ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MK NO. 4 /PUU – VII/2009 TENTANG PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF, DPD DAN KEPALA DAERAH

A. Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Anggota Legislatif, DPD dan Kepala Daerah

Putusan MK No. 4 /PUU-VII/2009 tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, DPD dan Kepala Daerah ternyata tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebab mereka menganggap bahwa seorang mantan yang pernah dipenjara adalah seorang yang dicacat moral dan identik dengan berbuat yang tidak baik. Jadi masyarakat memberikan cap atau lebel yang kurang baik terhadap mantan narapidana.
Banyak masyarakat yang berargumentasi bahwa untuk menjadi pegawai saja diperlukan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, apalagi untuk menduduki jabatan pemerintahan; apa jadinya jika sebuah pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang tidak mempunyai moral yang baik, pasti akan sering berbuat hal-hal yang merugikan rakyat. Argumentasi tersebut hanya melihat dari segi negatifnya tanpa mau melihat dari segi positifnya dari seorang mantan narapidana.
Dalam kopsep siyasah dusturiyah yang merupakan dari fiqh siyasah yang mencakup masalah perundang-undangan dan hak umat, di negara islam umat mencakup seluruh rakyat baik muslim, maupun kafir z{immy, baik kaya maupun miskin, yang pejabat maupun bukan. Mereka semuanya mempunyai hak-hak yang harus dijamin , dihormati,dan dilindungioleh pemerintah.Termasuk hak-hak mantan narapidana yang sudah bertaubat dia juga berhak untuk mendapatkan perlindungan, jaminan atas hak-hak asasi dari pemerintah.Dari perspektif inilah penulis akan mencoba mengkaji tentang pencalonan mantan narapidana sebagai anggota legislatif, DPD dan kepala daerah dari segi fiqh siyasah.
Seorang mantan narapidana adalah orang yang dulu pernah melakukan perbuatan kejahatan / tinkadan kriminal dan telah menjalani hukuman pidana. Dalam islam orang yang pernah melakukan perbuatan tercela atau dosa itu dianggap sebagai orang cacat moral sehingga hak-haknya tidak bisa diperoleh secara penuh kecuali telah bertaubat, dan mengerjakan perbuatan baik sebagai penghapus dosa yang telah lalu.
Memang dalam menduduki jabatan pemerintah sebagai pemimpin (amir), wakil rakyat(ahl al-h{alli wa al-‘aqdi) dan jabatan yang lainnya dalam negara islam, para ahli fikih memprioritaskan kepada orang yang mempunyai kriteria yang bagus seperti, mampu,berilmu,berakhlaq baik, berkualitas tinggi dan sebagainya dengan tujuan dapat menjalankan pemerintahan sehingga tercapai suatu kemaslahatan bagi seluruh umat. Begitu pula undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah indonesia, juga bertujuan demikian.Dalam beberapa pasal disebutkan syarat-syarat menjadi anggota legislatif DPD dan kepala daerah. Yakni pasal 12 h uruf g, pasal 50 ayat 1 huruf g UU NO>.10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan pasal 58 huruf f UU NO.12 tahun 2008 tentnag Pemda. Norma hukum dalam pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.”
Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa untuk menjadi anggota legislatif, DPD dan kepala daerah, harus dari orang yang benar-bener bersih dari tindakan tercela. Sebab undang-undang tersebut bertujuan agar dapat diperoleh pemimpin yang berkualitas tinngi, sehingga diperoleh track record yang tidak tercela.akan tetapi hal tersebut apakah sudah adil, jika seorang mantan narapidana mempunyai kemampuan memimpin untuk mengatur pemerintahan, apalagi dia sudah menjalani hukuman dan telah membayar semua atas perbuatan jahat yang pernah dilakukan dulu.
Dalam siyasah dusturiyah yang merupakan bagian figh dusturiyah yang membahas masalah perundang-undangan negara agar sejalan dengan nilai-nilai syari’at. Sebab tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jika peraturan perundang-undangan tersebut tidak sejalan dengan tujuan syari’at islam dalam arti telah merugikan hak-hak rakyat. Maka dalam hal ini yang berwenang untuk memutus masalah ini adalah lembaga yudikatif atau sult}ah al-Qadaiyah yang terdiri dari tiga lembaga peradilan yakni disebut dengan wilayah al-qad}a’, wilayah al-h}isbah dan wilayah al-maz}alim. Ketiga lembaga peradilan tersebut mempunyai kewenangan masing-masing dalam memutuskan suatu perkara. Dan yang berwenang memutus dalam masalah ini yakni mengenai perkara yang tejadi antara rakyat dan negara adalah wilayah al-maz}alim.
Menurut al-mawardi tujuan didirikannya wilayah al-maz}alim adalah untuk memelihara hak-hak rakyat atau umat dari perbuatan zalim para penguasa, pejabat dan keluarganya, untuk mengembalikan hak-hak rakyat yang telah diambil oleh mereka dan untuk menyelesaikan perkara antara penguasa dan warga negara.
Islam memerintahkan dalam menetapkan hukum diantara manusia haruslah berlaku adil, karena kedudukan berlaku adil adalah sebagai prinsip konstitusional dan sebagai poros politik keagamaan. Sebagaimana dituangkan dalam Surat An-Nisa’ ayat 58. Allah berfirman:
           ••     •      •    
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.( Surat An-Nisa’ ayat 58)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk menunaikan amanat secara sempurna serta ditunaikan kepada pemiliknya atau yang berhak menerimanya, baik amanah yang menyangkut hak-hak Allah atas hambanya seperti shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, maupun amanah manusia. Selain itu Allah menyuruh kamu ketika menetapkan hukum diantara manusia, baik yang berselisih dengan manusia lain atau tanpa perselisihan. Maka kalau menetapkan putusan dengan adil sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah SWT, yaitu tidak memihak kecuali kepada keberatan dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak mengadilinya walaupun itu berlawanan dan tidak memihak kepada semaumu. Hal ini berarti bahwa perintah berbuat adil ditujukan kepada manusia secara keseluruhan. Dengan demikian baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan agama, keturunan, ras ataupun kedudukan dalam masyarakat.
Ini berarti Islam tidak membedakan dalam hal kedudukan, ras, agama maupun status sosialnya dalam masyarakat. Sehingga mantan narapidana maupun bukan mantan narapidana mempunyai hak-hak yang sama dalam pandangan Islam apabila ia benar-benar telah bertaubat.
Ketika seorang yang pernah melakukan kejahatan kemudian ia bertaubat sungguh-sungguh yakni dengan tidak mengulang kembali kejahatan yang dulu pernah diperbuatnya, maka sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus dosa.Sebagaimana Ibnu Mas’ud menceritakan hadis nabi bahwa orang yang pernah melakukan dosa maka dapat dihapuskan dengan melakukan kebaikan yakni dengan menjalankan sholat pada pagi dan sore serta sebagian wakatu malam.
Dari penjelasan di atas dapat dipetik satu hal bahwa putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 yang membolehkan mantan narapidana sebagai anggota legislatif, DPD dan kepala daerah dengan syarat-syarat tertentu, telah mengembalikan hak-hak rakyat yakni hak seorang mantan narapidanan untuk ikut berpartisipasi dalam politik dan hak yang sama dihadapan hukum. Sebab dia sudah bertaubat dan telah membayar semua kesalahannya di masa lalu yaitu dengan dipidana penjara.
Dengan demikian seorang mantan narapidana boleh memjadi anggota legislatif, DPD dan kepala daerah apabila ia telah bertaubat seperti apa yang disyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) Tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.Dan tidak diberi wewenang pada jabatan yang membutuhkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat seprti jabatan Hakim, bagian keuangan negara dan sebagainya.Hal ini telah sesuai dengan syari’at Islam.

