarga korban memberikan ampunan pada pelaku, maka hukuman qishas tersebut gugur dan sebagai gantinya keluarga korban bisa menuntut diyat (denda) dari pelaku. Bahkan bila keluarga korban menghendaki maka si pelaku bisa saja terbebas dari segala jeratan hukum baik qishas ataupun diyat. Selanjutnya tergantung pada kebijakan seorang hakim, bentuk hukuman (ta’zir) seperti apa yang pantas diberikan kepada pelaku pidana tersebut.
Masih banyak sisi-sisi lain dari hukum pidana Islam yang tidak dipahami secara baik oleh para pemikir muslim pada umumnya. Oleh karena itu, dalam karyanyanya al-uqubat al-islamiyyah wa uqdat at-tanaqudz bainaha wa baina maa yusamma bi thabi’at al-‘asyri Said Ramadhan mencoba menjelaskan secara lugas mengenai sisi-sisi mana saja yang belum dipahami tersebut. Ini semua ia lakukan dalam rangka menepis anggapan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa hukum pidana Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman.

C. Kesimpulan

0 Response to "Relevansi Hukum Pidana Islam di Era Kontemporer (Studi Pemikiran Said Ramadhan al-Buthi)"

Posting Komentar