B. Analisis terhadap dasar hukum putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009
Dengan munculnya putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009, hal tersebut disebabkan atas permohonan yang diajukan oleh Robertus Aji calon legislatif untuk DPRD kabupaten Lahat, Sumatera Selatan dan PDI Perjuangan yang gagal karena terganjal kasus pidana. Dia menyatakan bahwa dengan adanya ketentuan pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10/ 2008 tentang pemilu legislatif dan pasal 58 huruf f UU No.12/ 2008 tentang Pemda, telah berlaku tidak adil padanya. Padahal secara potensial sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 pasal 27 ayat (1), pasal 28c ayat (2), pasal 28d ayat (1) dan (3).
Keputusan MK tentang diperbolehkannya mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik (DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah) ternyata mengundanag kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari orang awam sampai dengan orang ahli hukum dan politik. Berbagai argumen tentang putusan MK tersebut muncul di berbagai media massa baik elektronik maupun media cetak.
Selanjutnya penulis akan menganalisa tentang dasar hukum yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara tersebut. Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara No. 4/ PUU-VII/ 2009 dilakukan dengan proses yang panjang dan melelahkan. Keputusan yang akhirnya dijatuhkan oleh MK yang didasarkan pada UUD 1945 yakni pasal 27 (1), pasal 28c (1), pasal 28d (1) dan (3), Berdasarkan dasar-dasar hukum diatas, akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma hukum yang berbunyi:
“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara selama 5 Tahun/lebih”
Yang terdapat dalam pasal 12 huruf g dan pasal 50 (1) huruf g UU No. 10/2008 tentang pemilu legislatif, pasal 58 huruf f UU No. 12/2008 tentang Pemda bertentangan dengan UUD 1945. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat.
Sebab jika norma hukum yang terkandung dalam pasal a quo tetap diberlakukan tanpa syarat-syarat tertentu dapat menegasi atau mengingkari prinsip penamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak melanggar hak seorang warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 terutama pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1), Pasal 28c ayat (2), Pasal 28d ayat (1) dan Pasal 28d ayat (3).
Dari penjelasan pasal-pasal di atas jika diteliti secara seksama memang undang-undang pemilu legislatif dan undang-undang Pemda bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dilarangnya seorang mantan narapidana menjadi pejabat publik (DPR, DPD, DPRD dan Kepala Daerah) berarti sama dengan yang dianjurkan dalam Islam karena Islam tidak pernah membeda-bedakan umat manusia dalam hal kedudukannya sebagai apa atau yan-g lainnya khususnya dalam pemerintahan. Hal tersebut jelas disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nur ayat 55 :
       •              •                  

“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (Surat an-Nur ayat 55)

Dalam ayat di atas tidak disebutkan orang yang seperti apa dengan mempunyai kriteria seperti apa yang menjadi khalifah di bumi. Dalam hal ini islam tidak membeda-bedakan seluruh umat manusia.
Dengan demikian apa yang telah diputuskan oleh MK telah sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh islam.Sebab putusan MK yang memperbolehkan mantan narapidana untuk menduduki jabatan anggota legislatif, DPD dan kepala daerah dengan syarat-syarat tidak melakukan kejahatan berulang-ulang atau telah bertaubat.Sehingga dengan syarat-syarat tersebut dapat menghilangkan kekawatiran masyarakat terhadap mantan narapidana.
Atas beberapa dasar petrimbangan yang didasarkan pada dalil-dalil pemohon, alat bukti surat, keterangan ahli yang diajukan,keterangan pemerintah dan pihak terkait. Akhirnya MK memutuskan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD secara bersyarat.
Bila seorang yang telah menjalani penjara atau pemasyarakatan masih tidak dapat disamakan dengan orang yang belum pernah dipenjara, maka itu merupakan pengakuan sistem pemasyarakatan indonesia yang gagal. Artinya proses pemasyarakatan selama ini yang dilakukan oleh negara tidak berhasil mengembalikan kedudukan mantan narapidana sebagai anggota masyarakat yang normal.
Jadi putusan MK yang memperbolehkan mantan narapidana untuk menduduki jabatan legislatif, DPD dan kepala daerah dengan syarat-syarat tertentu telah sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Islam.

C. Analisis Terhadap Implikasi Putusan MK NO. 4/PUU-VII/2009
Dalam hal ini penulis akan mengemukakan analisis terhadap implikasi putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009. Setelah putusan MK tersebut dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 Maret 2009. Pada saat itulah pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan pasal 58 huruf f UU No. 12/ 2008 tentang Pemda dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dari keputusan yang telah ditetapkan oleh MK tersebut berimplikasi pada posisi yuridis pasal-pasal a quo dan berimplikasi pada aspek politik yaitu membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih (elected offials), dengan demikian hak politik mantan narapidana telah dikembalikan.
Mengenai implikasi pada posisi yuridis pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10/ 2008 dan pasal 58 huruf f UU No. 12/ 2008. Pasca putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009, pasal-pasal a quo tidak berlaku lagi sebab tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat yaitu tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected offials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) Tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Mahkamah berkesimpulan, norma yang diajukan tersebut jika diberlakukan tanpa syarat-syarat dapat menegasi prinsip persamaan dan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Serta melanggar hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan moralitas hukum dan moralitas konstitusi.
Mengingat kekhususan-kekhususan karakter jabatan-jabatan publik tertentu menyebabkan tidak semua jabatan publik dapat ditentukan persyaratannya dengan rumusan norma yang bersifat umum, sehingga perlu pembedaan persyaratan. Yaitu antara jabatan publik yang dipilih (elected officials) dan jabatan publik yang diangkat (appointed officials). Selain itu, mahkamah menerangkan dalam merumuskan persyaratan bagi jabatan publik yang sama karakternya juga harus dengan persyaratan yang sama agar jangan sampai terjadi ketidakpastian hukum.
Dari pertimbangan mahkamah diatas jelas dapat dilihat bahwa pasal aquo dalam UU Pemilu Legislatif dan UU Pemda menunjukkan ketidakkonsistenan para pembentuk Undang-undang dalam menetapkan persyaratan-persyaratan untuk menjadi pejabat publik yang akhirnya mengakhibatkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
Setelah dikaji lebih jauh ternyata posisi yuridis pasal-pasal aquo yang tercantum dalam Undang-undang pemilu legislatif dan Undang-undang Pemda, memang tidak layak untuk diberlakukan lagi sebab pasal-pasal a quo bertentangan dengan apa yang telah dijamin oleh UUD 1945, khususnya pasal 27 (1), pasal 28C (2), pasal 28D (1) dan (3).
Putusan Mahkamah yang telah penulis paparkan pada bab III merupakan pembentukan hukum baru yaitu dengan dikembalikannya hak-hak mantan narapidanan. Norma hukum baru ini terbentuk dari norma hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 menjadi norma hukum yang tidak lagi bertentangan dengan UUD 1945. Walaupun Mahkamah berwenang membentuk aturan-aturan hukum baru dengan putusannya, akan tetapi tidak berwenang membentuk aturan-aturan hukum baru. Ini seharusnya dijadikan dasar bagi pembentuk undang-undang untuk tidak menutup kesempatan bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri menjadi pejabat publik.
Dari uraian di atas terlihat bahwa putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 berimplikasi pada posisi yuridis pasal 12 huruf g dan pasal 50 (1) huruf UU No. 10/2008 dan pasal 58 huruf f UU No.12/2008, yakni pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Jadi pasal tersebut tidak dapat diberlakukan lagi tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu.
Implikasi yang lain pasca putusan MK No. 4/PUU-VII/2009, yakni pada aspek politik, di mana MK membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).
Menurut Mahkamah Konstitusi, norma hukum juga tidak bisa dilepaskan dari moralitas yang mendasarinya yakni keadilan. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan pemohonan dengan melihat ke belakang mengenai putusan MK sebelumnya terkait dengan norma hukum persyaratan a quo dibandingkan dengan amnesti terhadap mereka yang terlibat perjuangan rakyat semesta (PRRI – Permesta), Gerakan Aceh Merdeka, dan keterlibatan langsung ataupun tidak langsung dengan G 30 S/PKI untuk menjadi calon DPR, DPD dan DPRD dalam putusan MK NO. 11 – 17 PUU – 1/2003 tanggal 24 februari 2004.
Atas dasar pertimbangan tersebutlah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal-pasal yang tercantum dalam UU Pemilu Legislatif dan UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini berarti Mahkamah Konstitusi telah membuka lebar kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih. Dengan kata lain Mahkamah Konstitusi sudah menegakkan keadilan dan menghapus diskriminasi antar sesama rakyat Indonesia dalam pemerintahan.
Setelah putusan No. 4/PUU-VII/2009, diharapkan tidak ada lagi stigma yang buruk terhadap mentan narapidana, tidak lagi dicurigai, diasingkan, dan dapat diterima dalam masyarakat.
Sebab tujuan pemidanaan adalah membebaskan narapidana secara mental dan spiritual. Dengan tujuan pembebasan tersebut, narapidana seolah-olah mengalami kelahiran kembali secara mental dan spiritual dan akan melepaskan segala cara berfikir, kebiasaan, dan gaya kehidupan yang lama. Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan tersebut ditujukan agar orang yang telah menjalani hukuman dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.
Secara teoritis, seorang pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana dan menyelesaikan masa pidananya dengan baik, maka orang tersebut lepas dari segala kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan telah dibayar dengan pemidanaan.
Kalau masih terjadi perlakuan diskriminatif terhadap mantan narapidana maka tujuan pemidanaan tidak tercapai atau gagal. Hal ini terlihat pada pasal 12 huruf g dan pasal 50 (1) huruf g UU No. 10/2008 dan pasal 58 huruf f UU No. 12/2008 yang telah dibuat oleh para pembentuk Undang-undang yang masih mendiskriminasikan mantan napi dengan yang bukan, dan menganggap bahwa mantan narapidana adalah orang yang harus dicurigai tercela, cacat moralnya dan tidak pantas menduduki jabatan publik yang dipilih (DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah maupun Presiden).
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa pasca putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009 mengandung implikasi positif dan cukup menggembirakan publik. Implikasi tersebut adalah mengenai posisi yuridis pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10/ 2008 dan pasal 58 huruf f UU No. 12/ 2008, yakni pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Selain itu juga berimplikasi pada aspek politik yakni putusan MK telah membuka kesempatan bagi mantan narapidana untuk dapat menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).
Dengan kedua implikasi positif tersebut, maka hak-hak konstitusional mantan narapidana sebagai warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 khususnya pasal 27 (1), pasal 28c (2), pasal 28D (1) dan (3), telah kembali seperti dengan warga negara lainnya. Artinya tidak ada lagi diskriminasi diantara warga negara mantan narapidana dengan warga negara yang bukan mantan narapidana.

0 Response to "ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MK NO. 4 /PUU – VII/2009 TENTANG PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF, DPD DAN KEPALA DAERAH"

Posting Komentar